Madrasah Tidak Boleh Dianaktirikan dari UU Sisdiknas
Oleh: Rizki Putra Dewantoro
Proses revisi Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) terus bergulir. Dalam perjalanannya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang mempunyai ‘gawe’ ditengarai ‘menghilangkan’ Madrasah dari RUU Sisdiknas tersebut.
Menghilangnya frasa ”madrasah” dalam draf RUU Sisdiknas edisi revisi menimbulkan polemik. Padahal, dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, aturan tentang satuan pendidikan dasar tertulis gamblang di Pasal 17 Ayat (2), “Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lainyang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat”.
Sementara draf RUU Sisdiknas hanya mengatur tentang Pendidikan Keagamaan dalam pasal 32. Dalam pasal tersebut tertulis, ”Pendidikan Keagamaan merupakan Pendidikan yang mempersiapkan pelajar untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menjadi landasan untuk menjadi ahli ilmu agama atau peranan lain yang memerlukan penguasaan ajaran agama.”
Menghilangnya madrasah disebut menganaktirikan lembaga pendidikan keagamaan begitu juga pesantren dalam lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal madrasah maupun pesantren memiliki peran yang sangat penting dalam mencetak generasi penerus bangsa yang berakhlak, berkarakter serta memiliki wawasan keagamaan dan kebangsaan yang mumpuni.
Setelah bola panas draf RUU Sisdiknas terus bergelinding, Kemendikbudristek kemudian langsung menampik kontroversi tersebut dengan menegaskan satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama (madrasah) akan tetap ada dalam RUU Sisdiknas. Menurut Mendikbudristek Nadiem Makarim tidak ada keinginan ataupun rencana menghapus sekolah madrasah atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari Sistem Pendidikan Nasional.
Begitu juga Kementerian Agama memberikan klarifikasi dengan terus berkomunikasi dan berkoordinasi secara intens dengan Kemendikbudristek sejak awal proses revisi RUU Sisdiknas. RUU Sisdiknas dianggap telah memberikan perhatian yang kuat terhadap ekosistem pesantren dan madrasah. Nomenklatur madrasah dan pesantren juga masuk dalam batang tubuh dan pasal-pasal dalam RUU Sisdiknas.
Sekolah maupun madrasah secara substansi akan tetap menjadi bagian dari jalur-jalur pendidikan yang diatur dalam batang tubuh dari revisi RUU Sisdiknas. Kemendikbudristek memberikan fleksibilitas agar penamaan bentuk satuan pendidikan, baik untuk sekolah maupun madrasah, tidak diikat di tingkat undang-undang.
Nantinya, penamaan secara spesifik seperti Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (Mts), atau Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Madrasah Aliyah (MA) tidak diikat di tingkat undang-undang sehingga lebih fleksibel dan dinamis.
Masyarakat diharapkan terus mengawal Pembentukan RUU Sisdiknas yang saat ini baru pada tahap pertama, yaitu perencanaan. Pada tahap ini, Kemendikbudristek telah melakukan serangkaian diskusi terpumpun dengan berbagai pemangku kepentingan.
Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, ada lima tahap dalam proses pembentukan undang-undang. Kelima tahap itu adalah perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan.
Pelibatan publik dalam perancangan kebijakan merupakan faktor penting kesuksesan pelaksanaan suatu kebijakan. Masyarakat adalah pihak yang sangat memahami kondisi nyata dan akan menerima dampak pelaksanaan dari suatu kebijakan.
Sudah sewajarnya dalam menyusun revisi RUU Sisdiknas Kemendikbudristek telah merangkul berbagai pihak sebagai bagian keterlibatan publik. Demi mewujudkan keterbukaan informasi, menampung aspirasi, serta memperoleh umpan balik yang konstruktif.
Rizki Putra Dewantoro, Pegiat Iqro Movement