Kebijakan Pendidikan Harus Dilandasi Konsep Qoulan Sadida

Kebijakan Pendidikan

Kebijakan Pendidikan Harus Dilandasi Konsep Qoulan Sadida

BOGOR, Suara Muhammadiyah – Anggota Komisi X Bidang Pendidikan DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera Fahmy Alaydroes menyoroti Kemendikbudristek yang pada hampir setiap mengambil kebijakan tidak menggunakan naskah akademik.

“Sekarang sudah sekian belas episode tapi kami tidak pernah diberikan naskah akademik, hanya berupa power point presentation,” ujar Fahmy dalam Seminar Nasional “Merdeka Belajar: Solusi atau Sensasi?” di Muhammadiyah Boarding School Ki Bagus Hadikusumo, Jampang, Bogor (26.03.2022).

Dia mengutip surat an-Nisa yang mengajarkan konsep qoulan sadida di mana kita harus berkata yang benar, lurus, tidak menimbulkan keraguan dan tidak bertele-tele.

Menurutnya Kemendikbudristek harus memberikan narasi yang tepat pada setiap kebijakannya. Dalam konteks ini, naskah akademik merupakan keniscayaan sebagai konsep yang menjadi landasan formulasi kebijakan.

Demikian juga terkait kurikulum Merdeka Belajar, menurutnya Komisi X tidak pernah mendapatkan penjelasan yang utuh.

“Pembaharuan kurikulum adalah biasa di setiap negara, namun seharusnya dilandasi oleh konsep yang jelas yang dapat dipertanggungjawabkan bersama,” ujarnya.

Ia juga menambahkan bahwa sampai saat ini Komisi X juga belum membicarakan RUU Sisdiknas yang sedang hangat diperbincangkan masyarakat. Naskah Akademik dan RUU Sisdiknas sudah tersebar luas secara tidak resmi di tengah masyarakat, namun  pihak Komisi X sampai saat ini belum pernah mendapatkan dokumennya secara resmi.

Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Alpha Amirrachman mengatakan bahwa kebijakan pilihan-pilihan kurikulum juga absurd karena kenyataan di lapangan sekolah mendapatkan tekanan untuk melaksanakan Kurikulum Merdeka sementara Kemendibudristek hanya memberikan pendampingan dan anggaran bagi sekolah-sekolah tertentu tertentu saja yang mengikuti program Sekolah Penggerak.

“Kalaupun Kurikulum Merdeka ini dianggap berhasil, bisa jadi karena dukungan pelatihan dan anggaran bagi sekolah tertentu saja yaitu Sekolah Penggerak, bukan semata karena kurikulumnya,” ujarnya.

Alpha mengatakan sekolah-sekolah yang tidak menjadi Sekolah Penggerak bisa saja menerapkan Kurikulum Merdeka namun harus menghitung dan mempersiapkan mitigasinya berupa ketersediaan dukungan pelatihan dan anggaran secara mandiri selama dimungkinkan.

Praktisi pendidikan Agus Syarifuddin menjelaskan peluang dan tantangan penerapan Kurikulum Merdeka.

“Peluangnya beban belajar siswa berkurang, pengembangan minat dan bakat, lebih kolaboratf dan kompetitif. Tantangannya sekolah harus keluar dari zona nyaman selama ini, perlu juga ada kesamaan persepsi dan juga anggaran serta dukungan yang memadai,” ujarnya.(H.A)

Exit mobile version