Kontekstualisasi 7 Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan
Oleh: Ahmad Muttaqin
Falsafah ajaran KH. Ahmad Dahlan (KHAD) ditulis oleh KRH. Hadjid, salah satu murid dan sahabat beliau, hasil berguru dan berkawan selama 6 tahun mendampingi KHAD, sejak sepulang dari Pondok Pesantren Termas tahun 1916 hingga KHAD wafat tahun 1923. Tujuh ajaran tersebut membahas “filsafat manusia” mulai dari nasib, watak, kebiasaan, kecenderungan, dan hal-hal yang perlu dilakukan manusia baik dari aspek epistemologi, ontologi maupun aksiologi dalam mencari dan mensikapi kebenaran.
Yang menarik, rumusan ketujuh falsafat ajaran tersebut menggunakan bahasa non-agama, tanpa kutipan ayat maupun dalil keagamaan dan lebih mengeksplorasi logika akal pikiran. Kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi baru muncul dalam penjelasan sebagaimana dapat dilihat dalam buku Pelajaran KHA Dahlan, 7 Falsafah Ajaran dan 17 Kelompok ayat Al-Qur’an. Dalam buku tersebut KRH Hadjid mensyarakh falsafah pertama hingga kelima, sedangkan rumusan keenam dan ketujuh tanpa penjelasan.
Mengapa KHAD menggunakan bahasa dan logika umum dalam rumusan falsafah ajaran tersebut? Siapa target audien dari falsafah ajaran tersebut? Bagaimana memaknai tujuh falsafah ajaran tersebut dalam konteks kekinian?
Tujuh falsafah ajaran KHAD dapat dikelompokkan menjadi empat tema: yang pertama adalah tentang nasib dan masa depan manusia; kedua tentang karakter dan tabiat manusia dalam menerima kebenaran; ketiga tentang bagaimana manusia semestinya menggunakan potensi akal-pikirannya dalam rangka menemukan kebenaran, mempertahankannya serta kecenderungan manusia yang tidak maksimal dalam mempertahankan kebenaran tersebut; dan keempat tentang pentingnya keseimbangan ilmu dan amal serta cara-cara mempelajari dan mengamalkannya.
Tema tentang nasib dan masa depan manusia dapat ditemukan dalam rumusan falsafah pertama yang berbunyi: “Kita, manusia ini, hidup di dunia hanya sekali untuk bertaruh: sesudah mati, akan mendapat kebahagiankah atau kesengsaraan?” Ajaran ini menegaskan bahwa kehidupan di dunia yang sementara ini ibarat sedang beradu nasib yang akan menentukan kehidupan setelah mati. Rumusan ajaran pertama ini menggunakan kalimat tanya. Dalam filsafat agama, pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan masa depan dan setelah mati masuk dalam tema eskatologis.
![Kontekstualisasi 7 Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan Kontekstualisasi 7 Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan](https://i0.wp.com/web.suaramuhammadiyah.id/wp-content/uploads/2021/06/KH-Ahmad-Dahlan-Hoofd-Bestur-Muhammadiyah-1919-1024x509.jpg?resize=1024%2C509&ssl=1)
Menarik juga untuk mencermati penggunakan frasa “akan mendapat kebahagiaan atau kesengsaraan” tentang nasib manusia setelah mati, dan bukan surga atau neraka. Pilihan istilah ini menunjukkan bahwa KHAD sedang menyampaikan pesan tersebut kepada masyarakat umum. KHAD sedang berpesan kepada manusia apapun agamanya, bahkan kepada mereka yang tidak beragama, untuk berfikir tentang nasib masa depan manusia setelah mati.
Frase “hidup di dunia hanya sekali untuk bertaruh” mengisyaratkan manusia perlu mengisi secara tepat dan benar kehidupannnya yang hanya sekali ini agar taruhannya menang, dan tidak rugi dan merugikan orang lain. Kemenangan tersebut akan diraih jika manusia mengisinya dengan kegiatan-kegitan yang positif dan produktif.
Jika ditarik pada spektrum yang lebih luas, kebahagiaan atau kesengsaraan setelah mati tidak hanya menimpa orang yang bersangkutan, namun dapat juga pada orang lain, karib kerabat, famili dan sanak saudara dari orang yang ditinggal mati tersebut akan mewarisi kebahagiaan, kesejahteraan, kedamaian buah dari amal baik orang tersebut atau justru sebaliknya akan menanggung aib, malu, sengsara akibat ulah negatif dari yang meninggal.
