Problematika Sistem Ketatanegaraan Indonesia
JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Data yang baru-baru ini dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit, melanggengkan Indonesia pada peringkat 51 dengan skor 6,71 dari 167 negara terkait indeks demokrasi dunia. Peringkat ini naik dari yang sebelumnya pada tahun 2020 berada di peringkat 64 dunia. Tak ayal skor tersebut membuat Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan kinerja peningkatan skor terbaik, meskipun masih dalam kategori flawed democracy (demokrasi cacat).
Terkait peringkat tersebut, Titi Anggraini SH MH melalui materinya bertajuk “Konstitusi dan Problematika Sistem Pemerintahan Presindensial” menyebutkan masih banyak masalah yang perlu dibenahi. Ada dul hal yang membuat peringkat indeks demokrasi Indonesia meningkat. Pertama, adanya putusan Mahkama Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat. Hal ini disinyalir sebagai bukti adanya independensi peradilan. Kedua, politik Presiden Joko Widodo yang mengakomodasi berbagai kelompok politik dalam kabinet dinilai kondusif untuk membangun konsensus antar kekuatan politik. Dua hal inilah yang dianggap sebagai kontributor terhadap perbaikan kondisi demokrasi Indonesia. Akan tetapi bagi Titi, langkah tersebut justru berpotensi melemahkan produk Undang-Undang.
“Ketika semua kekuatan politik ditarik masuk ke dalam, maka kontrol menjadi melemah. Produk legislasi jauh dari partisipasi masyarakat dan akhirnya legislasi yang dihasilkan menjadi inkonstitusional.” Jelas Titi dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah ke-48 sesi pertama yang berlangsung pada Rabu (16/3) di Aula FEB UMJ.
Problematika Sistem Presidensial Indonesia
Dalam materinya, Titi Anggraini kembali mengulas beberapa karakter dari sistem presidensial. Beberapa diantaranya adalah presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A ayat (1) UUD NRI tahun 1945); presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan (pasal 7 UUD NRI Tahun 1945); pemilihan umum dilaksanakn secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali (pasal ssE ayat (1) UUD NRI Tahun 1945); serta pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan wakil presiden dan Dewan Perwakilann Rakyat Daerah (pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945).
Mengutip Seorang pakar kenamaan Juan Linz dalam bukunya berjudul The Perils of Presidentialism tahun 1990, yang mengatakan bahwa ada tiga bahaya utama dari sistem presidensial. Pertama, dual legitimacy (legitimasi ganda), hal ini terjadi karena presiden dan parlemen sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Sehingga ada kecenderungan untuk saling berkompetisi satu sama lain. kedua, Rigidity (masa jabatan presiden yang tetap dengan pemilu secara berkala) sehingga apabila presiden terpilih, dalam menjalankan kinerjanya dinilai buruk, maka mau tidak mau kita harus menunggu sampai dengan akhir masa jabatan, atau jika memang terjadi sesuatu yang bertentangan dengan konstitusi, maka mekanisme untuk mengkoreksinya melalui pemakzulan. Ketiga, majoritarian tendency (tendensi mayoritas) yaitu pemusatan kekuasaan.
Meskipun berbagai langkah telah dilakukan, kenyataanya justru berbalik. Sistem presidensial di Indonesia masih menyisahkan banyak permasalahan. Beberapa yang dipaparkan Titi antara lain adalah makin mengarah pada tendensi mayoritas (pemusatan kekuasaan) dan melemahnya kekuatan penyeimbang.
Masalah berikutnya adalah adanya ketergantungan pencalonan presiden pada kekuatan parlemen, melalui pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Ihwal tersebut merupakan anomali terbesar yang ada dalam sistem presidensial di Indonesia.
“Ini merupakan penyimpangan paling nyata dari sistem presidensial, di mana sistem presidensil memperoleh mandat antara presiden dan parlemen secara berbeda melalui pemilu, tapi dalam sistem presidensial kita melalu pasal 222, calon presiden dipaksa untuk bergantung pada kekuatan parlemen dan parlemennya adalah parlemen masa lampau. Bukan partai politik yang saat itu berkompetisi menjadi peserta pemilu.” Kecam Titi yang merupakan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Ketiga, adanya pemilu nasional dan lokal yang digabungkan pada tahun yang sama sehingga pemilu lokal tidak bisa digunakan sebagai momentum koreksi. Keempat, adanya pemusatan kekuasaan yang dapat menimbulkan terjadinya pelemahan partisipasi publik, serangan pada kedaulatan rakyat, pemilu yang berkala, serta pembatasan masa jabatan.
