Antara Ittibaa dan Tajdid
Oleh: Masud HMN
Ketika saya menulis Puritan Islam dalam arti kemurnian ajaran Islam di rubrik Suara Muhammadiyah saya ditanya oleh seorang teman baik saya, pendirian Muhammadiyah bagaimana. Maksudnya sikap dan pandangan teologis. Saya tak segera menjawab. Takut saya dituduh sekuler.
Namun setelah saya berpikir ada benarnya juga saya tidak cepat menjawab. Saya menjawab berpihak kepada puritan, saya dikategori masuk golongan Wahabi. Sebaliknya jika tak pro Puritan Islam saya orang sekuler. Memang masa kini terkenal tuduh menuduh.
Setelah saya pikir-pikir, saya harus menjawab juga. Saya mulai apa itu berpikir Wahabi dan apa itu berpikir Sekuler.
Dengan meminjam jalan pikiran saudara Wildan dan Hadi yang mengumpulkan Cara Berpikir Islam yang dimuat dalam Kapita selekta jilid I tahun 1946 terbitan pertama. Yaitu cara bepikir menurut Muhamad Natsir yang intinya mampu membaca turats islam dan berpikir secara logika.
Bagi tokoh Islam seumpama Pak Natsir yang pernah berdebat dengan Ir. Soekarno tahun awal kemerdekaan ketika usia pak Muhamad Natsir berjarak Sembilan tahun dengan Soekarno. Islam itu berpihak kepada akal merdeka atau yang tak bebas dari logika.
Demikian Wildan dan Hadi mengutip buku tersebut. Lalu memberi catatan supaya dibaca oleh para cendekiawan muslim, Agar Islam tidak menjadi sasaran Islamipbobi, atau islam yang salah dimengertikan.
Para cendekiawan muda Islam dalam pengantar Islam dan Filsafat Muhammadiyah selalu menekankan bahwa Muhammadiyah itu cenderung mengandung filasfat Amal ketimbang hanya berpikir semata, jadi artinya solusi persoalan.
Seperti kata Prof Abdul Mu’ti Sekretasi Umum Pimpinan Pusat Muhamadiyah bahwa Muhammadiyah suksesnya terletak pada dakwah berdakwah dengan perbuatan. Bukan dengan omong belaka. Bagaimna mencintai beramal dan berkarya dalam Muhammadiyah.
Demikian Prof Mu’ti yang menekankan sibuk dengan kritik dan bahasan ilmiah sementara lalai akan hal yang dihadapi nyata Muhammadiyah. Itu yang menjadi harapan.
Tak sembunyi-sumbunyi artikel ini ingin mengutip Prof Afifi Fauzi Abbas (Alm) seorang pengurus Pengurus Majelis Tarjih dan Guru Besar Fakultas Syariah Imam Banjol Padang Sumatera Barat, mengatakan tarjih atau faham Muhammadiyah adalah merajah, merjaik dalil dalil. Kemudian diambil teks kesimpulan. Bukan mengambil satu dalil saja. Tapi yang mana yang kuat dalilnya. Dengan demikan ada ittiba, ada tajdid di situ.
Demikian Fauzi Abbas ketika ditanya pendiran intelektualnya tentang itiba dan tajdid. Bagi dia mana yang menandung kebenaran. Bukankah tajdid hanya berlaku pada amal yang mutsyabbbihat (yang tidak ada contohnya) di zaman nabi, kata dia mengakhiri pendapatnya.
Penulis beranggapan. Itulah jawaban tentang wahabi dan sekuler. Yaitu tidak ada perdebatan antar keduanya. Intinya adalah bahwa tajdid ada ketika tidak ada nabi menunjukkan hukum itu.
Akhirnya mari kita perhatikan hadits yang menyatakan, shalaitu kamaraitu ushalli (shalat lah kamu seperti aku shalat).
Maka hadits ini sudah menyatalan jadi tidak ada masalah (muskilat) antara keduanya. Allahu’alam bisshawab.
Masud HMN, Dosen Paskasarjana Universitas Muahmmadaiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta