Sitti Asma Husain Kr Opu: Mendidik dalam Diam, Melahirkan Sejuta Cahaya
Oleh: Agusliadi Massere
Kematian adalah keniscayaan. Kabar meninggalnya Sitti Asma Husain Kr. Opu, hari Selasa, 08 Maret 2022, memancarkan dan mengalirkan duka, baik dari orang-orang yang mengenal almarhumah, terutama dari keluarga terdekatnya. Hal ini sesuatu yang manusiawi dan naluriah. Sangatlah tepat kesimpulan M. Quraish Shihab dalam pengantar-nya pada buku Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat, “…sedikit sekali yang mau menerimanya—kalau enggan berkata bahwa semua orang merasa sangat berat meninggalkan hidup ini. Semua berkata dalam hatinya seperti ucapan Chairil Anwar, Aku ingin hidup seribu tahun lagi”.
Kepulangan almarhumah ke alam “keabadian”, bukan hanya memantik duka, namun termasuk memantik harapan besar dari orang-orang yang mengenal sosoknya. Harapannya, agar ada coretan inspiratif tentang almarhumah untuk bisa menjadi kisah keteladanan untuk dibaca. Mungkin tidak berlebihan jika harapan itu dikatakan menyerupai “mercusuar”. Pemancar cahaya yang akan menerangi perjalanan kehidupan, minimal anak cucunya dan orang-orang yang mengenalnya dengan baik.
Salah seorang jajaran Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bantaeng menelpon saya dan menaruh harapan, “Agus, beliau almarhumah orang dan sosok yang luar biasa, semua anaknya sukses dan termasuk mewakafkan waktunya untuk berjuang dalam persyarikatan Muhammadiyah. dan bahkan ada yang menjadi rektor. Sebaiknya kisahnya dituliskan, dan saya yakin Agus bisa”. Ini sepenggal kalimat dari percakapan panjang H. Maula ketika menghubungi saya via handphone. Saya pun mengiyakan dan menyanggupi dengan jawaban singkat “Insya Allah pak haji, saya juga akan hubungi Kak Mukhaer (sapaan akrab saya kepada Mukhaer Pakkanna, Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta)”.
Dalam percakapan via telepon tersebut, seketika dalam diri ini terjadi proses algoritmik, terjadi proses kimiawi meng-call data-data dalam memori diri ini terkait hasil bacaan dari Yudi Latif bahwa, terjadi krisis keteladanan, banyak yang meratapi ketiadaan panutan, sebagai mercusuar di kegelapan. Hal ini memantik gairah, untuk semakin bersemangat dan betul bahwa kisah itu harus dituliskan. Apalagi saya pun banyak terinspirasi dari Diana Whitney & Amanda Trosten-Bloom, berdasakan yang saya pahami dan reinterpretasikan, yang salah satunya bahwa hal-hal inspiratif tidak selamanya datang dari sosok yang sekaliber Buya Hamka, Soekarno, Mahatma Gandhi.
Pada intinya, melalui sosok beliau/almarhumah, saya dan termasuk mereka yang mengenalnya berharap dan seakan ingin menjawab dan mengikuti harapan Yudi Latif agar kita tidak gagal mentransmisikan kisah keteladanan. Yudi Latif menegaskan “Sejauh ini, kita gagal mentransmisikan kisah keteladanan para ‘pahlawan’ bangsa. Lalu di mana relevansinya, apakah almarhumah pahlawan? Meskipun almarhumah bukan pahlawan dalam pemahaman yang lazim, tetapi jika kita mengikuti kisah kehidupan keluarga almarhumah, sebagai anak dan istri dari seorang pahlawan, bisa dipastikan ada peran yang dilakoninya sehingga sosok suami almarhumah terus semangat berjuang. Apalagi almarhumah melahirkan sosok putra-putri yang luar biasa yang sampai detik ini memainkan peran-peran strategis dan bermuara pada kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
Atas niat dan harapan tersebut, dan setelah menghubungi Kak Mukhaer, saya mendapatkan sejumlah informasi yang semoga bisa menjadi setetes inspirasi untuk dialirkan kepada anak cucu almarhumah secara khusus dan anak bangsa secara umum dan semoga mengandung mutiara “pesan moral”.
Sitti Asma Husain Kr. Opu lahir di Bantaeng, Sulawesi Selatan, pada tanggal 17 Maret 1935. Lahir dari ayah, Husain Karaeng Opu dan ibu Karaeng Basse. Sitti Asma adalah anak kedua dari tujuh bersaudara. Masa anak-ananya dihabiskan di Lembang Parang, Talatala, Kecamatan Bissappu
Pada 1958, menikah dengan seorang pejuang kemerdekaan yang pernah beberapa kali mendekam di penjara dan dibuang oleh rezim kolonial Belanda di tanah Papua, bernama Karaeng Pakkanna. Putra Bantaeng kelahiran Batulabbu, Tompobulu. Karaeng Pakkanna masih kerabat dekat atau sepupu dari pihak bapaknya.
