Baik dan Lebih Baik Lagi
Suatu hari KH Abdul Kahar Mudzakkir, tokoh Muhammadiyah, melihat seorang anak muda mengantarkan susu ke rumahnya. Anak itu ditanya asal usulnya. Sebuah kampung yang sebagian warganya memelihara sapi perah.
“Dulu nenek dan kakekmu bekerja sebagai apa?”
”Petani, Kiai.”
”Ayahmu?”
”Menjadi peternak sapi perah, Kiai. Saya yang mengantarkan susu perahan ayah ke pelanggan.”
“Bagus. “
“Maksudnya apa Kiai?”
“Maksudku, antara kakek dan ayahmu sudah ada kemajuan. Menjadi petani itu baik. Dan menjadi peternak sapi perah itu lebih baik. Bisa menyebar hidup sehat ke banyak orang.”
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian bertanya,” Kalau begitu, apakah saya nanti harus lebih baik dibandingkan kakek dan ayah saya?”
“Tentu saja, Nak.”
“Caranya bagaimana, Kiai?”
“Kau harus sekolah, belajar menjadi lebih pandai dibanding kakek dan ayahmu.”
Sampai kuliah, Kiai?”
“Tentu saja. Kalau mau kuliah hukum, ya di perguruan tinggi saya.”
”Baik. Siap. Tunggu ya Pak Kiai. Saya mau merampungkan sekolah saya dulu.”
”Baik, saya tunggu di kampus saya.”
Sepulang mengantar susu, anak muda itu merenung. Ia minta agar uang tabungan ayah ibunya dipergunakan membiayai sekolahnya. ”Pokoknya sampai saya selesai kuliah.”
Ayah dan ibunya terharu mendengar semangat anaknya, menempuh kehidupan yang lebih baik dibanding mereka berdua.
Benar. Dan untuk menjadi lebih baik ia harus keluar dari kebiasaan lama dan kebiasaan masyarakat atau kelompoknya. Ketika anak seusia dia merasa cukup degan lulus sekolah menengah, dia kuliah. Dan ketika kuliah teman-temannya merasa cukup menjadi mahasiswa biasa ia menjadi ketua komunitas mahasiswa. Kemudian agar menjadi mahasiswa yang agamanya lebih baik dibanding temannya, dia berani memberi pengajian sehingga dikenal sebagai muballigh muda. Agar bisa menjadi muballigh yang lebih baik, dia pun berdakwah keliling di kota-kota besar di pulau Jawa. Pengalamannya banyak.
Setelah lulus dia menjadi dosen mengajar ilmu hukum. Agar ilmu hukumnya tajam, dia praktik menjadi pembela bagi yang memerlukan bantuan hukum. Kemudian kuliah profesi notaris. Setelah lulus dan menjadi notaris ingin menjadi notaris yang baik. Oleh karena itu dia mengamalkan dan mengikhlaskan keahliannya untuk membantu umat. Setiap ada komunitas Muslim mau membangun masjid dan mau mendirikan yayasan atau perkumpulan yang baik, ia selalu tidak mau dibayar. Dia ikhlaskan pelayanannya.
Allah SwT membalasnya dengan kebaikan berlipat ganda. Hidupnya menjadi lebih baik lagi. Harta melimpah dan dia punya pendapat unik. Untuk menuju hidup yang lebih baik lagi dia perlu memperbaiki hidup masyarakat, dia tidak mau menjadi manusia baik dan lebih baik sendirian. Oleh karena itu, dia membangun banyak masjid dan mewakafkannya ke masyarakat yang memerlukan.
Ayat fastabiqul khairat, dia tafsirkan sebagai: berlomba-lombalah (berebut-rebutlah) dalam mencapai banyak keunggulan. Ini dia praktikkan. Sekarang bagaimana rasanya hidup? ”Alhamdulillah, saya merasa cukup bahagia,” jawabnya. (Mustofa W Hasyim)
Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2018