Problematika Kesehatan dan Peran Elemen Masyarakat
PALEMBANG, Suara Muhammadiyah – Masalah kesehatan dan kesejahteraan sosial di Indonesia nampaknya masih memerlukan perhatian serius dari berbagai elemen bangsa. Realita itu tampak pada berbagai masalah kesehatan yang menyeruak, seperti tingginya angka kematian ibu dan anak, stunting hingga penyakit degeneratif. Mengutip data terbaru, dr Liza Chairani, SpA MKes menyebutkan bahwa angka kematian ibu dan bayi di Indonesia mencapai 76%, baik yang terjadi pada masa kehamilan (24%), pada masa persalinan (36%), hingga pada masa setelah persalinan (40%).
Mengenai tingginya angka kematian Ibu dan Anak, menurut Liza, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah. Beberapa diantaranya seperti meningkatkan akses masyarakat untuk mencapai fasilitas pelayanan kesehatan rujukan; mengadakan program deteksi dini terhadap potensi gangguan atau kelainan pada kesehatan ibu; mengembangan inovasi layanan kesehatan berbasis digital, sehingga dapat diakses oleh masyarakat di manapun, kapanpun; serta membuat buku panduan sebagai acuan dalam penataan pelayanan pasien di rumah sakit.
“Nah mungkin di sini kita juga bisa sebagai kader Muhammadiyah membuat suatu panduan yang bisa digunakan sebagai acuan atau yang terstandar secara nasional, tidak hanya untuk kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental spiritual.” Saran Liza dalam Seminar Pra Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah ke-48 pada Kamis (24/3), yang diselenggarkan Universitas Muhammadiyah Palembang.
Tidak hanya angka kematina ibu dan anak, stunting—masalah kekurangan gizi yang mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak—juga masih menjadi momok bagi bangsa. Bayangan kehadiran stunting menjadi ancaman nyata dalam menghadirkan generasi emas. Menurut hasil survei yang dikeluarkan oleh Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 menyebutkan bahwa prevalensi stunting di Indonesia mencapai 24,4% sementera angka prevalensi yang ditargetkan pemerintah tahun 2020 – 2024 adalah sebesar 14%.
Ada beberapa dampak dari stunting menurut Liza antara lain adalah mudah sakit, kemampuan kognitif berkurang, saat tua beresiko terkena penyakit yang berhubungan dengan pola makan, fungsi-fungsi tubuh tidak seimbang, mengakibatkan kerugian ekonomi, hingga postur tubuh yang kurang maksimal saat dewasa.
Anak yang mengalami stunting dapat diketahui melalui beberap ciri, seperti tanda pubertas terlambat, performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar, pertumbuhan gigi terhambat, saat usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye contact, pertumbuhan melambat, serta wajah tampak lebih muda dari usianya.
Lebih jauh menurut Liza, faktor yang menyebabkan stunting pada anak adalah gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita; kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum, dan pada masa kehamilan serta setelah ibu melahirkan; terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care (pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan) Post Natal Care dan pembelajaran dini yang berkualitas; kurangnya ketersediaan makanan bergizi; hingga kurangnya ketersediaan air bersih dan sanitasi.
“Stunting terjadi salah satunya karena kekurangan gizi dalam waktu lama pada masa 1000 hari pertama kehidupan (HPK) meliputi 270 hari masa kehamilan selama (kurang lebih 9 bulan), 180 hari masa pemberian asi eksklusif (sekitar 6 bulan), dan 550 hari masa pemberian ASI atau makanan pendamping asi (sekitar 18 bulan).” Jelas Liza.
Karena itu, wakil dekan 1 Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang itu menyarankan 10 langkah untuk mengatasi stunting. 1) Ibu hamil mendapatkan tablet tambah darah, minimal 90 tablet selama kehamilan, 2) pemberian makanan tambahan ibu hamil, 3) pemenuhan gizi, 4) persalinan dengan dokter atau bidan yang ahli, 5) Inisiasi Menyusui Dini (IMD), 6) memberikan ASI eksklusif pada bayi hingga usia 6 bulan, 7) memberikan makanan pendamping ASI untuk bayi di atas 6 bulan hingga 2 tahun, 8) memberikan imunisasi dasar lengkap dan vitamin A, 9) memantau pertumbuhan balita di posyandu terdekat.
“Dan terakhir menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat” Saran Liza.
Penyakit Degeneratif
Selain dua masalah di atas, penyakit degeneratif yang merupakan penyakit yang mengiringi proses penuaan menurut Liza, juga patut menjadi perhatian. Setidaknya ada sekitar 50 penyakit degeneratif seperti penyakit jantung, diabetes, stroke hingga hipertensi. Lebih jauh diungkapkan Liza bahwa penyebab kematian pada berbagai umur disebabkan oleh stroke (15,4%), hipertensi (6,8%), penyakit jantung iskemik (5,1%) dan penyakit jantung lainnya (4,6%).
Selain gaya hidup yang tidak sehat, meningkatnya faktor risiko lengkap Liza juga menjadi penyebab utama penyakit degeneratif. Faktor risiko tersebut meliputi mengonsumsi makanan asin, makanan tinggi lemak, kurang mengonsumsi sayur dan buah, kurang aktivitas fisik, gangguan emosional, perokok, hingga konsumsi alkohol.