Untuk mengurangi berbagai masalah tersebut, Titi Anggraeni merekomendasikan beberapa langkah untuk menata sistem ketatanegaraan Indonesia. Langkah tersebut antara lain kekuasaan presiden harus tetap diimbangi oleh adanya fungsi kontrol untuk menghindari tendensi pemusatan kekuasaan; penghapusan ambang batas pencalonan presiden untuk mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan; penjadwalan pemilu menjadi pemilu serentak nasional (memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, serta anggota DPD), diikuti dua tahun setelahnya oleh pemilu serentak daerah (memilih kepala daerah dan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota); dari pada terus menaikkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang berdampak pada besarnya suara sah yang terbuang (distorsi kedaulatan rakyat) lebih baik berlakukan ambang batas pembentukan fraksi; DPD harus didorong untuk berperan sebagai kekuatan penyeimbang; serta penguatan kultur kewargaan (civic culture) sebagai kontrol publik pada kekuasaan serta berbagai kebijakan yang berjarak dengan aspirasi masyarakat.
“Di sinilah peran Muhammadiyah sangat strategis dengan Islam berkemajuannya, bagaimana kita membangun anggota persyarikatan yang punya kesadaran tinggi untuk menjadi bagian dari kontrol terhadap para pejabat publiknya apalagi menuju 2024). Tutup peraih The Democracy Ambassadors pada tahun 2017 itu.
Menata Ulang Lembaga Tambahan
Pada kesempatan yang sama, Dr Endang Sulastri Msi menyampaikan materinya tentang Lembaga negara tambahan. Menurutnya, Lembaga negara tambahan dibentuk karena dalam perkembangannya, Lembaga negara yang telah ada belum maksimal dalam menjalankan perannya. Sehingga pemerintah membentuk Lembaga dan badan tambahan yang berfungsi membantu. Proses pembentukan Lembaga-lembaga tambahan tersebut dapat melalui amandemen UUD, melalui Undang-Undang, bahkan ada yang hanya berdasarkan PP atau Kepres. Lembaga tersebut dibentuk berdasarkan isu-isu parsial, insidental, dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang sedang dihadapi.
“Atau terbentuk karena lembaga formal yang ada, dianggap tidak mampu atau tidak dipercaya. Contoh misalnya ketika KPK itu kemudian muncul, itu karena orang tidak percaya kepada lembaga kepolisian, yang semestinya dia menegakkan keadilan. Ketika korupsi itu bisa diberantas, tetapi ketika korupsi sedemikian marak, orang kemudian melihat bahwa ada kebutuhan terhadap lembaga tersendiri.” Jelas Endang.
Akan tetapi pada kenyataannya, lanjut mantan Komisioner KPU RI tahun 2019 itu, Lembaga negara tambahan juga belum menjalankan perannya secara efektif.
“dia dibilang independen, tetapi kadang kala juga dalam prosesnya dia tidak independen,” prihatin Endang.
Untuk merekonstruksi lembaga negara tambahan tersebut, menurut Endang perlu dikembalikan pada Undang-Undang Dasar. Lembaga negara tambahan tersebut tidak boleh lepas dari Konstitusi, termasuk meliputi fungsi dan kedudukannya.
“Makanya ketika orang bicara bagaimana cara menata ulang, saya pikir kita lihat aja fungsi-fungsi apa yang harus ada” Usul Endang.
Misalnya dalam menjalankan fungsi demokrasi dan keadilan ada Lembaga KPU, Bawaslu, DKPP, KPK, kemudian terkait dengan fungsi kesejahteraan ada Dewan Pendidikan, BPJS, bank central, serta Lembaga berdasarkan fungsi perlindungan hukum dan HAM seperti KOMNAS HAM, KOMNAS PEREMPUAN, KPAI, kompolnas, dan LPSK.
