Fatwa Hadits tentang Pengaturan Shalat Jenazah Menjadi 3 Shaf
Pertanyaan:
Assalamualaikum wr. wb.
Adakah hadits tentang shalat jenazah harus 3 shaf, seperti yang sering kita dengar? Jika ada, bagaimana takhrijnya dan bagaimana analisisnya? Atas jawabannya, saya haturkan terima kasih.
Wassalamu alaikum wr. wb.
Saudara Yusuf di Yogyakarta (disidangkan pada hari Jum’at, 2 Rabiulakhir 1435 H / 2 Februari 2014)
Jawaban:
Wa alaikumus-salam w. w.
Terima kasih atas pertanyaan saudara. Ada beberapa hadits yang terkait dengan pengaturan shaf untuk shalat jenazah. Berikut ini kami uraikan hadits-hadits tersebut:
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ الْمُبَارَكِ وَيُونُسُ بْنُ بُكَيْرٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَاقَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِى حَبِيبٍ عَنْ مَرْثَدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْيَزَنِىِّ قَالَ كَانَ مَالِكُ بْنُ هُبَيْرَةَ إِذَا صَلَّى عَلَى جَنَازَةٍ فَتَقَالَّ النَّاسَ عَلَيْهَا جَزَّأَهُمْ ثَلاَثَةَ أَجْزَاءٍ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ [رواه ابن ماجه و ابو داود و الترمذى و الرويانى و ابو يعلى و ابو بكر الشافعى و الحاكم و البيهقى]
Artinya: al-Tirmidzi meriwayatkan (lafal ini miliknya) bahwa Abu Kuraib menceritakan kepada kami, Abdullah ibn al-Mubarak dan Yunus ibn Bukair menceritakan kepada kami, dari Muhammad ibn Ishaq dari Yazid ibn Abi Habib, dari Martsad ibn Abdullah al-Yazaniy. Ia berkata: Malik Ibn Hubairah apabila menshalatkan jenazah dan dianggapnya sedikit orang-orang yang ikut menshalatkan itu, maka mereka itu dibaginya menjadi tiga bagian (tiga baris). Kemudian ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa yang dishalati oleh tiga shaf, maka ia telah wajib (mendapatkan surga)”.
Hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Majah (w. 273 H) dalam al-Sunan, Abu Dawud (w. 275 H) al-Sunan, al-Tirmidzi (w. 279) dalam al-Sunan; menurutnya hadits ini Hasan, al-Ruyani (w. 307 H) dalam Musnad al-Ruyani, Abu Ya’la (w. 307 H), dalam Musnad Abi Ya’la, Abu Bakar al-Syafii (w. 354 H) dalam al-Fawaid al-Syahir bi al-Ghailaniyyat, al-Hakim (w. 405 H) dalam al-Mustadrak dan al-Baihaqi (w. 458 H) dalam Sunan al-Baihaqi.
Status hadits:
Tokoh hadits kontemporer, Nashiruddin al-Albani (w. 1419 H/1999 M) dalam Dlaif Sunan Abi Dawud mendaifkan hadits ini. Dalam kitab Ahkamul Janaiz alasan pendaifan tersebut menurutnya adalah keberadaan perawi yang bernama Muhammad ibn Ishaq. Ia adalah seorang mudallis (orang yang suka menyembunyikan kecacatan hadits), yang dalam hadits ini menggunakan redaksi ‘an. Menurut Albani, hadits ini daif sesuai dengan kaedah: hadits mu’an’an yang diriwayatkan oleh mudallis adalah hadits yang daif.
Berdasarkan penelusuran kami, ada satu versi riwayat tentang Muhammad ibn Ishaq (perawi yang dipermasalahkan) yang tidak menggunakan redaksi ‘an tetapi haddatsana. Riwayat tersebut ditakhrij oleh al-Ruyani dalam al-Musnad. Namun, tidak dapat dipastikan mana lafal periwayatan yang benar-benar otentik yang digunakan oleh Muhammad ibn Ishaq, apakah versi mayoritas mukharrij yang menggunakan ‘an atau versi al-Ruyani yang menggunakan (haddatsana). Melihat jumlah mukharrij yang meriwayatkan lafal ‘an dari Muhammad Ibn Ishaq lebih banyak, tampaknya kita cenderung mengabaikan versi al-Ruyani.
