UMSU – LSF RI Kolaborasi Sosialisasi Budaya Sensor Film Mandiri
MEDAN, Suara Muhammadiyah – Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) dan Lembaga Sensor Film Republik Indonesia (LSF RI) menggelar sosialisasi dan diskusi terkait budaya sensor film mandiri. Tujuannya menghibau mahasiswa lebih cerdas dalam memilih tayangan yang ditonton.
Kegiatan digelar secara langsung di Auditorium UMSU – Jl. Kapten Muchtar Basri No.3 Kota Medan, Kamis (17/3). Acara diawali dengan penandatanganan naskah kesepahaman kerjasama (MoU) oleh Rektor UMSU, Prof. Dr. Agussani, MAP dan Ketua komisi 2 bidang Pemantauan Hukum dan Advokasi LSF RI, Dr. Ahmad Yani Basuki, M.Si.
“Kami dengan terbuka siap untuk bekerjasama, dalam hal pelatihan-pelatihan melibatkan mahasiswa dan berpartisipasi dalam program kegiatan LSF RI sesuai dengan pengembangan pendidikan,” ungkap Rektor.
Dia berharap, kerjasama dengan lembaga sensor film dapat memberikan pemahaman kepada mahasiswa agar lebih cerdas dalam memilih tontonan. Mahasiswa juga diharapkan bisa lebih bijak dan kritis dalam menyikapi tayangan dan tsunami informasi di era digital.
Sedangkan, Ketua Komisi 2 Bidang Pemantauan Hukum dan Advokasi LSF RI, Dr. Ahmad Yani Basuki, M.Si menjelaskan, kolaborasi LSF RI dengan UMSU ini sangat penting. Tugas LSF RI melindungi masyarakat dari dampak negatif film, agar film yang ditayangkan sesuai dengan Undang-Undang dan falsafah negara.
“Tugas ini tidak bisa dikerjakan sendiri dan harus kolaboratif. Kerjasama juga penting untuk menguatkan fungsi literasi masyarakat dalam aspek perfilman sehingga sejak 2021 telah dicanangkan gerakan nasional budaya sensor mandiri,” ujar Dr. Ahmad Yani.
Diskusi
Mou ditandai dengan sesi diskusi dipandu oleh Dosen FISIP UMSU Nurhasanah Nasution, M.Kom. Hadir sebagai narasumber, Ketua Subkomisi Data, Pelaporan dan Publikasi LSF RI, Dra. Rita Sri Hastuti, Ketua Subkomisi, Noorca M Massardi dan Kepala Biro Humas UMSU Dr. Ribut Priadi, M.I.Kom.
Melalui ruang dialog dan diskusi ini, Dra. Rita memperkenalkan eksistensi LSF RI yang sudah berdiri sejak masa penjajahan Belanda. Meski peninggalan Belanda namun tetap dipertahankan dengan berbagai perubahan kebijakan.
“Tugas Lembaga Sensor Film tidak hanya sekedar memotong dan menyensor, tapi terlebih dahulu ada dialog dan diskusi ke pemilik film untuk direvisi, agar lebih manusiawi,” ujar Dra. Rita selaku pembicara pertama.
Sementara itu, Ketua Subkomisi Dialog LSF Noorca M Massardi memberikan himbauan tentang budaya sensor mandiri yang perlu diterapkan dalam memilih tontonan sehat.
“Budaya sensor mandiri ini menjadi salah satu upaya LSFmelindungi masyarakat dari dampak negatif film. Jadi, tontonlah film sesuai klasifikasi usia,” ujar Noorca.
Sedangkan Dr. Ribut Priadi, M.I.Kom memberi gambaran pentingnya literasi digital di dunia pendidikan. Dia mengingatkan bahaya pengaruh serbuan informasi dan tayangan di media digital yang tanpa sensor.
Setidaknya ada 4 hal yang dapat diterapkan untuk memahami literasi digital, selalin melakukan sensor mandiri yaitu – mampu mengidentifikasi motif dari artikel atau tayangan, mampu mengidentifikasi agenda setting, framing yang disusun agar dapat berpikir kritis, belajar bersikap skeptis terhadap informasi dan tayangan dan memahami filter buble. (syaifulh)