Untuk mencegahnya, Liza Chairani menyarankan untuk melakukan pengaturan pola makan serta mengikuti pedoman umum gizi seimbang. Langkah tersebut dapat dilakukan dengan mengonsumsi makanan yang beraneka ragam, mengonsumsi makanan sesuai kesehatan tubuh, membatasi konsumsi lemak dan minyak, serta mengonsumsi makanan rendah garam dan tinggi kalium.
Mengonsumsi lemak hewani secara berlebihan menurut Liza dapat mengakibatkan penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit jantung coroner. Sementara membiasakan makan ikan dapat mengurangi penyakit jantung coroner, karena lemak ikan mengandung asam lemak omega 3 yang dapat mencegah penyumbatan lemak pada dinding pembuluh darah.
“Garam sebagai pemicu timbulnya penyakit tekanan darah tinggi sehingga mengonsumsi garam tidak lebih dari 6 gram (1 sendok teh) perhari. Kalium adalah penyeimbang natrium sehingga rasio konsumsi natrium dan kalium sebesar satu banding satu. Kalium dapat berasal dari buah seperti pisang dan jeruk.” Saran Liza.
Pentingnya Peran Perempuan
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Liza Chairani, melalui materinya bertajuk “Perempuan dan Gerakan Hidup Sehat”, Dr Med dr Supriyatiningsih SpOG MKes juga menegaskan bahwa angka stunting di Indonesia masih tinggg, yakni sekitar 30% anak.
“Sementara WHO (World Health Organization) menyebutkan bahwa maksimal jumlah stunting di suatu negara adalah 20 persen.” Keluh Supriyatiningsih.
Menanggapi berbagai masalah kesehatan di Indonesia, Akademisi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu menekankan pentingnya Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dan peran perempuan dalam keluarga. Menurutnya Gerakan masyarakat hidup sehat (Germas) dan keluarga sehat merupakan tindakan sistematis dan terencana yang dilakukan secara bersama-sama, oleh seluruh komponen bangsa untuk meningkatkan kualitas hidup. Gerakan tersebut bertujuan agar masyarakat mampu berperilaku sehat, melakukan aktivitas fisik teratur, mengonsumsi buah dan sayur, serta melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin. Sementara perempuan mempunyai peran penting dalam penyediaan pangan keluarga yang tidak hanya berorientasi pada ketersediaan tetapi juga bergizi.
“Memang perbaikilah perempuanya dimana kita bisa membangun perempuan yang sehat, kita bisa membangun generasi perempuan yang sehat, maka disanalah kejayaan bangsa.” Tegas Supriyatiningsih.
Lebih jauh, peran perempuan dalam rencana pembangunan berkelanjutan atau yang lebih dikenal dalam Sustainable Development Gols (SDGs) menurut Supriyatiningsih meliputi empat bagian. Yaitu bagian 2 (Nol kelaparan), 3 (Kesehatan yang membaik), 5 (Kesetaraan gender), 6 (air bersih dan sanitasi).
“Kita tahu bahwa perempuan itu adalah agen untuk mengakses tata kelola pangan yang baik untuk keluarganya. Ingat bahwa dalam upaya pelayanan kesehatan unit terkecil adalah keluarga. Sehingga sesibuk apapun perempuan dalam konteks perempuan berkemajuan, maka dia tidak boleh meninggalkan upayanya untuk menjadi agent of change dalam perbaikan status kesehatan” tegas Supriyatiningsih.
Peran Negara
Tidak hanya elemen masyarakat, Pemerintah juga memiliki peran penting dalam meningkatkan kesehatan bangsa. Perihal tersebut secara tegas tertuang dalam UUD tahun 1945.
“Pokoknya di dalam konstitusi itu dijelaskan bahwa tugas negara kita adalah melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Jadi kalau disebut tumpah darah itu adalah tidak ada pengecualian sama sekali, jadi itu berlaku untuk semua warga negara.” Tegas Dr Saleh Partaonan Daulay MAg MHum pada kesempatan yang sama.
Menurut Saleh, Setidaknya ada tiga peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan keadilan sosial. Ketiga peran atau fungsi tersebut adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi merupakan fungsi dimana DPR bersama dengan pemerintah dapat menghasilkan produk hukum dibidang kesehatan, seperti UU No. 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan kesehatan nasional, UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, UU No. 24 Tahun 2011 tentang badan penyelenggara jaminan sosial, hingga UU No. 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja.
Sementara fungsi anggaran merupakan fungsi dimana DPR menetapkan anggaran untuk peningkatan kesehatan di Indonesia. Serta fungsi pengawasan merupakan fungsi DPR dalam mengawasi produk legislasi dan anggaran yang digunakan untuk peningkatan kualitas layanan kesehatan di Indonesia.
“Jika ada lembaga-lembaga kesehatan atau lembaga pelayanan kesehatan yang dinilai tidak berpihak kepada masyarakat itu sebetulnya bisa dilaporkan kepada DPR. Nanti DPR akan memberikan teguran kepada pejabat pemerintahnya. Dan pejabat pemerintah itu nanti akan mengeksekusi di lapangan agar lembaga-lembaga tersebut bisa kembali pada jalan yang sesungguhnya,” jelas Saleh. (dandi)