Siraman Optimisme Nilai Spiritualitas untuk Mencerahkan Pendidikan
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Acara Pengajian Ramadhan Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada hari ketiga ini terus berjalan memasuki sesi sore menjelang berbuka puasa. Tajuk pengajian sore itu (7/4) ialah “Mengembangkan Religiusitas Islami yang Mencerahkan dalam Lembaga Pendidikan di era Disrupsi”.
Dengan dimoderatori Dr. Faiz Rafdhi, M.Kom., materi pengajian bertema pendidikan ini disampaikan oleh dua tokoh mumpuni di bidangnya yaitu, Prof. Dr. Tobroni, M.Si dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat.
Pada bagiannya, Prof Tobroni memberikan judul materinya secara spesifik sebagai berikut Mengembangkan Religiusitas Islami yang Mencerahkan dalam Lembaga Pendidikan di era Disrupsi.
Selain memusatkan masalah pendidikan pada kekacauan arus informasi dan teknologi, Prof Tobroni juga mengangkat isu perubahan sistem pendidikan nasional yang termuat dalam RUU Sistem Pendidikan tahun 2022. Disampaikannya bahwa bahaya sistem pendidikan yang mengarah pada elitisme, kapitalisme, dan pragmatisme dalam RUU Sisdiknas 2022 harus terus dikritisi.
Maka dari itu, Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang core gerakannya di bidang ini harus bergerak mengatasi masalah degradasi nilai etika dan spiritualitas dalam dunia pendidikan kita sekarang.
Dasar pemikiran yang holistik dan integralistik antara karakter insan, agama, dan masyarakat perlu dibangun secara berimbang. Dengan demikian, kita bisa memperbaiki masalah kekeringan etika dan spiritualitas dalam praktik pendidikan di atas.
Lebih rinci, Prof Tobroni menginisiasi model baru pendidikan karakter melalui tasawuf. Idenya adalah menyatukan ketiga konsep takhalli, tahalli, dan tajalli. Dalam konsep tajalli yang diusung Prof Tobroni, misalnya, “tidak semata-mata berbicara makrifatullah, tapi pada kemampuan mentransformasi nilai ilahiah dalam kehidupan kemanusiaan”.
Pekerjaan ini disadarinya memang besar dan berat. Akan tetapi, Prof Tobroni sekaligus juga menyuntikkan semangat kita untuk terus melayani umat. Beliau mengutip potongan Al-Qur’an dalam Surat At-Taubah ayat 128-129. Selain itu, beliau mengingatkan juga Teologi Insyirah yang dikatakannya sebagai “teologi optimisme”.
Berlanjut pada materi pengajian kedua yang disampaikan Prof Komaruddin Hidayat. Dalam memberi makna pada istilah “disrupsi”, beliau memiliki konsep pemikirannya sendiri. Pertama-tama, Prof Komaruddin mengawali dengan mengajak peserta pengajian untuk mengenali masalah besar dunia abad ini yaitu, pertumbuhan penduduk dan teknologi yang cepat.
Dari sanalah kemudian tumbuh masalah-masalah baru yang tidak diperkirakan sebelumnya di antaranya, heterogenitas dan pertemuan massif antarsuku, agama, dan budaya. Perlahan-lahan inilah yang menciptakan post-truth di mana patokan kebenaran agama menjadi kabur dan sains tampil sebagai pemberi jawabannya. “Dengan demikian, kalo agama tidak bisa memanfaatkan perkembangan sains, lama-lama akan ditinggal,” tandasnya.
Oleh karea itu, Muhammadiyah harus menangkap masalah ini dan menyikapinya. Menurutnya, cara bijak dewasa ini ialah menyatuka spirit sains, teknologi, dan spritualitas. Sebab, dasar berpikirnya, agama yang baik itu memperkaya budaya dan budaya berkoalisi dengan agama.
Dalam bagian penutup, Pak Komaruddin berpesan, “Guru yang berhenti belajar, harus berhenti mengajar.” Kemudian, dalam penutupnya beliau juga mengajak kita untuk bisa merayakan kehidupan, kemajuan, kedamaian, keindahan, dan kemerdekaan dalam berislam. (ykk)