Menulis Itu Mudah dan Menyenangkan
SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Pegiat literasi yang juga sekretaris Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah (PCPM) Depok Sleman, Athiful Khoiri menjadi pembicara dalam kegiatan pelatihan kepenulisan yang diselenggarakan oleh bidang Riset & Pengembangan Keilmuan (RPK) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Sains & Teknologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat (1/4).
Kegiatan yang digelar di Kantor Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Depok Sleman ini diikuti oleh seluruh pimpinan IMM Saintek UIN Sunan Kalijaga dan beberapa kader baru IMM Saintek. Dalam sambutannya, Ketua IMM Saintek Dzaki Al Hafiz mengatakan bahwasanya tujuan kegiatan ini diadakan adalah untuk membekali kemampuan menulis kader IMM, khususnya IMM Saintek itu sendiri. “Kami berharap, dengan selesainya kegiatan ini, teman-teman yang belum bisa menulis menjadi bisa. Dan bagi yang sudah bisa, kemampuannya akan semakin terasa lagi,” ujarnya.
Dzaki juga mengatakan bahwa kemampuan menulis ilmiah wajib dimiliki oleh seluruh mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan tinggi, terlebih kader muda Muhammadiyah seperti IMM.
Sedangkan Athiful Khoiri dalam pemaparannya menjabarkan mengenai terdapat beberapa alasan mengapa seseorang malas menulis, di antaranya adalah karena tidak punya banyak waktu luang, tidak punya komputer atau laptop, susah mengungkapkan ide dan gagasan, serta yang sering dijumpai adalah tidak pede membaca hasil tulisan sendiri.
Padahal, menurutnya menulis itu sederhana sekali, dan syarat untuk menjadi penulis itu ada tiga: yaitu tekad, menulis, dan konsisten. Ia mengatakan bahwasanya tekad itu berasal dari kemauan masing-masing individu. “Kalau kita ada bermodalkan ikut webinar atau seminar kepenulisan saja, itu tidak ada bertahan lama, tanpa ada kemuan dari diri kita sendiri,” ujarnya menjelaskan. “Mungkin setelah itu termotivasi menjadi semangat menulis, tetapi tidak akan bertahan lama,” lanjutnya.
Kemudian syarat kedua adalah menulis. Mengutip sebuah kalimat bijak bahwa belajar sesuatu itu yang paling baik adalah melakukannya. “Belajar menulis ya dengan menulis ‘kan gitu. Belajar bersepeda ya bersepeda. Belajar berenang ya dengan berenang,” paparnya. “Membaca its okey sebagai wahana untuk memperkaya referensi, bacaan kita harus luas, tetapi kalau tidak segera kita tuliskan ya sama saja tidak akan menjadi tulisan,” lanjut alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Syarat terakhir menurut Athiful adalah konsisten. Menulis butuh tenaga ekstra yang luar biasa juga butuh kesabaran. Jalan istiqamah dipilih dimaksudkan agar kualitas tulisan kita semakin baik dari hari ke hari. “Mental tidak gampang menyerah dan konsisten perlu kita biasakan. Terus mencoba menulis. Jangan kok dua-tiga kali tulisan di tolak media sudah putus aja. Jangan begitu. Coba terus saja,” sambungnya meneruskan.
Di akhir pemaparannya, Athiful mengatakan bahwa apabila terdapat sedikit kesalahan tulis, titik koma yang kurang tepat dan sebagainya itu dinilai wajar belaka kita sebagai manusia. Ia juga berpendapat bahwasanya tidak perlu risau yang mendalam terkait hal itu karena masih ada tugas editor yang akan memperbaikinya. “Kalau saja setiap penulis adalah seorang perfeksionis, maka di dunia akan sangat sedikit buku yang terbit. Karena, begitu sebuah naskah selesai ditulis, seketika itu juga seorang penulis menyadari dan menemukan betapa banyak kekurangan yang ada, sehingga harus diperbaiki dan ditulis ulang. Ketika perbaikan telah selesai, kekurangan lain segera muncul, sehingga harus diperbaiki lagi dan lagi, tak akan ada habisnya,” ujarnya mengakhiri acara itu. (Anggun Rachmawati Putri)