Religiusitas Islami yang Mencerahkan dalam Bingkai Keluarga di Era Disrupsi
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Dunia saat ini sedang menghadapi sebuah fenomena bernama disruption (disrupsi). Kata disruption bermakna tercerabut dari akarnya. Yakni situasi di mana pergerakan peradaban penuh dengan ketidakpastian dan juga tidak lagi liniear. Transformasinya sangat cepat, fundamental, dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.
Disrupsi menginisiasi lahirnya model-model baru yang lebih inovatif dan tak terduga. Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, pendidikan, sosial, kesehatan, hingga keagamaan. Era ini menuntut kita berubah atau punah. Demikian yang disampaikan oleh Dr H Khoiruddin Bashori, MSi dalam acara Pengajian Ramadan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Kamis 7 April 2022 M / 6 Ramadhan 1443 H.
Memasuki era disrupsi, niscaya telah menghadirkan banyak kejutan yang mengagetkan, namun pada saat yang sama juga memberikan banyak peluang (kans). Kini orang tidak perlu harus datang ke pesantren untuk mengaji. Lewat gawai dalam genggaman, siapapun dapat mengakses sumber-sumber ilmu agama yang nyaris tak terbatas dengan sangat mudah dan murah.
Bagi Khoiruddin atau yang kerap disapa Pak Irud, dalam menghadapi era ini, Muhammadiyah telah bertumpu pada Al-Quran dan As-Sunnah. Bahwa menurutnya, “Para pendahulu kita itu membuat rumusan yang long lasting. Ketika bicara sumber Al-Quran-Sunnah, tetapi ada juga catatan menggunakan akal pikiran berkelindan dengan jiwa syariah ajaran Islam”, tukasnya.
Nah, dalam pemaparannya, Pak Irud memberikan strategi yang perlu dilakukan oleh keluarga dalam membangun religiusitas Islami yang mencerahkan paling tidak secara sederhana melakukan transformasi dari kesadaran moral dari heteronom menuju otonom. Baginya Kesadaran Otonom merupakan suatu kesadaran untuk mentaati kewajiban moral karena yang bersangkutan sadar benar akan makna yang menjadi kewajibannya. Ia sadar diri bahwa itu memang sesuatu yang bernilai. Sedangkan kesadaran moral heteronom berdimensi pada sikap seseorang manakala memenuhi kewajiban moralnya bukan karena keinsafan bahwa kewajiban itu memang pantas dipenuhi, melainkan lebih karena merasa tertekan dan terpaksa.
Al-Quran memberikan interpretasi penting atas persoalan ini yakni terdapat QS al-Maidah [5]: 8, Yā ayyuhallażīna āmanụ kụnụ qawwāmīna lillāh. Bagi Prof Dr Hamka kata qawwāmīn bermakna ‘berkepala tegak’, dan marfu’u ra’si yang berarti memiliki harga diri penuh. Berjiwa besar karena hati bertauhid. Tidak ada tempat merundukkan diri selain kepada Allah semata. Pribadi demikian selalu bersikap lemah lembut, tetapi teguh dalam memegang prinsip-prinsip kebenaran. Tidak terombang-ambing oleh hembusan angin peradaban yang melalaikan. Mereka ini tidak terhuyung saat ditimpa musibah, tidak pongah ketika mendapat keuntungan.
“Yang ingin saya garisbawahi adalah marfu’u ra’si, bagaimana anak-anak itu saleh, tetapi percaya diri (PD) mempunyai efikasi diri yang tinggi, bisa memasuki peradaban baru dan kemudian menjadi memenangkan. Disini peran keluarga sangat luar biasa,” tandasnya.
Karenanya, Al-Quran surah Ash-Shaffat [37]: 100 memberikan ilham berupa doa kondang, “Rabbi hab lii minas saalihiin, Wahai Rabbku, berilah aku keturunan yang saleh”.
Kata Saleh memiliki pelbagai makna, yakni 1) yang bermanfaat, berguna; 2) yang berkompeten, 3) yang berbudi luhur, tidak memihak, lurus, jujur, taat, alim, patuh, dan benar.
Menurut Mutawali Sya’rawi dalam Tafsir Asy-Sya’rawi menjelaskan orang saleh itu ada dua macam, yaitu saleh duniawi dan saleh ukhrawi. Salehh duniawi bermakna orang yang berkepribadian baik sehingga di manapun berada ia tidak merugikan tapi justru banyak memberi manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Namun kesalehan semacam ini hanya berdimensi etis, bahwa apa yang dilakukannya itu baik atau benar berdasarkan pertimbangan akal sehat.
Kemudian, saleh ukhrawi. Yang bermakna kesalehan dari keimanan. Kebaikan yang dilakukan sebagai ekspresi dari ketaatan kepada Tuhan. Artinya, seseorang berkepribadian atau melakukan kebaikan tidak sekadar karena tuntutan etika, tapi juga atas kesadaran penuh sebagai seorang hamba dan ciptaan-Nya. Untuk itu dalam setiap tindakannya, ia juga selalu memperhatikan aturan-aturan dan hukum agama, seperti halal dan haram, atau wajib dan sunnah.
Maka, bentuk religiusitas Islami yang diharapkan bercorak fungsional. Kenapa? Karena dalam QS ar-Ra’d [13]: 17, disini dijelaskan Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi.
Bagi Pak Irud, ayat ini sangat menarik. “Jadi eksistensi seseorang di masa depan, itu fungsional bisa memberikan manfaat apapun manfaat yang bisa dia bagi, dia akan tetap eksis. Mau punya SK atau tidak, pasti eksis, karena ada manfaat yang dibagi. Karena kalau yang satu tidak mengajak, yang lain yang mengajak. Jadi itu hukum alam yang mana Allah memberi rumus luar biasa seperti ini”, tandasnya.
Imbuhnya, “Keluarga harus membantu untuk anak bisa berhijrah mulai dari keyakinan, pemikiran, perasaan, dan perilaku. Jadi harus muncul semua itu dalam bentuk perilaku (akhlak)”.
Media untuk mengembangkan religiusitas dalam keluarga berbasis pada tilawah (membaca fenomena secara mendalam), ta’lim (proses berbagi inspirasi), kitabah (kebiasaan menuliskan gagasan, pemikiran, argumen dan perasaan hati), hikmah (kebijaksanaan), tazkiyah (upaya untuk membersihkan hati).
Dalam menutup ceramahnya, Pak Irud turut memberikan percikan petuah sarat nan makna yaitu, “Kebersihan hati mempermudah masuknya “cahaya” Ilahi ke dalam hati. Dosa ibarat noda hitam yang mengotori jiwa. Cermin yang kotor sulit untuk mengaca diri”. (Cris)