Hukum Melihat Aurat Istri
Pertanyaan:
Saya beristri sudah 2 tahun lebih, setiap akan menggauli istri rasanya kurang bergairah, karena aurat istri selalu rapat dan tidak boleh dilihat suami dengan alasan cukup satu kata “saru” (kurang etis). Yang saya tanyakan :
- Apakah hukumnya melihat aurat istri termasuk farji (halal atau haram)? Mohon penjelasan seperlunya, sehingga dapat menambah pengertian saya dan istri.
- Bagaimana hukum istri menolak suami melihat auratnya (berdosa atau berpahala)?
- Seberapa batas aurat istri yang boleh dilihat suami?
Atas jawabannya saya ucapkan terima kasih.
Pembaca Suara Muhammadiyah, nama dan alamat ada di redaksi (Disidangkan pada Jum’at, 28 Safar 1431 H / 12 Februari 2010 M)
Jawaban :
Terima kasih atas pertanyaan saudara. Berikut jawaban dari Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
- Tentang hukum melihat aurat istri termasuk farji, secara umum dibolehkan bagi suami melihat aurat istri atau sebaliknya baik ketika berhubungan, mandi bersama maupun dalam keadaan yang lain. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT sebagai berikut: al-Mukminun (23): 5-6;
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”(QS. al-Baqarah (2): 187)
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma`af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.” (QS. al-Baqarah (2): 187)
Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS:(2): al-Baqarah:223)
Begitu juga dalam sebuah riwayat dikisahkan, seorang sahabat yang bernama Mu’awiyah bin Haidah al-Qusyairy pernah bertanya kepada Rasulullah saw: “Ya Rasulullah, aurat kami manakah yang harus kami tutup dan manakah yang boleh kami buka?” Rasulullah saw bersabda:
اِحْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ ( رواه أحمد والترمذي وأبو داود(
Artinya: “Tutuplah auratmu kecuali dari istrimu atau budak perempuanmu.” [HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan Abu Dawud].
Riwayat tersebut menunjukkan bolehnya istri melihat aurat suami dan bolehnya budak wanita melihat aurat sayyidnya (majikan), demikian pula suami atau majikan boleh melihat aurat istri dan budak wanitanya.
Memang ada dua riwayat hadis yang membicarakan batasan suami istri untuk melihat farji atau kemaluan (alat kelamin) pasangannya, dimana melihatnya dilarang. Pertama; larangan ini disandarkan pada hadis yang diriwayatkan ‘Aisyiah ra.:
قَالَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها: مَا رَأَيْتُ ذَلِكَ مِنْ رَسُوْلِ الله صلّى الله عليه وسلّم وَمَا رَأَى مِنِّى.
Artinya: “‘Aisyah ra. berkata: “Aku tidak melihat “kemaluan” Rasulullah begitu pula Beliau tidak melihat “kemaluan”ku “
Namun setelah dilakukan penelusuran, hadis yang disebutkan di atas tidak ditemukan jalur sanadnya. Dan jika hadis ini tidak memiliki sanad, maka hadis seperti ini dalam istilah ilmu hadis disebut dengan la asla lahu (tidak memiliki sumber asal) yang-meminjam istilah Ibn Hajar al-‘Asqolani temasuk hadis maudlu’ (palsu), sehingga ditolak sebagai hujjah.
Kedua; didalam hadis lain disebutkan alasan mengapa dilarang melihat vagina (kemaluan wanita), karena dapat menyebabkan kebutaan mata, yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رضى الله عنهما أَنَّ النَّيُّ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ: لاَ يَنْظُرَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ إِلَى فَرْجِ زَوْجَتِهِ وَلاَ فَرْجِ جَارِيَتِهِ إِذَا جَامَعَهَا فَإِنَّ ذَالِكَ يُورِثَ الْعَمَى.
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas ra. bahwa Nabi saw bersabda : “Janganlah salah seorang di antara kamu melihat pada kemaluan istrinya dan jangan pula (melihat) pada kemaluan budak perempuannya apabila dia menyetubuhinya, karena sesungguhnya hal itu dapat menyebabkan kebutaan.”