Menata Ulang Desain Otonomi Daerah
Setidaknya ada lima persmasalahan mendasar yang dihadapi oleh sistem pemerintahan terkait dengan desentralisasi dan otonomi daerah. Pertama adanya ambivalensi orientasi konsep desentralisasi, yaitu ambivalensi antara orientasi ideologis dan teknis.
“Secara ideologi kita menghendaki dan mengharuskan adanya desentralisasi dan otonomi daerah karena ini penting dalam rangka untuk menciptakan efisiensi pemerintahan daerah, dan secara politis, untuk mendemonstrasikan bahwa kitab Indonesia menerapkan sistem pemerintahan yang demokrasi. Karena desentralisasi dan otonomi daerah ini merupakan simbol dari dilaksanakannya sistem pemerintahan yang demokrasi. Itu sebabnya penting desentralisasi dan otonomi daerah ini dihadirkan secara ideologis.” Terang Prof Syarif Hidayat.
Persoalan kedua adalah belum teraktualisasinya secara utuh prinsip desentralisasi dalam negara kesatuan. Menurut Syarif secara konseptual prinsip desentralisasi dalam negara kesatuan adalah sharing of power (berbagi kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah). Karena karakteristik daerah dalam negara kesatuan berbeda-beda, maka ruang lingkup kewenangan yang didesentralisasikan pun tidak harus seragam. Model tersebut dikenal dengan desentralisasi asimetris. Akan tetapi, praktik desentralisasi di Indonesia sejauh ini lanjut Syarif lebih bersifat desentralisasi simestris atau seragam.
“Nah ini juga kita lihat mengapa saya sebut berarti prinsip dasar desentralisasi dalam negara kesatuan itu belum sepenuhnya diterapkan” Sesal Syarif.
Persolan ketiga adalah belum teraktualisasinya semboyang Bhinneka Tunggal Ika dalam tata Kelola relasi pusat-daerah. Selanjutnya, desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia cenderung berkarakter State-Centre. Implikasi dari bentuk ini menurut Syarif adalah aktor desentralisasi lebih didominasi oleh negara (State Actors), dan orientasi kebijakan pun lebih difokuskan pada pengaturan relasi antar tingkatan pemerintah dalam negara. Sementara masyarakat sipil serta pengaturan tentang hak dan tanggun jawab mereka tidak mendapatkan perhatian seimbang dalam konsep maupun kebijakan desentralisasi dan ekonomi daerah.
“Itulah sebabnya maka tidak mengherankan pada awal-awal kita melaksanakan reformasi desentralisasi dan otonomi daerah, itu banyak kantor Bupati dibakar oleh masyarakat karena demo. Kenapa? karena masyarakat merasa tidak diikutsertakan. Tiba-tiba sudah hadir saja sejumlah konglomerat, terutama di pertambangan yang mereka rasakan merusak lingkungan. Sementara mereka tidak diikutsertakan di dalam pengambilan keputusan ketika memberikan perizinan.” Kisah Peneliti BRIN itu.
Terakhir adalah masalah kebijakan desentralisasi bersifat pragmatis-parsialistik dan lebih berorientasi pada kepentingan “Kuasa”. Reformasi desentralisasi selama ini lebih didasarkan pada upaya merespon “penggalan peristiwa”, belum sepenuhnya diarahkan untuk menjawab kepentingan bangsa.
Berdasarkan lima permasalahan tersebut, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu juga mengusulkan beberapa solusi guna mengatasi permasalah tersebut. Pertama dengan melakukan aktualisasi konsep dalam negara kesatuan, salah satunya dengan merealisasikan model desentralisasi dan otonomi daerah asimetris. Hal ini karena menurut Syarif, prinsip desntralisasi dalam negara kesatuan adalah berbagi kekuasaan (Sharing of Power) serta model otonomi daerah negara kesatuan adalah otonomi luas, terbatas dan khusus. Sehingga praktik desentralisasi dan otonomi daerah seharusnya bersifat asimetris, serta disesuaikan dengan karakter, kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki oleh masing-masing daerah.
Langkah kedua adalah reformasi konsep tata kelola desentralisasi dari decentralization for good governance menuju decentralization for proper governance. Good Governance menurut Syarif mengacu pada dua prinsip, yaitu developmental (pembangunan) serta democratic (demokratis). Sementara konsep proper governance mengacu pada empat pilar, yaitu developmental, democratic, socially inclusive (inklusif secara sosial) serta local context yang berakar secara budaya dan sejarah.
