Pemahaman Salafus Shalih
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Dengan ini kami sebagai anggota Muhammadiyah mohon untuk diberi penjelasan tentang pemahaman al-Quran dan as-Sunnah menurut Muhammadiyah, mengingat saya pernah membaca di dalam majalah al-Furqan dan as-Sunnah yang di dalam dakwahnya berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah dengan pemahaman Salafus Shalih.
Demikian juga di dalam buku Risalah Bid’ah oleh Abdul Hakim bin Amir Abdan yang diterbitkan oleh Yayasan at-Tauhid halaman 4 dan 5 yang intinya menyebutkan bahwa metode yang benar ialah berpegang teguh dengan al-Quran dan Sunnah menurut pemahaman para Sahabat dan Tabi’in. Apakah kita sebagai anggota Muhammadiyah bisa mengikuti dan mengamalkan apa-apa yang ada dalam buku tersebut?
Terima kasih atas penjelasannya.
Mukodam, NBM. 588.804, Banjarnegara, Jawa Tengah (Disidangkan pada Jum’at, 24 Rabiulakhir 1431 H / 9 April 2010 M)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudara yang terhormat, sebelum menjawab pertanyaan yang saudara sampaikan, terlebih dahulu perlu kiranya kami jelaskan mengenai faham agama dalam Muhammadiyah, yang terdapat dalam naskah Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.
Dalam naskah tersebut dinyatakan bahwa Muhammadiyah mengamalkan ajaran Islam berdasarkan kepada al-Qur’an, yaitu Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw; Sunnah Rasul, yaitu Penjelasan dan pelaksanaan ajaran-ajaran al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw; dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Akal fikiran (ar-Ra’yu) adalah alat untuk:
- Mengungkap dan mengetahui kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
- Mengetahui maksud-maksud yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
Berdasarkan itulah, maka di Muhammadiyah sangat terbuka kesempatan untuk ber-ijtihad (mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan ajaran Islam berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu). Muhammadiyah tidak mengenal budaya taqlid (mengikuti pemikiran ulama tanpa mengetahui dalil dan argumentasinya), melainkan dibudayakan sikap ittiba’ (mengikuti pemikiran ulama dengan mengetahui dalil dan argumentasinya).
Barangkali, dalam hal ini Muhammadiyah yang mengedepankan akal fikiran sebagai alat untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah, memang terlihat agak berbeda dengan kelompok lain yang berpendapat menjalankan ajaran agama Islam berdasarkan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah tetapi dengan pemahaman Salafus Shalih. Mengenai faham agama Muhammadiyah, lebih lengkap silakan saudara membaca buku-buku Kemuhammadiyahan (ideologi Muhammadiyah, HPT, Manhaj Tarjih dan lain-lain) yang banyak beredar di toko-toko buku Muhammadiyah maupun perwakilannya di wilayah maupun daerah tempat saudara berada.
Selanjutnya, untuk menjawab pertanyaan saudara, kita harus mengetahui siapakah salafus shalih yang dimaksud di atas. Salafus shalih ialah para pendahulu yang saleh. Ini adalah sebutan bagi generasi Islam yang ada pada awal Islam hingga kurang lebih abad keempat atau kelima Hijriyah, seperti para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in dan dua atau tiga generasi setelah mereka.
Salafus shalih itu, karena dekatnya zaman mereka dengan zaman Nabi Muhammad saw, maka mereka mempunyai pemahaman agama yang lebih baik daripada para generasi setelah mereka. Apalagi para sahabat, mereka ini bergaul dengan Nabi Muhammad saw dalam senang dan susah, dalam keadaan damai dan perang, dalam semua situasi dan kondisi. Mereka bersama beliau ketika ayat-ayat al-Quran turun, mereka mengetahui secara langsung penjelasan-penjelasan Nabi saw tentang ayat-ayat yang turun tersebut dan tentang hal-hal yang mereka belum ketahui.
Namun pertanyaannya ialah, adakah pemahaman mereka itu mengikat kita atau tidak? Pemahaman salafus shalih – terutama para sahabat— itu dipersilisihkan para ulama. Sebagian mereka menganggapnya sebagai hujjah syar’iyah (dalil agama) yang harus diambil jika dalam suatu masalah tidak ada dalil dari al-Quran, hadis dan ijma’. Dan jika pemahaman atau pendapat para sahabat itu berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka harus dipilih salah satu. Argumentasi mereka ialah, bahwa kemungkinan pendapat mereka itu benar sangat besar, dan kemungkinan pemahaman mereka itu salah sangat kecil.
Ini karena mereka menyaksikan turunnya al-Qur’an dan mengetahui hikmah pensyariatan serta sebab-sebab turunnya al-Qur’an. Mereka juga menemani Nabi saw dalam jangka waktu yang panjang, sehingga hal itu membuat mereka paham dan mengerti syariat. Ini semua membuat pemahaman dan pendapat mereka mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan pemahaman dan pendapat selain mereka.
Sementara sebagian ulama lain berpendapat bahwa pemahaman dan pendapat para sahabat itu bukan hujjah syar’iah, sehingga kita tidak wajib mengambilnya. Argumentasinya ialah yang wajib diikuti dan diambil ialah al-Quran dan hadis. Sementara pendapat dan pemahaman sahabat bukan termasuk di dalamnya. Pendapat akal itu mungkin benar mungkin salah. Dalam hal ini, tidak ada beda antara para sahabat dan selain mereka, meskipun kemungkinan salah dari mereka itu kecil sekali.
Adapun Muhammadiyah, khusus mengenai pendapat yang berasal dari generasi sahabat dan tabi’in, telah memiliki beberapa ketentuan yang terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih, Kitab Beberapa Masalah, Butir 21 tentang Usul Fiqih, halaman 300, yang menyebutkan di antaranya sebagai berikut
1- مُرْسَلُ التَّابِعِيِّ الْمُجَرَّدُ لاَ يُحْتَجُّ بِهِ .
(Hadis mursal Tabi‘i murni tidak dapat dijadikan hujjah)
2- مُرْسَلُ التَّابِعِيِّ يُحْتَجُّ بِهِ إِذاَ كاَنَت ثَمَّ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى اتِّصاَلِهِ .
(Hadis mursal Tabi‘i dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya)
3- مُرْسَلُ الصَّحاَبِيِّ يُحْتَجُّ بِهِ إِذاَ كاَنَت ثَمَّ قَرِيْنَةٌ تَدُلُّ عَلَى اتِّصاَلِهِ .
(Hadis mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya)
Dari pendapat para ulama tersebut di atas dan kaidah tentang hadis dalam HPT, dapatlah diketahui bahwa pemahaman dan pendapat para sahabat dan tabi’in itu bukan dalil yang mengikat, tetapi tidak ada halangan untuk diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an maupun as-Sunnah serta memenuhi kriteria-kriteria yang telah disebutkan di atas. Dan dalam masalah tersebut tidak ada dalil lain yang lebih muktabar (diakui).
Jadi, sebagai kesimpulan dapatlah dipahami bahwa mengikuti pendapat atau amalan para salafus shalih pada dasarnya tidak dilarang, sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah serta sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam HPT di atas.
Wallahu a’lam bish shawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 11 Tahun 2010