Membendung Lahirnya Totalitarianisme: Buah Pemikiran Muhammadiyah untuk Bangsa
JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Akhir-akhir ini, muncul beberapa gejala terkait dengan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Baik gejala distorsi, gejala deviasi, hingga gejala stagnansi. Mengantisipasi hal tersebut, Muhammdiyah melalu Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) menyelenggarakan Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah – ‘Aisyiyah ke-48 pada Rabu (16/3), bertempat di Aula FEB UMJ.
Tujuan dari seminar yang juga diselenggarakan secara daring tersebut adalah untuk mendapatkan masukan, serta gagasan besar dalam rangka penyusunan program Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah, serta memberikan sumbangan pemikiran dalam konteks yang lebih luas.
“Kami menyelenggarakan seminar ini sebagai bagian dari upaya untuk bagaimana kami mendapatkan masukan-masukan, dan juga gagasan-gagasan besar dalam rangka penyusunan program Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah, serta juga dalam rangka kepentingan yang lebih luas, yaitu memberikan sumbangan pemikiran dalam konteks kehidupan, keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal” terang Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr Abdul Mu’ti, M Ed dalam sambutan.
Abdul Mu’ti menegaskan bahwa Muhammadiyah sangat memperhatikan masalah-masalah kebangsaan. Sejarah menegaskah hal tersebut. Beliau mengisahkan bahwa beberapa dokumen resmi Muhammadiyah juga turut andil dalam menyumbangkan buah pemikiran untuk keumatan dan kebangsaan.
“Ketika kita tahun 2015 sebelum Muktamar Muhammadiyah di Makassar 2011 – 2015 itu Muhammadiyah sangat konsern dengan masalah-masalah kebangsaan ada beberapa dokumen resmi Muhammadiyah terkait dengan masalah keumatan, kebangsaan, itu yang memang kami rumuskan sebagai bagian dari sumbangan pemikiran Muhammadiyah untuk Indonesia yang lebih berkemajuan. Saya masih ingat bagaimana Muhammadiyah merumuskan revitalisasi visi dan karakter bangsa yang merupakan keputusan Tanwir di Lampung, kemudian kita berbicara menurut saya sangat pundamental adalah sidang Tanwir di Samarinda, dimana Muhammadiyah merumuskan rancang bangun Indonesia yang berkemajuan.” Kenang Abdul Mu’ti.
Senada dengan hal tersebut, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Dr Ma’mun Murod, M Si juga menegaskan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia memerlukan perbaikan. Ihwal tersebut tampak dalam berbagai ranah, seperti perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan kepentingan nasional.
“Tema ini sebenarnya sebuah penegasan. Merekonstruksi, berarti yang ada saat ini dinilai sudah gagal. Maka perlu ada rekonstruksi ada pembangunan kembali terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia yang ada saat ini.” Jelas Ma’mun Murod.
Menakar Gelombang Perubahan
Hadir sebagai pembicara kunci, Prof Dr Jimly Ash-Shiddiqie mengajak para peserta seminar untuk melihat perubahan yang terjadi secara keseluruhan, tidak dengan hanya melihat Indonesia saja, tetapi melihat perubahan secara global. Jilmy Mengisahkan pada pertengahan abad 20 perubahan dahsyat terjadi dalam tatanan ekonomi sosial politik dunia.
“Maka hati-hati kita juga menghadapi kemungkinan serupa di pertengahan abad 21 ini.” Ujar Ketua Mahkama Konstitusi RI periode 2003 – 2008 itu.
Indikasinya bermula pada munculnya disrupsi teknologi yang menyeruak ke berbagai bidang. Termasuk merebaknya pandemi Covid-19 yang terjadi dalam dua tahun terkahir. Tentu peristiwa tersebut menimbulkan suatu gelombang perubahan.
“Oleh karena itu saudara-saudara, mari kita mengevaluasi diri kita dengan mi’raj ke langit, lihat keseluruhan persoalan hidup kita ini dengan mengambil jarak yang agak cukup jauh, sehingga kita bisa kritis dari tidak melihat foto, foto, foto, snapshoot, tetapi melihat keseluruhan dinamika perkembangan, baru setelah itu kita bisa menata ulang sistem ketatanegaraan kita ini bagaimana baiknya.” Jelas Jimly yang saat ini menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2019 – 2024.
Dihadapan para peserta seminar, Jilmy juga mengingatkan untuk menampik berbagai retorika yang muncul. Menurutnya bernegara merupakan kegiatan membuat keputusan, bukan membuat wacana. Termasuk salah satu yang menyeruak belakangan ini adalah wacanan tiga periode.
“Tapi bernegara itu, itu adalah kegiatan membuat keputusan-keputusan, bukan membuat wacana-wacana, yah lihat keputusan yang diambil, ya keputusan yang mana, kan sudah dibuat keputusan, 14 Februari pungutan suara, satu agustus 2022 tahapan pertama sudah disepakati, jadi ada dua golongan yang berkegiatan. Satu kegiatan retorika, berkata-kata, satu bertindak dan membuat keputusan.” Jelas Jilmy.