Tema tentang karekter dan sifat manusia terdapat pada falsafah ajaran kedua, yaitu “Kebanyakan di antara manusia berwatak angkuh dan takabur, mereka mengambil keputusan sendiri-sendiri;” dan ajaran ketiga “Manusia itu, kalau mengerjakan sesuatu apapun, sekali, dua kali, berulang kali, maka kemudian akan menjadi biasa. Kalau sudah menjadi kesenangan yang di cintai, maka kebiasaan yang dicintai itu sukar untuk diubah. Sudah menjadi tabiat, bahwa kebanyakan manusia membela adat kebiasaan yang telah diterima, baik itu dari sudut keyakinan atau iktikad, perasaan kehendak maupun amal perbuatan. Kalau ada yang akan merubah, mereka akan sanggup membela dengan mengorbankan jiwa raga. Demikian itu karena anggapannya bahwa apa yang dimiliki adalah benar.”
Falsafah ajaran kedua dan ketiga di atas merupakan ontologi tentang sifat manusia yang angkuh, sombong, menyenangi kebiasaan dan sulit menerima perubahan sebab yang sudah menjadi adat kebiasaan dianggap kebenaran dan siap membelanya walau dengan pengorbanan nyawa. Menurut Imam Ghazali ada empat time manusia terkait pengetahuan akan kebenaran. Pertama orang yang tahu bahwa dirinya tahu; kedua orang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu; ketiga orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu; dan keempat orang yang tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu.
Model manusia keempat inilah yang masuk kategori orang yang sombong, angkuh, hanya berpegang pada kebiasaan dan sulit menerima ajaran kebenaran yang baru. Mereka tidak tahu bahwa sesungguhnya mereka tidak tahu karena selalu berbalut pada kebiasaan dan sulit menerima kebenaran baru.
Dalam konteks pembelajaran sepanjang hayat, seiring ilmu pengetahuan itu selalu tumbuh dan berkembang, maka kemunculan “kebenaran” baru, teori baru, maupun teknologi baru memerlukan sikap yang luwes agar tidak kaku dan kolot hanya berpegang pada kebiasaan lama. Untuk itu diperlukan proses learn-unlearn-relearn (terus belajar terhadap pengatahuan baru, menanggalkan pelajaran yang sudah tidak relevan, dan belajar kembali terhadap pengetahuan yang lebih baru dan lebih benar). Proses semacam ini diperlukan agar kita menjadi manasia yang siap menghadapi perubahan zaman dengan berprinsip al-muhaafadhatu ‘ala qadiimi ash-shaalih, wa al-akhdzu bi jadiid al-ashlah (memelihara yang baik-baik dara warisan/tradisi lama, dan mengambil yang lebih baik dari yang baru).
Tema tentang bagaimana manusia semestinya memanfaatkan potensi akal pikiran untuk mencari kebenaran dan bagaimana mempertahankan kebenaran tersebut terdapat pada falsafah ajaran ke empat dab kelima. Falsafat keempat berbunyi “Manusia perlu digolongkan menjadi satu dalam kebenaran, harus bersama-sama menggunakan akal pikirannya untuk untuk memikirkan, bagaimana sebenarnya hakikat dan tujuan manusia hidup di dunia harus mengerjakan apa? Dan mencari apa? Dan apa yang dituju? Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal iktikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka dan sengsara selama-lamanya.”
Falsafah keempat ini menegaskan pentingnya menggunakan akal dan pikiran untuk mencari kebenaran, menjawab hakikat, makna dan tujuan hidup. Akal dan pikiran juga dugunakan untuk mengoreksi terhadap keyakinan-keyakinan lama yang hanya berdasar kebiasaan, visi dan orientasi hidup yang belum tepat, hingga tindakan yang masih berada di luar jalur kebenaran sejati.
![Kontekstualisasi 7 Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan Kontekstualisasi 7 Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan](https://i0.wp.com/web.suaramuhammadiyah.id/wp-content/uploads/2019/09/Dahlan.jpg?resize=1000%2C608&ssl=1)
Rumusan ajaran keempat ini merupakan aspek epistemologi KHAD yang menggambarkan sisi rasionalnya dengan memberikan porsi besar potensi akal untuk mencapai kebenaran. Pentingnya memanfaatkan potensi akal agar manusia selalu kritis ini sangat kontekstial dengan trend meningkatnya cara beragama yang tekstual-rigid-konservatif serta sangat relewan dengan era post truth yang menggeser kriteria kebenaran dari basis kepakaran ke popularitas instan.
Kebenaran yang didapat melalui pertimbangan akal dan pikiran ini tidak cukup hanya diketahui secara kognitif. Kebenaran tersebut harus dipegang teguh dan diamalkan. Namun sayangnya, tidak semua orang bersedia meyakini dan mengamalkan kebenaran tersebut dikarenakan khawatir diangap tidak lazim dan berbeda dari kebiasaan umum.