Ketiga, perlunya restorasi konsep otonomi daerah dari otonomi daerah Pemda (pemerintah daerah) menjadi otonomi pemerintah masyarakat daerah. Sehingga otonomi yang seharusnya ada lengkap syarif, bukan otonomi pemerintah daerah, akan tetapi otonomi daerah sebagai entitas yang melingkupi pemerintah daerah dan masyarakat.
“Berarti otonomi daerah itu bukan otonomi yang hanya dimiliki penyelenggara pemerintah daerah, tetapi juga otonomi yang melibatkan masyarakat, baik masyarakat sipil maupun masyarakat ekonomi sebagai konsekuensi dari daerah tadi sebagai suatu entitas.” Lengkapnya.
Keempat, perlu adanaya rekonstruksi pendekatan kebijakan desentralisasi. Sehingga pendekatan kebijakan tidak “Pragmatis-parasialistik” yang lahir berdasarkan “Penggalan Peristiwa” dan lebih berorientasi pada kepentingan “Kuasa”. Pendekatan yang seharusnya digunakan usul syarif adalah yang bersifat “Holistik”, dilahirkan berdasarkan “rangkaian peristiwa”, dan berorientasi pada pencapaian kepentingan bangsa.
Langkah terakhir direkomendasikan Syarif kepada para akademisi yaitu revitalisasi pendekatan studi desentralisasi: Dari inter dan multidisiplin menuju transdisiplin.
Menata Ulang Sistem Pemilu
Mengawali materinya bertajuk “Menata Ulang Sistem Pemilu: Partisipasi, Meritokrasi, dan Representasi”, Dr Phil Ridho Al-Hamdi MA memaparkan beberapa evaluasi sistem pemilu di Indonesia. Menurut Ridho Indonesia menetapkan sistem keterwakilan berimbang daftar (list PR) dalam pemilu.
“Ini pilihan tepat untuk corak budaya dan geografis,” terka Ridho.
Pada pemilu 1999 – 2004, sistem yang digunakan adalah sistem Close List Proportional Representation atau CLPR (Sentralisasi di partai). Pada sistem ini, partai menjadi pemegang utama atas pertarungan dalam pemilu. Sehingga politik uang beredar di kalangan elite. Menurut Ridho sistem tersebut cenderung baik, meskipun bukan jaminan pelembagaan partai politik menjadi baik.
Sementara evalusi pemilu 2009 – 2024 yang menggunakan sistem Open List Proportional Representation atau OLPR (sistem liberal, pasar bebas). Berdasarkan riset yang dilakukan terkait desain sistem pemilu, dari 6 provinsi dan 9 kabupaten/ kota Ridho menemukan bahwa politik uang merupakan kasus populer. Hal ini terjadi karena lemahnya undang-undang pemilu seperti pembatasan pelaku politik uang, tidak adanya perlindungan pelapor dan saksi, dan sentra penegakkan hukum terpadu yang masih lemah. Selain itu, maraknya politik uang juga disebabkan lemahnya pelembagaan partai politik.
Pada paparannya, Ridho juga menengarai tentang pilpres dan ambang batas presiden yang masih hangat hingga saat ini. Beberapa partai politik cenderung masih berselisih. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Bahkan ada beberapa partai politik yang dilema akan penggunaan ambang batas presiden. Mengenai hal tersebut, Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut menyarankan jalan tengah agar setiap parpol yang lolos Presidential Threshold (PT) dapat menominasikan Capres-Cawapres sendiri dengan catatan pilpres dan pileg dipisah dan syarat PT di tahun yang sama.
“Sehingga caleg-caleg independen yang saat ini sedang memperjuangkan untuk 0% itu bisa mendekati satu partai di parlemen, dari sembilan partai agar supaya itu menjadi modal awal mereka untuk bertarung, karena calon independen, mereka pun membutuhkan ekstra effort. Mereka membutuhkan pembentukan tim sukses, modal, mesin tim sukses yang mapan, yang itu partai politik setidaknya sudah satu langkah lebih maju. Sehingga calon-calon independen itu bisa mendekati dari Sembilan parpol yang ada di DPR setidaknya muncul sembilan capres, cawapres yang bisa diusulkan,” usul Ridho.