Dalam mengaruni bahtera rumah tangganya bersama Karaeng Pakkanna, Sitti Asma melahirkan tujuh putra dan putri, yakni Muhammad Amri Pakkanna, Sukmawati Pakkanna, Aida Pakkanna, Sharauwiyah Pakkanna, M. Arasy Pakkanna, Mukhaer Pakkanna, dan Akhyar Palawa. Dari anak-anak almarhumah ini, meskipun konteks perjuangannya berbeda dengan almarhum bapaknya Karaeng Pakkanna, yang dikenal sebagai “pahlawan kemerdekaan”, mereka juga sesungguhnya adalah “pahlawan bangsa”. Di antaranya anaknya ada yang menjadi Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta dan Sekretaris MEK Pimpinan Pusat Muhammadiyah, menjadi Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bantaeng, dan menjadi Ketua Pimpinan Daerah Aisyiyah Bantaeng. Singkatnya semuanya aktif berjuang dalam persyarikatan Muhammadiyah dengan menjalankan peran-peran yang sangat strategis.
Sebagai istri pejuang dan anak dari pejuang kemerdekaan, Sitti Asma pun merasakan pahit getirnya kehidupan di zaman penjajahan kolonial (Belanda dan Jepang). Beliau mafhum, suaminya, Karaeng Pakkanna adalah seorang pemuda yang jauh sebelum menikah, selalu menjadi incaran tentara kolonial untuk ditangkap.
Bahkan berdasarkan keterangan yang saya dapatkan dari anak-anaknya, bersama kawan-kawan pejuang lainnya, Karaeng Pakkana pernah menculik dan membunuh aparat penting KNIL Belanda, yang bertugas di Karesidenan Bantaeng pada 15 September 1946. Ihwal inilah yang menjadikan Karaeng Pakkana dan sahabatnya, dibuang ke Papua hingga penyerahan kedaulatan pada tahun 1949.
Sebagai istri pejuang, Sitti Asma tentu merasakan perihnya mendampingi seorang pejuang. Bukan itu saja, usai kemerdekaan hingga menikah pun, suaminya Karaeng Pakkanna, masih belum padam spiritnya dalam berjuang membela hak-hak masyarakat kecil. Tak heran, jika dekade 1960an, Karaeng Pakkanna pun kembali mendekam di penjara politik di Makassar.
Suasana seperti itu telah berdampak, jika Sitti Asma pun memiiki tingkat militansi yang kuat dalam mendidik anak-anaknya. Dengan aktivitas suaminya yang luar biasa, otomatis putra-putrinya lebih dekat dengan dirinya. Belas kasih dan didikan dari Sitti Asma, telah membentuk karakter militansi, kedisiplinan, dan karakter yang tak boleh menyerah.
Sebagai putra dari aktivis Muhammadiyah, Sitti Asma juga mendidik putra-putrinya dengan suasana religiusitas yang kental. Semua putra-putrinya, diajak untuk aktif di Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah. Dari hal tersebut bibit Muhammadiyah makin menguat. Tidak heran, jika semua anaknya aktif di IPM, IMM, Pemuda Muhammadiyah, NA, ‘Aisyiyah hingga pimpinan Muhammadiyah.
Dalam membina keluarga, aspek pendidikan menjadi kunci dari pembentukan karakter. “Apa pun yang terjadi, anak-anak harus sekolah hingga pendidikan tinggi,” katanya. Karena itu suasana pendidikan sejatinya telah terbentuk di dalam keluarganya.
Dari informasi yang berhasil saya gali, Karaeng Pakkanna pun sejak 1970an, selain aktif di Muhammadiyah, juga menjadi perwakilan untuk distributor beberapa media nasional, seperti Panji Masyarakat (Panjimas), Suara Muhammadiyah, Suara ‘Aisyiyah, dan Majalah Al Muslimin. Selain itu, buku-buku referensi agama, biografi tokoh-tokoh pejuang nasional dan internasional, hingga buku-buku umum selalu tersedia di dalam rumahnya.
Suasana seperti itu, membentuk suasana akademik dalam rumah tangga. Bahkan, seringkali muncul diskusi-diskusi kecil antara orang tua dan anak-anak berkaitan isu-isu terkait dengan berita hangat yang muncul dari edisi baru, dari majalah-majalah langganan itu. Sekali lagi, suasana ini tidak lepas dari sentuhan tangan dan pikiran Sitti Asma dalam mendukung suaminya agar anak-anak dibiasakan dalam suasana terdidik.
Artinya, pendidikan tidak semata pengajaran dan transfer ilmu, tapi atmosfir yang diciptakan mampu memengaruhi karakter moral dan pikiran anak. Sitti Asma, telah mendidik anak-anaknya dengan model mendidik secara diam, dengan contoh dan suasana.
Belajar atau membaca kisah almarhumah bersama keluarganya, minimal diri ini dan para pembaca akan mendapatkan mutiara “pesan moral”, salah satunya bahwa hal inspiratif tidak selamanya harus ditemukan dari sosok yang bergerak massif mengonsolidasikan pergerakan dan melahirkan ribuan karya tulis, tetapi dari sosok almarhumah pun, yang mengedepankan keteladan sikap dan tindakan dalam keluarga dan termasuk kemampuannya menciptakan suasana atau atmosfir yang memantik spirit pendidikan dan keilmuan mampu “Melahirkan Sejuta Cahaya”. Tidaklah berlebihan, jika saya menyimpulkan “mendidik dalam diam pun, Sitti Asma mampu melahirkan sejuta cahaya”.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.