Menengok Kembali Demokrasi Pancasila
Oleh : Immawan Wahyudi (Dosen FH UAD)
Akhir-akhir ini pembahasan tentang demokrasi Pancasila menguat kembali. Hal ini sangat relevan dengan tuntutan perkembangan demokrasi saat ini yang dirasakan lebih menunjukkan kecenderungan liberalisasi kehidupan politik kebangsaan dan kenegaraan. Pembentukan peraturan perundang-undangan secara prosedural dan substantif semakin menunjukkan gejala yang tidak sehat, tidak memihak kepada kepentingan dan perlindungan warga masyarakat.
Undang-undang Omnibus law (yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi) adalah contoh yang paling kongkret bagaimana pembentukan UU tersebut secara prosedural mengabaikan banyak aspirasi warga masyarakat dan secara substantif tidak memberikan solusi bagi kehidupan ekonomi masyarakat malah menjadi sumber masalah.
Wajarlah jika ada semangat yang menguat kembali agar demokrasi tidak semata-mata sebagai momentum untuk meraih dukungan suara pada saat pemilihan umum. Namun pada saat kewenangan jabatan telah ada di tangan “wajah rakyat” menghilang dalam benak pembentuk undang-undang dan pembuat kebijakan. Apa saja yang bisa kita pandang sebagai semangat dempokrasi Pancasila perlu kita ungkapkan dari para ahli dan bahkan dari mahasiswa yang relatif tulus dalam mengungkapkan pemikiran dan aspirasinya. Berikut ini ada pendapat seorang mahasiswa dalam diskusi kelas dengan topik: mengapa demokrasi harus bersumber dari Pancasila. Menurut hemat penulis ini ungkapan ilmiah, tetapi tetap khas bahasa mahasiswa.
“Demokrasi memiliki prinsip dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat. Mengapa demokrasi harus bersumber dari Pancasila? Karena dengan berumber dari Pancasila maka demokrasi diharapkan dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan dari setiap sila Pancasila. Demokrasi harus sesuai dengan nilai-nilai dan tujuan setiap sila Pancasila seperti, Demokrasi di Indonesia harus berketuhanan sesuai dengan sila pertama, lalu demokrasi harus bersifat kemanusiaan dengan cara adil dan beradab sesuai dengan sila kedua, lalu demokrasi harus menyatukan setiap elemen-elemen yang ada di Indonesia sesuai dengan sila ketiga, lalu demokrasi harus dipimpin oleh hikmat serta bijaksana dalam permusyawaratan maupun perwakilan sesuai dengan sila keempat, lalu demokrasi harus memiliki tujuan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan sila kelima. Dengan begitu demokrasi bersumber dari Pancasila itu sebuah kewajiban agar tidak terjadi penyelewengan demokrasi untuk kepentingan golongan maupun sepihak.”
Menurut hemat penulis kutipan diatas adalah pernyataan ilmiah. dari seorang mahasiswa bernama: Adi Setia Wibawa dalam diskusi tentang alasan diperlukannya demokrasi Bersumber dari Pancasila pada kelas Agribisnis dalam mata kuliah Kewarganegaraan. (Portal Spada Universits Sebelas Maret. dikutip Senin 24 Januari pukul 12.50). Perlu kita perhatikan pada ending dari kutipan Adi Setia Wibawa diatas: “demokrasi bersumber dari Pancasila itu sebuah kewajiban agar tidak terjadi penyelewengan demokrasi untuk kepentingan golongan maupun sepihak.” Ini perlu menjadi perhatian para sarjana dalam berbagai level, bahwa seorang mahasiswa pun sudah menyatakan jangan sampai Pancasila didaku dan digunakan semata untuk kepentingan satu kelompok golongan tertentu saja.
Demokrasi Pancasila Menurut Ahli
Ada beberapa pengertian demokrasi Pancasila yang disampaikan oleh beberapa ahli. Menurut Profesor Dardji Darmo Dihardjo pengertian demorasi Pancasila adalah : paham demokrasi yang bersumber dari kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia, yang perwujudannya seperti terdapat dalam ketentuan-ketentuan Pembukaan UUD 1945. Pengertian demokasi Pancasila menurut Prof. Notonegoro adalah: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan /perwakilan yang berKetuhanan YME, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang mempersatukan Indonesia, dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sedangkan GBHN 1978 –khazanah bangsa yang bagus tetapi telah lama ditelantarkan—menetapkan asas demokrasi dalam pembangunan nasional. Pada asas Pembangunan poin ketiga ditegaskan : “Azas Demokrasi, ialah demokrasi berdasarkan Pancasila yang meliputi bidang-bidang Politik, Sosial dan Ekonomi, serta yang dalam penyelesaian masalah-masalah Nasional berusaha sejauh mungkin menempuh jalan permusyawaratan untuk mencapai mufakat.”
Dalam konteks saat ini sesungguhnya jejak asas demokrasi Pancasila telah bertransformasi dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 2 yang menegaskan; “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara.” Ini menjadi bukti bahwa Pembukaan UUD 1945 alinea keempat tetap dijadikan sebagai sumber nilai dan sumber dasar pengaturan kehidupan hukum nasional. Artinya sementara ahli yang menyatakan bahwa UUD 1945 yang telah diamandemen tidak lagi menempatkan Pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan bernegara dan berbangsa tidaklah tepat, dan tidak sesuai dengan realita formal. Meskipun demikian memang perlu disadari oleh semua warga bangsa bahwa amandemen 1945 (pertama sampai dengan amandemen keempat) tidaklah sempurna.
Artinya tentu membuka peluang kemungkinan adanya amandemen baru. Namun kembali ke UUD 1945 sebagaimana sebelum diamandemen akan sangat banyak menghilangkan semangat dan nilai-nilai reformasi 1998. Diantara semangat reformasi dalam amandemen UUD 1945: pembatasan masa jabatan Presiden, Pemilihan Kepala, Daerah, desentralisasi asimetris (yang saat ini berlaku di Aceh, Papua dan DIY) prinsip-prinsip HAM, dan prinsip ekonomi kerakyatan. Alhasil, menegakkan demokrasi agar berpihak pada rakyat sesuai semangat Pembukaan UUD 1945 tinggal memerlukan konsensus bahwa demokrasi kita adalah Demokrasi Pancasila, tidak terlalu memerlukan adamamen UUD 1945 lagi.* (Penulis Alumni S3 FH UII).