Sari Pidato Iftitah Prof Haedar Nashir di Seminar Perubahan Iklim dan Kesalehan Ekologi
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Universitas Muhammadiyah Pontianak Kalimantan Barat pada Sabtu, 9 April 2022 menyelenggarakan acara Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah Ke-48. Dalam acara tersebut, Prof Dr Haedar Nashir menjadi pembicara dalam pidato iftitah. Berikut ringkasan pidato iftitah Prof Dr Haedar Nashir dalam acara tersebut.
Kita sekarang berada di dalam era baru kehidupan yang membangun optimisme, ketika manusia mengalami puncak baru sebagai Homo Sapiens. Bahkan oleh Harari masuk pada satu fase Homo Deus, manusia tingkat dewa yang sesuai kemampuannya menguasai Iptek di era Revolusi Industri 4.0 dengan mengembangkan kecerdasan buatan dan berbagai revolusi saintek yang luar biasa, yang memberi optimisme bahwa manusia mampu membangun peradaban tinggi lewat ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bahkan di tubuh bangsa kita selain demam Revolusi 4.0 dengan era disrupsinya juga para pejabat negara begitu optimis menghargai para anak bangsa yang menguasai Iptek, khususnya kemampuan-kemampuan yang bersifat IT atau penguasaan teknologi IT.
Tetapi, dibalik optimisme dan apresiasi kita terhadap puncak kemajuan yang bagi Indonesia sebenarnya masih harus diraih lebih banyak lagi karena masih belum sampai puncak itu. Kita juga dicemaskan oleh realitas baru di mana alam dan lingkungan kita sedang tidak baik-baik saja.
Alam dan lingkungan kita sedang berada di alarm oleh perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang telah berlangsung lama seiring dengan proses modernisasi dan pembangunan yang dilakukan oleh setiap bangsa dan negara maupun secara berjamaah di tingkat global, di mana secara nyata bahwa ada banyak persoalan serius dalam alam tempat kita tinggal dan sekaligus juga lingkungan kita berada.
Satu sekarang yang menjadi isu besar adalah Perubahan Iklim. Sejak tahun 70-an ketika muncul gerakan Zero Growth, sebenarnya kesadaran tentang penyelamatan lingkungan dan alam akibat pembangunan yang sangat kapitalistik, sesungguhnya telah dimulai. Tetapi tentu karena proses modernisasi dan pembangunan yang berjalan secara pragmatis dan instrumental.
Dan alam pikiran manusia dan termasuk para pengambil keputusan di setiap negara dan di tingkat global, itu juga sisi lain dari penguasaan Iptek adalah mereka selalu berpikir instrumental, pragmatis, dan oportunistik. Lalu dampaknya adalah pembangunan dan segala kebijakan melahirkan sisi lain yakni kerusakan alam dan lingkungan.
Kita diingkatkan oleh seorang David Wallace Wells tahun 2019 yang melahirkan karya cukup menarik dan cuku populer tentang The Uninhabitable Earth, yakni kisah tentang masa depan ketika bumi tidak bisa lagi kita huni. Karena manusia di era ini dengan segala alam pikirannya yang Post Modern berparadigma Iptek, tetapi sangat instrumental dan pragmatis. Lalu menimbulkan banyak dampak yang luas. Wells mengatakan bahwa proses perubahan ini melahirkan ancaman yang luar biasa dari perubahan iklim yang sangat total. Bahkan ancaman itu melebihi ancaman dari bom atau berbagai macam bentuk dari produk ancaman hasil manusia secara langsung.
Kita bisa menyaksikan berbagai bencana alam yang tidak lagi alamiah, seperti badai, kelaparan, laut yang sekarat, udara yang tidak dapat dihirup, wabah akibat pemanasan global, bahkan juga ambruknya ekonomi, terjadinya konflik akibat iklim. Semuanya terkait dengan perubahan iklim global hasil dari atau produk negatif dari kebijakan-kebijakan manusia di berbagai negara. Bahkan sampai pada kesimpulan yang sangat pesimistik dari David Wallace bahwa kehidupan berada di ambang kepunahan, menyerupai kiamat.
Kita ingat pada The Day After Tommorow, manusia tidak dapat lagi memilih planet, karena inilah tempat satu-satunya alam semesta yang dapat disebut sebagai home, sebagai rumah kita. Tetapi rumah ini tidak bisa kita rawat bersama karena ambisi-ambisi berlebihan dari para pengambil keputusan ingin membangun legacy, mercusuar kota hebat, pembangunan yang raksasa, dan segala macam bentuk legacy, kekuasaan yang sesungguhnya sadar atau tidak sadar karena tidak sama dalam mencermati alam.
