Perbedaan Awal Ramadhan Momentum Memperkaya Khazanah Pengetahuan Fiqih
SURABAYA, Suara Muhammadiyah – Ustadz Dr. Heri Rifhan Halili selaku Pengasuh Program Tilawah Suara Muslim Surabaya menjadi pengisi acara pengajian Ahad yang diselenggarakan oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Wonocolo Surabaya.
Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Wonocolo, Surabaya menyelenggarakan pengajian Ahad bersambung dengan buka bersama yang dilaksanakan di Masjid Fastabikhul Khoirot, Jl Wonocolo, Pabrik Kulit No. 108 Surabaya pada hari Ahad, 2 Ramadhan 1443 H yang bertepatan dengan tanggal 3 April 2022 M.
Ketua PCM Wonocolo, Bapak Mukhlasin, M.Pd. juga menjabat Wakil Kepala SMA Muhammadiyah 2 Pucang Surabaya mengatakan bahwa acara pengajian ini sebenarnya dilaksanakan rutin pada Ahad pagi. Namun pada saat bulan Ramadhan ini, acara pengajian Ahad pagi dialihkan menjadi pengajian Ahad sore yang dilanjutkan dengan berbuka puasa bersama seluruh jamaah rutin, pengurus PCM Wonocolo, kaum yatim piatu, dan dhuafa.
“Acara ini dilaksanakan dengan tujuan untuk lebih mengenalkan dan mendekatkan masyarakat kepada masjid, selain itu juga sebagai ajang beramal di bulan suci Ramadhan” tuturnya.
Pada Pengajian Ahad sore kali ini, ustadz Dr. Heri Rifhan Halili, pengasuh program tilawah suara muslim Surabaya menjadi pengisi acara. Beliau menuturkan bahwa warga Muhammadiyah di PCM Wonocolo Surabaya, harus cerdas dan bijak dalam menanggapi segala macam perbedaan pendapat. “Terutama perbedaan penentuan awal Ramadan, sebagai warga yang hidup bermasyarakat, perbedaan khilafiyah atau furu’iyah harus dijadikan semangat dalam mendalami ilmu agama. Karena perbedaan tersebut tidak menjadi masalah yang harus diperdebatkan,” tandasnya.
Lebih lanjut ustadz Heri menyampaikan, bahwa Muhammadiyah mengambil kaidah ushul fiqh, hukum itu mengikuti illatnya. “Bila illat ada maka hukum pun ada, dan bila tidak ada maka hukum tidak ada. Hal ini merujuk pada beberapa hadits tentang metode rukyat maupun hisab,” terangnya.
Menurutnya, illat pada hadits yang dimaksudkan adalah ilmu pengetahuan/hisab yang belum ada pada zaman dulu. Disamping itu, ia juga menyebutkan perbedaan penentuan Ramadan bukan niat Muhammadiyah tidak mau patuh dengan Pemerintah. “Muhammadiyah sudah berjuang dan bersama sama dalam membangun bangsa dan negeri ini, untuk urusan furu’iyah menteri agama pun membolehkan dan mempersilahkan untuk berbeda,” jelasnya.
Diakhir penjelasannya, ustadz Dr. Heri menuturkan dan mengajak untuk menjadikan perbedaan furu’iyah sebagai kekayaan khazanah pengetahuan fiqih yang harus dipahami dengan bijak dan saling menghormati satu dengan yang lainnya. (m.s. suwaiby)