Hadits di atas dari segi matan tidak memiliki landasan medis, dan ternyata setelah dilakukan penelusuran dari segi sanad pun bermasalah. Ada ketidakjelasan periwayat antara Baqiyyah bin al-Walid al-Kila’i (w. 197 H) dengan Ibn Juraij (w. 150 H), dan ketidakjelasan periwayat sebelumnya yang mengindikasikan bahwa bagian periwayat hadis ini tidak dikenal dla’if.
Kesimpulannya, karena banyaknya kelemahan pada hadis larangan melihat farj (kemaluan) pasangan sahnya, baik secara sanad maupun matan, maka hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah.
- Mengenai hukum istri menolak suami melihat auratnya (berdosa atau berpahala), perlu dijelaskan terlebih dahulu, kebolehan bagi suami melihat kemaluan istri atau sebaliknya – baik ketika berhubungan, mandi bersama maupun dalam keadaan yang lain- hanya sebatas kebolehan saja, (tidak terkait dengan perbuatan dosa atau pahala), artinya boleh melihat atau boleh juga tidak melihat (yakni menutup atau menutupi mata) yang terpenting adalah mampu mendatangkan kepuasan seksual bagi diri dan pasangannya.
Karena kondisi orang dalam mengekspresikan hasrat seksualnya memang berbeda-beda, bervariasi subyektif dan sangat pribadi. Ada yang baru muncul hasratnya setelah melihat farj pasangannya, tetapi ada juga yang memilih tidak melihatnya karena justru dapat menghilangkan hasrat seksualnya. Kebanyakan wanita menganggap farj merupakan anggota kelamin wanita yang sangat dihormati, siapa pun wanitanya.
Bahkan wanita primitif-primitif yang belum mengenal kebudayaan pun tidak lupa menutup kemaluan mereka walaupun anggota-anggota badan lainnya tetap dibiarkan terbuka bebas. Mereka mempunyai perasaan malu jika kemaluannya dilihat orang lain. Secara alamiah hal tersebut memberi petunjuk betapa kemaluan wanita itu merupakan anggota badan yang terhormat, yang tidak boleh dijadikan tontonan dan dipertontonkan.
Wanita pada umumnya mempunyai sifat lebih pemalu daripada lelaki. Malu sebagai salah satu unsur penghalang timbulnya dorongan seksual. Jadi kalau suami akan berhubugan badan kemudian merayu istrinya sambil melihat kelaminnya pastilah gairah seksual istrinya akan turun secara drastis karena didesak oleh rasa malunya. Oleh karena itu tidak berfaedah sama sekali usaha merayu istrinya yang justru mengharapkan kepuasan dalam hubungan seks.
Disamping itu melihat kelamin istrinya bisa menimbulkan akibat lain, yaitu kemungkinan nafsunya akan cepat terangsang sehingga menimbulkan hajat yang tidak terbendung lagi. Sehingga belum juga dia merayu istrinya yang belum siap melakukan hubungan seks, ia sudah terburu-buru memaksa istrinya untuk berhubungan, ia tidak lagi memikirkan keperluan seks istrinya melainkan hanya keperluan dirinya yang dikejar untuk mencapai kepuasan.
Dengan kenyataan seperti di atas, maka kemungkinan besar penolakan istri untuk dilihat aurat (farj-nya) dengan alasan-alasan tertentu, sekarang tinggal bagaimana suami bisa mengkomunikasikannya secara baik dengan istrinya. Bukankah Allah juga telah mengungkapkan dalam firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آَتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.(Q.S. An-Nisa’ 19)
Melihat dari jawaban kami pada butir 1 dan 2, dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan aurat istri yang boleh dilihat oleh suami (semua diperbolehkan) dan demikian pula sebaliknya, tentunya selama hal itu memang tidak menyimpang dan bertentangan dengan yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Wallahu a’lam bish-shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 12 Tahun 2010