Regresi Demokrasi dan Memperkuat Peran Politik Muhammadiyah
JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Bentuk pemerintahan demokrasi di Indonesia terus mengalami kemunduran. Perihal tersebut tampak pada melemahnya Indonesia sebagai negara hukum, melemahnya kekuasaan sipil, lemahnya oposisi hingga partisipasi masyarakat. Sebagaiman paparan Dr Ma’mun Murod MSI bahwa negara demokrasi memiliki ciri-ciri antara lain, merupakan negara hukum, pemerintahan berada di bawah kontrol rakyat, militer termasuk polisi juga berada di bawah kendali sipil, pemilu yang jujur dan adil, adanya oposisi dan checks and balances, adanya partisipasi masyarakat, adanya pernghormatan terhadap HAM (Hak Asasi Manusia) hingga perlindungan terhadap minoritas.
“Maka kalau kita lihat dalam konteks Indonesia, itu rasanya ciri-ciri itu semakin hilang. Kalaupun misalnya ada itu lebih banyak bersifat procedural,” terang Ma’mun Murod dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah ke-48 pada Rabu (16/3).
Regresi demokrasi yang terjadi di Indonesia menurut Ma’mun disebabkan oleh beberapa faktor seperti otoritarianisme, menguatnya intoleransi, oligarki, menguatnya feodalisme dan komunalistik. Karena itu, Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta itu mengusulkan adanya penguatan birokrasi yang netral, dan juga penegakkan hukum.
“Perlu juga yang paling utama adalah melakukan rekonstruksi terkait kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan politik.” Imbuh Ma’mun.
Pada kesempatan yang sama, Dr Refly Harun MH LL M melalui materinya bertajuk “Negara Hukum dan Problem Penegakan Hukum di Indonesia: Rule of Law dan Kelembagaan” menegaskan bahwa negara hukum merupakan negara yang menjalankan praktek ketatanegaraan berdasarkan hukum yang telah diatur. Sebagai contoh pemilu yang telah ditentukan waktu pelaksanaannya, tidak dapat ditunda atau digagalkan, kecuali jika negara dalam kondisi ‘Force Majeure’.
“Force majeure itu, kalau memang kondisi negara sangat darurat, suddenly attack, misalnya tiba-tiba Rusia menyerang Indonesia misalnya menjelang pemilu, kemudian secara de facto pemilu tidak bisa dilaksanakan, maka kita tidak usah bicara mengenai penundaan pemilu berdasarkan perubahan konstitusi. Tetapi kita bicara tentang sebuah kondisi force majeure yang tidak memungkinkan pemilu dilaksanakan,” tegas Refly.
Terkatit dengan regulasi, mengutip Socrates, Drs. Himawan Bayu Patriadi, MA PhD mengemukakan bahwa Jika masyarakat baik, maka masyarakat tidak akan mencari celah untuk menyiasati regulasi. Sebaliknya, jika masyarakat itu buruk, maka sebaik-baiknya regulasi, masyarakat akan berusaha untuk mencari celah terhadap regulasi tersebut. karena itu, menurut Himawan Bayu, tantangan yang dihadapi bangsa ini adalah tantangan peradaban dalam membangun manusia.
“Terdapat stagnasi dalam peradaban budaya politik kita, jadi tantangannya memang peradaban. Tantangannya memang peradaban dalam konteks membangun manusianya.” Imbuh Himawan Bayu.
Menanggapi berbagai permasalahan tersebut, terakhir, Drs. Hajriyanto Y Thohari MA mengungkapkan bahwa peran Muhammadiyah dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia dapat melalui berbagai hal. Misalnya dalam memberikan konsep, ide, gagasan, kritik, demonstrasi, hingga dalam bentuk oposisional. Bentuk lainnya, Muhammadiyah juga dapat berperan melalui peran personal dan eksponensial sebagai representasi Muhammadiyah.
“Nah Biasanya kalau orang berbicara peran, itu lebih melihat ke yang bentuk ini (Secara personal dan eksponensial sebagai representasi Muhammadiyah) dari pada bentuk yang pertama tadi, secara konseptual, ide-ide, gagasan, kritik, demonstrasi, oposisi.” Lengkap Hajriyanto yang pernah meraih penghargaan Bintang Mahaputra Adipradana tahun 2014.
Duta Besar Republik Indonesia di Lebanon itu juga memberikan solusi agar Muhammadiyah merubah pandangan terhadap partai politik, serta perlu adanya koalisi atau aliansi dengan partai politik.
“Jadi partai politik sebuah instrument demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa partai politik. Meskipun partai-partai politik itu punya banyak kelemahan tetapi, ya dia—partai politik—menentukan. Karena itu pandangan Muhammadiyah pada partai politik perlu didefinisikan kembali.” Saran Hajriyanto. (dandi)