Namun, selain al-Albani para ulama cenderung menilai hadits di atas sebagai hadits yang hasan. Seperti penilaian al-Tirmidzi, Ibnu Rajab dan Ibnu Hajar. Namun, sayang sekali, di sini tidak ada keterangan yang dapat diverifikasi terkait alasan para ulama yang menaikkan hadits di atas dari asalnya yang daif (karena keberadaan Muhammad ibn Ishaq) menjadi hasan. Kami telah melakukan penelusuran pada kitab Siyar A’lam al-Nubala yang memuat biografi para perawi. Ditemukan sejumlah komentar negatif para ulama hadits tentang Muhammad ibn Ishaq. Menurut Yahya ibn Main dia adalah orang yang daif. Menurut Abu Zurah dia orang jujur, tetapi tidak bisa dijadikan hujjah. Begitu pula dengan komentar imam al-Nasai dan al-Daruquthni. Bahkan ada pula komentar yang menyebutnya sebagai pendusta. Seperti komentar Yahya al-Qatthan. Sehingga dalam hal ini kami berpendapat bahwa penilaian al-Albani cukup beralasan untuk kita pilih.
Jikapun hadits di atas dapat dianggap hasan, maka menurut kami pemahamannya bukan secara harfiyah; bahwa jamaah shalat jenazah harus disusun menjadi tiga shaf. Hadits di atas sebenarnya menganjurkan agar memperbanyak jamaah shalat jenazah (al-hatssu li iktsaril jamaah). Sebab, seperti diterangkan oleh hadits lain yang kami uraikan di bawah nanti, banyaknya jamaah pada saat shalat jenazah dapat memberikan syafaat kepada jenazah yang dishalatkan. Mengutip pendapat Syamsul Haq Abadi dalam Aunul Ma’bud bahwa hadits di atas sebenarnya menunjukkan sebaiknya orang yang shalat jenazah melakukannya secara berjamaah, bukan shalat sendiri-sendiri.
Hadits yang Mengatur Jamaah Menjadi 3 shaf adalah hadits yang daif
Selain hadits di atas, ada pula hadits yang menceritakan bahwa Nabi saw. pernah mengatur jamaah yang sedikit menjadi 3 shaf. Hadits tersebut adalah:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بن أَبِي الطَّاهِرِ بن السَّرْحِ الْمِصْرِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ عَبْدُ الْغَفَّارِ بن دَاوُدَ الْحَرَّانِيُّ، حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بن عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ، عَنِ الْقَاسِمِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ، قَالَ:”صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جِنَازَةٍ، وَمَعَهُ سَبْعَةُ نَفَرٍ، فَجَعَلَ ثَلاثَةً صَفًّا، وَاثْنَيْنِ صَفًّا، وَاثْنَيْنِ صَفًّا” [رواه الطبرانى و السهمى]
Artinya: al-Tabrani meriwayatkan (lafal ini miliknya): Amru ibn Abi Thahir ibn al-Sarh al-Mishriy menceritakan kepada kami, Abu Shalil Abdul Ghaffar ibn Dawud al-Harraniy menceritakan kepada kami, Ibnu Lahiah menceritakan kepada kami, dari Sulaiman ibn Abdurrahman al-Dimasyqi, dari Qasim, dari Abu Umamah, ia berkata: Rasulullah saw. menshalati jenazah bersama tujuh orang. Kemudian beliau menyusun shaf: tiga orang di shaf pertama, dua orang di shaf kedua, dan dua orang lagi di shaf ketiga.
Hadits ini ditakhrij oleh al-Thabrani (w. 360 H) dalam al-Mu’jam al-Kabir dan Hamzah al-Sahmiy (w. 427 H) dalam Tarikh Jurjan).
Status hadits:
Hadits di atas adalah hadits yang daif. Dalam hadits di atas terdapat seorang perawi yang bernama Ibnu Lahiah. Nama perawi ini tidak asing lagi dalam Ilmu Rijalul Hadits. Namanya dikupas panjang lebar dalam kitab-kitab biografi perawi. Secara singkat, reliabilitas (keterpercayaan) Ibnu Lahiah digambarkan oleh pernyataan Ibnu Hajar dalam Taqrib al-Tahdzib: “ia adalah orang yang jujur, namun hafalannya tercampur setelah buku-bukunya terbakar”.