Hal ini tergambar dalam rumusan falsafah ajaran kelima yang berbunyi “Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam, membaca beberapa tumpuk buku. Sekarang, kebiasaan manusia tidak berani memegang teguh pendirian dan perbuatan yang benar karena khawatir kalau menetapi kebenaran, akan terpisah dari apa-apa yang sudah menjadi kesayangannya, khawatir akan terpisah dengan teman-temannya. Pendek kata, banyak kekhawatiran dan akhirnya tidak berani mengerjakan barang yang benar, kemudian hidupnya seperti makhluk yang tak berakal, hidup asal hidup, tidak menempati kebenaran.”
Falsafah kelima ini salah satu aspek aksiologi yang menegaskan pentingnya tetap konsisten dalam meyakini dan membela kebenaran dengan qull lil-haqqa walau kaana murran (katakanlah kebenaran meskipun pahit akibatnya) serta maju tak gentar membela yang benar.
Saat ini, mempertahankan kebenaran baik lisan, tulisan maupun tindakan di tengah gelombang hoax dan pendengung bayaran tentu tidak mudah. Diperlukan energi dan stamina yang kuat. Salah satu doa yang diajarkan oleh nabi adalah Allahumma ariina al-haqa haqqa warzuqnittibaa’ah, wa ariinaa al-bathila bathila warzuqnijtinaabah (Yaa Allah tunjukkanlah kebenaran itu tetap benar dan berilah kami kekuatan untuk mengikuti kebenaran tersebut; dan tunjukkanlah kebtahilan itu tetap batil, dan berilah kami kekuatan untuk menjauhi kebatian tersebut.
Aspek aksiologi lebih lanjut dijelaskan KHAD bahwa kebenaran memerlukan modal, biaya dan bahkan pengorbanan dalam implementasi dan penyebarannya. Namun tidak semua orang siap berkorban atas nama kebenaran, bahkan para pemimpin sekalipun. Falsafah ajaran keenam dengan tegas menyatakan: “Kebanyakan pemimpin-pemimpin rakyat, belum berani mengorbankan harta benda dan jiwanya untuk berusaha tergolongnya umat manusia dalam kebenaran. Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.”
Berorganisasi, berbangsa, dan bernegara pada hakikatnya usaha bersama-sama secara terorganisir menuju kebenaran cita-cita luhur baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Sangat ironis jika diantara pemimpin umat, organisasi, lembaga, pemerintahah daerah hingga negara adalah mereka-meraka yang tidak siap mengorbankan harta dan jiwanya. Tidak sedikit pemimpin yang masih bekerja aji mumpung, mamanfaatkan posisinya untuk memupuk kekayaan pribadi dan golongan serta memperalat masyarakat yang dipimpinnya.
Tema keempat atau terakhir dari tujuh falsafah ajaran KHAD adalah pentingnya keseimbangan ilmu dan amal serta implementasinya secara bertahap, tertuang dalam rumusan falsafah ketujuh “Pelajaran terbagi atas dua bagian: belajar ilmu, pengetahuan atau teori dan belajar amal, mengerjakan atau mempraktekkan. Semua pelajaran harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat. Demikian juga dalam belajar amal, harus bertingkat. Kalau setingkat saja belum dapat mengerjakan, tidak perlu ditambah.”
Falsafah ketujuh ini seolah mejadi jawaban dari problem ketidakjelasan nasib manusia, kerakter manusia yang angkuh dan sombong dalam menerima kebenaran, serta kekawatiran dan ketidakberanian dalam berkorban menegakkan kebenaran. Resepnya adalah ilmu dan amal; berilmu amaliyah dan beramal imiyah. Ilmu pengetahuan dicari, dipelajari, dikembangkan dan diamalkan secara bertahap. Itulah mengapa KHAD dikenal sebagai pribadi faith in action, bukan sekedar man of theory yang hanya pandai membangun gagasan.
Kalimat “semua pelajaran harus dengan cara sedikit demi sedikit, setingkat demi setingkat. Demikian juga dalam belajar amal, harus bertingkat” dapat kita maknai pentingnya membangun sistem yang baik, perencanaaan yang matang, menyusun sekala prioritas dan peta jalan yang berkesinbambungan dalam belajar dan beramal. Amal Usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan, kesehatan dan sosial yang saat ini berkembang di berbagai wilayah nusantara bahkan hingga mancanegara adalah buah proses panjang sinergi ilmu dan amal secara bertahab, sabar dan konsisten.
Ahmad Muttaqin, Wakil Direktur Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2021
—
Dapatkan Bukunya di Toko Suara Muhammadiyah Pelajaran Kiai Haji Ahmad Dahlan: 7 Falsafah & 17 Kelompok Ayat Al-Qur’an