Jilmy menyadari bahwa ancaman terhadap demokrasi merupakan hal yang nyata di era sekarang. Perpanjangan tiga periode salah satunya, bukanlah satu hal yang baru. Banyak negara yang berhasil, tetapi banyak juga yang berdarah-darah dalam menerapkan tiga periode. Bahkan yang berhasil menerapkan hal tersebut, juga belum tentu termasuk dalam kategori demokrasi yang berkualitas.
Dalam salah satu kasus, dikisahkan Jilmy bahwa selain wacana tiga periode, ada juga bentuk lain yang umum terjadi di berbagai negara. Misalnya di suatu negara pemilu tetap dilaksanakan lima tahun sekali, akan tetapi partai oposisi diberangus, sehingga penguasa saat ini tetap memenangkan pemilu. Dengan demikian penguasa tersebut akan tetap menjadi penguasa untuk waktu yang lama.
“Demokrasi apa tanpa pergantian kekuasaan.” Kecam Jimly.
Tidak kalah menarik kisah pemilihan di Rusia. Kala itu, dari delapan calon presiden, Putin mendapatkan suara sebesar 76 persen. Menurut Jimly ini juga akan berpotensi menjadi penguasa dalam waktu yang lama.
Melengkapi kisahnya, Jimly mengisahkan bahwa saat ini presiden Tiongkok, Xi Jinping telah mendeklarasikan dirinya sebagai presiden seumur hidup secara resmi. Peristiwa ini pernah dialami oleh bangsa Indonesia pada tahun 63, dalam Tap MPRS No.3 Tahun 63 yang menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
“maka saudara ini gejala umum. Inilah namanya regress, regress in democracy kemunduran demokrasi, gejala umum. Oleh karena itu saudara-saudara, kita tidak boleh taken for granted. Ini soal serius” Antisipasi Jimly.
Membendung Lahirnya Totalitarianisme
Lebih jauh, saat ini bangsa Indonesia tengah menghadapi tiga permasalahan serius. Pertama menyatunya kepentingan bisnis dan politik. Hal ini menurut Jimly tentu menimbulkan berbagai permasalahan. Kedua, menyatunya urusan kantor dan urusan privat. Hal ini juga berpotensi menimbulkan kekacauan di tengah masyarakat. Ketiga, tumbuhnya budaya feodal.
“Jadi saudara-saudara sekalian dinasti politik itu dimana-mana merajalela iya kan. Tat kala dia kolaborasi dengan oligarki ekonomi karena demokrasi makin menunjukkan gejala makin lama, makin mahal, butuh biaya, maka pemilik modal makin besar perannya dalam menentukan proses-proses politik” Tegas Jimly Ash-Shiddiqi.
Konflik kepentingan telah berpotensi besar dalam menumbuhkan lahirnya totalitarianisme, yaitu kekuasaan yang menguasai kekuasaan politik, korporasi, menguasai media, dan civil society. Misalnya seorang pengusaha mendirikan industri media, kemudian membuat partai besar. Menurut Jimly pengusaha tersebut, tentu memiliki dua tujuan yaitu menjadi presiden atau menjadi king maker presiden.
Untuk mencegah lahirnya totalitarianisme, Jimly menyarankan agar tidak terjadi konflik kepentingan antara dua pembagian kekuasaan. Yaitu inner structure of power meliputi Lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan media massa, dan outer structure of power meliputi state, civil society, market dan media massa.
“The new form of Quadro politica ini harus diatur jangan konflik kepentingan kalau tidak catat ini pada suatu hari akan muncul the new form of absolute totalitarianism” Tegas Jimly.
Disamping itu, Jimly juga mengusulkan untuk membuat undang-undang larangan konflik kepentingan, adanya reformasi undang-undang PT, undang-undang penyiaran, undang-undang pemilu, undang-undang partai untuk mengatur berbagai hal.
“Misal oke dinasti politik diizinkan, tapi hanya dua generasi sesudahnya harus ada jeda, jadi kalau ketua umum, ketua umum berikutnya nggak boleh anaknya, harus orang lain baru periode selanjutnya. Begitu juga undang-undang PT, diperkenalkan ada CPR (Corporate Political Responsibility) semua perusahaan tidak boleh hanya menjadi penopang satu partai, harus diatur semua partai itu kebagian. Media tidak boleh menjadi media satu partai, karena jam tayang itu milik public, itu bukan milik privat PT. Maka harus diatur jam tayang harus dibagi semua peserta pemilu, lima menit-lima menit perhari tidak boleh misalnya Metro tv hanya dengan Nasdem, Golkar hanya dengan Tvone misalnya, Perindo hanya dengan rcti, harus dilarang nah ini semua harus segera, tentu tidak mudah” usul Jimly. (dandi)