Rasulullah pernah mengimami jamaah kurang dari 3 shaf
Di sisi lain, terdapat sebuah hadits sahih yang menerangkan bahwa Nabi pernah mengimami shalat jenazah untuk putra Abu Thalhah yang bernama Umair dengan jamaah kurang dari 3 shaf. Shalat yang dipimpin oleh Nabi hanya terdiri dari dua orang makmum, yaitu Abu Thalhah dan istrinya Ummmu Sulaim. Hadits tersebut adalah:
عَنْ إِسْحَاقَ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِى طَلْحَةَ عَنْ أَبِيهِ : أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ دَعَا رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِلَى عُمَيْرِ بْنِ أَبِى طَلْحَةَ حِينَ تُوُفِّىَ فَأَتَاهُ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَصَلَّى عَلَيْهِ فِى مَنْزِلِهِمْ فَتَقَدَّمَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ أَبُو طَلْحَةَ وَرَاءَهُ وَأُمُّ سُلَيْمٍ وَرَاءَ أَبِى طَلْحَةَ وَلَمْ يَكُنْ مَعَهُمْ غَيْرُهُمُ [رواه الطحاوى و الطبرانى و الحاكم و البيهقى]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ishaq ibn Abdullah ibn Abu Thalhah dari ayahnya: bahwasanya Abu Thalhah pernah meminta Rasulullah (untuk menshalati jenazah) Umair ibn Abu Thalhah ketika ia wafat. Rasulullah mendatangi jenazah Umair dan menshalatinya di rumah mereka. Rasulullah maju (berada di posisi imam). Abu Thalhah di belakang beliau. Ummu Sulaim di belakang Abu Thalhah. Tidak ada jamaah lain selain mereka.”
Hadits ini ditakhij oleh al-Thahawi (w. 321 H) dalam Syarh Ma’anil Astar, al-Tabrani (w. 360 H) dalam al-Mu’jam al-Kabir, al-Hakim (w. 405 H) dalam al-Mustadrak dan al-Baihaqi (w. 458 H) dalam Sunan al-Baihaqi).
Intinya adalah Memperbanyak Jamaah
Dari uraian terhadap tiga hadits di atas, kita dapat dapat memahami bahwa pengaturan jamaah shalat jenazah menjadi 3 shaf bukanlah suatu keharusan dan bukanlah pula suatu sunnah. Melainkan yang dikehendaki Nabi adalah anjuran agar kita memperbanyak jumlah jamaah dalam shalat jenazah. Pemahaman tersebut didukung oleh dua hadits Nabi yang sahih berikut ini:
عن ابن عباس قال : فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: tidaklah seorang muslim meninggal dunia, lalu empat puluh orang berdiri menshalati jenazahnya, mereka tidak menyekutukan sesuatu dengan Allah, melainkan Allah memberikan syafaat melalui mereka pada orang yang meninggal tersebut” [HR. Muslim]
عَنْ عَائِشَةَ عَنِ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا فِيهِ [رواه مسلم]
Artinya: “Diriwayatkan dari Aisyah dari Nabi saw.. Beliau bersabda: tidaklah seorang muslim meninggal dunia, lalu sekumpulan orang menshalatinya, jumlah mereka mencapai seratus orang, mereka mendoakan orang yang meninggal tersebut, melainkan (Allah akan) memberikan syafaat melalui mereka pada orang yang meninggal tersebut” [HR. Muslim].
Tentang perbedaan jumlah orang yang dapat memberikan syafaat antara riwayat Ibnu Abbas (40 orang) dengan riwayat Aisyah (100 orang), Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim menjelaskan bahwa bilangan tersebut tidaklah berpengaruh. Hal ini karena intinya adalah memperbanyak jamaah. Penyebab terjadinya perbedaan adalah karena dua hadits Nabi saw. tersebut muncul sebagai respon atau jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh dua orang pada kesempatan yang berbeda kepada Nabi saw. Nabi saw menjawab dua orang penanya tersebut, bahwa baik 100 maupun 40 orang yang melakukan shalat, akan memberikan syafaat kepada jenazah yang dishalatkan. Demikian jawaban kami.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 13 Tahun 2014