Akhirnya berbagai legacy yang mercusuar ingin membangun kota termegah di muka bumi, di berbagai negara, tetap hasil akhirnya adalah rusaknya alam dan lingkungannya, termasuk yang ada di dalamnya, makhluk hidup, tanaman, dan berbagai macam ciptaan Allah sampai pada jasad atau makhluk yang tidak bisa kita lihat karena kecilnya.
Kesimpulannya apa? Saya ingin mengambil paradigma teologis keagamaan Islam. Dalam perspektif Al-Quran ada tiga paradigma dalam menyikapi, memandang, dan serta memperlakukan alam.
Pertama, paradigma kekhalifahan. Jangan serba alergi dengan istilah khalifah-kehlaifahan. Istilah khalifah dalam Al-Quran dan Islam memang ada yang bersifat universal, global, dan konseptual dan tidak identik dengan selalu bersifat politik. Pada paradigma ini menjangkarkan bahwa manusia diciptakan selain Abdullah (hamba Allah), juga sebagai khalifatul fil ardh. Nabi Adam As sebagai makhluk khalifah pertama dan kita semua sebagai anak-cucu Adam diberi tugas hidup di muka bumi ini sebagai khalifatul fil ardh sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Fungsinya sebagai memakmurkan bumi dan jangan sampai merusak (QS al-Baqarah 30).
Ayat ini berisi dua sisi, bahwa manusia bisa menjadi pembangun dan juga perusak. Fungsi kekhalifahan menghilangkan dan mengeliminasi fungsi perusak untuk menjadi manusia pembangunan. Manusia sebagai khalifah punya fungsi memakmurkan alam (bumi). Membikin dan mengolah menjadi baik dan di dalam takaran yang seksama.
Kedua, paradigma fasadah. Yakni hasrat, naluri, dan kemampuannya ingin merusak. Manusia kalau merasa sudah digdaya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, bahkan kekuasaan, jika dia tidak memiliki kontrol teologis keagamaan dan spiritual yang tinggi, maka dia akan menuruti hawa nafsunya, termasuk hawa nafsu berlebihan di dalam mengelolah eksploitasi alam.
Paradigma kedua ini senapas dengan QS ar-Rum [30]: 41-42. Manusia diberikan dua elemen; kebaikan dan keburukan. Tugas kitab suci, agama dan rasul adalah mendorong manusia sadar untuk mengkapitalisasi nafsu takwanya dan merendahkan, bahkan menghilangkan potensi merusaknya. Orang baik bisa menjadi buruk karena berkuasa terlalu lama. Orang baik ketika bergelimang harta kekayaan dan segala pesona dunia, akhirnya berbelok arah menjadi manusia yang israf (rakus).
Ketiga, paradigma nifak (hipokrit). Di mana ada alam pikiran, ilmu, cara pandang, perspektif, ada paradigma orang personal atau institusi, atas nama pembangun, tetapi sejatinya merusak. Al-Quran surah Al-Baqarah [2]: 11 dengan jelas melukiskan bahwa ketika Allah berkata kepada manusia, Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan”.
Menghadapi paradigma yang ketiga ini tidak mudah. Di mana mereka memiliki teori yang sangat kuat tentang pembangunan fisik, sumber daya alam, lingkungan, dan sebagainya. Teorinya sangat kaya, tetapi dibalik itu ada elemen-elemen yang merusak. Akibatnya setelah membangun, menjadi rusak.
Hidup ini tidak sekadar urusan dunia, fisik lahiriah, infrastruktur, dan hal-hal yang bersifat saintifik, tapi juga ada sesuatu yang sifat ruhani, spiritual, metafisik. Dan bagi kita kaum beragama, setelah hidup di dunia itu adalah hidup di akhirat. Maka kita harus menjadi khalifatul fil ardh dan menyebarkan nilai-nilai kekhalifahan ke lingkungan kita berada agar jangan menjadi fasad, perusak di muka bumi, dan jangan nifak atas nama membangun akhirnya merusak.
Di situlah pentingnya kita Muhammadiyah dengan gerakan dakwah Amar makruf Nahi Munkar dan Tajdid membawa nilai-nilai luhur Islam dengan keadaban tinggi, perspektif yang kaya, tetapi juga rendah hati. Dan jangan sampai merasa menjadi pemilik kebenaran tunggal yang akibatnya kita menjadi arogan dalam berdakwah dan menyebarkan suara kebenaran, kita tetap berendah hati. Karena dibalik kehebatan manusia, ada keterbatasan, bahkan para rasul diberikan kemaksuman, tetapi mereka diajari hikmah dan kebijaksanaan. (Cris)