Kasalehan Lingkungan Hadapi Perubahan Iklim
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pandemi Covid-19 telah menjadi guncangan dahsyat yang menimbulkan kegaduhan luar biasa di berbagai negara. Tak pelak, pagebluk yang menjadi sorotan utama masyarakat sejak dua tahun terakhir berhasil membawa perubahan besar dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pandemi telah mengaburkan pandangan masyarakat pada gelombang yang tidak kalah besar.
Yaitu perubahan iklim. Singkatnya, jika terus terjadi perubahan iklim yang tidak diimbangi dengan langkah antisipatif seluruh elemen masyarakat, maka kemungkinan terburuk yang juga mengancam peradaban umat manusia adalah kepunahan.
Demikian disampaikan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Ir Laksmi Dhewanthi MA IPU dalam seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah ‘Aisyiyah ke-48 yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Pontianak pada Sabtu (9/4).
Dalam paparannya, Laksmi menyampaikan beberapa ancaman besar dari efek Gas Rumah Kaca (GRK) dan perubahan iklim, antaral lain kenaikan suhu dan perubahan pola curah hujan, anomali iklim seperti peningkatan El-Nino—memicu kekeringan di Indonesia—dan La-Nina—meningkatkan curah hujan di Indonesia—meningginya permukaan air laut, terganggunya produktifitas tanaman pangan, terjadinya bencana alam seperti kekeringan, banjir, hingga angin, hilangnya daratan, kelangkaan air, energi dan makanan, penurunan keanekaragaman hayati, kerusakan infrastruktur, serta meningkatkan risiko terhadap kesehatan, kemanan, dan lingkungan bagi masyarakat.
Hal tersebut terjadi lengkap Laksmi karena banyak hal. Beberapa diantaranya seperti transportasi berbahan bakar fosil, kebakaran hutan, degradasi dan deforestasi hutan, listrik dari bahan bakar fosil, industri yang menggunakan bahan bakar fosil, serta gedung yang menggunakan bahan bakar fosil.
“Semua pihak, lintas generasi, lintas disiplin maupun lintas sektor, untuk secara kolektif ikut memikirkan inovasi dan solusi di seluruh bidang kehidupan.” Pesan Laksmi kepada peserta seminar.
Salah satu upaya yang digalakkan pemerintah dalam menangulangi efek GRK dan perubahan iklim adalah Program Kampung Iklim (Proklim). Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 84 tahun 2016. Laksmi menerangkan bahwa Proklim merupakan program dalam rangka mendorong keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk melaksanakan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta memberikan pengakuan terhadap yang telah dilakukan, yang dapat meningkatkan kesejahteraan di tingkat lokal sesuai dengan kondisi wilayah. Proklim diluncurkan pada Oktober 2011 dan menjadi Gerakan Nasional pada Desember 2016.
“Seluruh potensi masyarakat harus digerakkan. Indonesia melakukannya lewat program kampung iklim yang mancakup 20 ribu desa di tahun 2024,” Terang Laksmi.
Beberapa contoh program kampung iklim dalam paparan Laksmi antara lain seperti pengendalian kekeringan, banjir dan longsor, pengingkatan ketahana pangan, dan pengendalian penyakit terkait iklim sebagai langkah adaptasi. Sementara langkah mitigasi meliputi pengelolaan sampah, limbah padat dan cair, penggunaan energi baru terbarukan, konservasi dan penghematan energi, budidaya pertanian rendah emisi GRK, meningkatkan tutupan vegetasi, serta mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan.
“Apa yang kita terima sekarang bukanlah warisan, tetapi titipan untuk generasi masa depan. Sehingga kita perlu mengembalikannya dengan baik.” Tutup Laksmi.
Pada kesempatan yang sama, Ir Arcandra Tahar MSc PhD menegaskan bahwa efek gas rumah kaca sama halnya dengan kondisi yang terjadi pada rumah kaca. Dimana rumah kaca yang dinding dan atapnya terbuat dari kaca, akan menangkap suhu sinar matahari pada siang hari, sehingga pada malam hari suhu ruangan tetap hangat.
Demikian halnya dengan gas rumah kaca. Panas matahari akan tetap terperangkap oleh gas rumah kaca di atmosfer, yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Hal ini akan menyebabkan mencairnya es yang ada di kutub utara, yang kemudian akan menimbulkan semakin meningkatnya permukaan air laut.
Untuk mengurangi efek dari emisi gas rumah kaca tersebut, Arcandra menyampaikan lima pilar utama untuk mencai nol emisi sebagaimana dicanangkan oleh perjanjian Paris tahun 2015. Pertama mempercepat penghapusan batu bara, mengurangi deforestasi, mempercepat peralihan ke kendaraan listrik, mendorong investasi dalam energi terbarukan, serta menggunakan gas alam dalam masa transisi.
Akan tetapi, pengembangan energi terbarukan di Indonesia justru menghadapi berbagai tantangan. Beberapa diantaranya menurut Alcandra seperti prospek energi dunia, pembiayaan, izin, akuisisi tanah, Smar grit, serta insentif pajak dan fiskal.
“Begitu susahahnya mendapatkan izin-izin di Indonesia, sampai harus menghadap RT RW dan sebagainya,” keluh Wakil Menteri ESDM 2016-2019 itu.
Untuk mencapai kesalehan lingkungan, kita tidak perlu lagi berpikir tentang renewable energy, tapi sudah harus menggunakan renewable energy,” tandasnya. (dandi)