‘Aisyiyah sebagai Gerakan Perempuan Berkemajuan

Aisyiyah

Aisyiyah sebagai Gerakan Perempuan Berkemajuan

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Gerakan perempuan di era 4.0 masih memilki banyak tantangan. Beberapa diantaranya seperti kesempatan untuk membawa anggotanya ke dalam politik formal, bergesernya sumber otoritas keagamaan ke arah dakwah digital, perebutan ruang wacana publik, perubahan struktur keluarga, perkembangan global mengenai gender, serta perubahan iklim, krisis energi, hingga radikalisme berwajah perempuan.

Karena itu, gerakan-gerakan perempuan semakin menyeruak, terutama dalam menanggalkan berbagai tantangan tersebut. Beberapa diantaranya seperti Aisyiyah, Wanita Islam, Muslimat NU, Perempuan Aman, Bundo Kanduang, hingga Koalisi Perempuan Indonesia.

Di Indonesia, gerakan perempuan bukan hal baru. Melainkan telah ada sejak lama. Beberapa diantaranya dapat ditelusuri sejak era kolonial (1800 – awal 1900). Seperti perjuangan Tjuk Nyak Dien, peran Siti Walidah dalam Sopo Tresno—kini Aisyiyah—, pendidikan perempuan bumiputera seperti Kartini, Dewi Sartika, Rahma El Yunusiah, gerakan perempuan 1928 hingga konsep Ibubangsa Kowani tahun 1935.

Selanjutnya pada awal kemerdekaan dan orde lama—sekitar tahun 1945-1965—adanya komitmen founding fathers terhadap hak pilih perempuan dan laki-laki, adanya UUD 1945 tentang hak pilih dan memilih bagi semua perempuan dan laki-laki Indonesia. Tidak hanya itu, isu gender dan perempuan juga dapat ditelisik pada masa orde baru tahun 1966-1998 seperti lahirnya ideologi gender “state ibuism”, Dharma Wanita, hingga PKK.

Terakhir pada era Reformasi tahun 1998 hingga sekarang, lahir Suara Ibu Peduli (SIP) sebagai gerakan perempuan mendorong reformasi, instruksi presiden tentang Pengarusutamaan Gender nomor 9 tahun 2000, tiga fatwa Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) I di Cirebon tahun 2017, dan juga kembali munculnya konsep Ibu Bangsa oleh Kowani pada pilpres 2019.

“Kontribusi gerakan perempuan dalam nation building dan demokrasi Indonesia telah meletakkan dasar hak politik bagi perempuan dalam negara bangsa Indonesia.” Jelas Dr Kurniawati Hastuti Dewi SIP MA dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-48 yang diselenggarakan oleh Universitas Aisyiyah Yogyakarta pada Kamis (14/4).

Selain itu, gerakan perempuan lanjut Kurniawati juga telah berkontribusi dalam mengisi dan mendorong pendalaman demokrasi Indonesia, menyediakan landasan keagamaan yang kokoh bagi munculnya banyak perempuan Muslim menjadi pemimpin politik lokal, serta berkontribusi pada wajah demokrasi yang ramah perempuan di negara mayoritas Muslim terbesar, sehingga politik maskulin dan demokrasi inklusif semakin berkurang.

Menurutnya, gerakan perempuan Aisyiyah yang mengusung konsep perempuan berkemajuan juga potensial dalam menyediakan kader perempuan untuk masuk ke politik formal.

“Ini harus didorong dalam kompetisi politik elektoral, yaitu mengisi ruang publik atau politik.” Jelasnya.

Perihal senada juga disampaikan oleh Lies Mustafsirah Marcoes melalui materinya bertajuk “Gerakan Perempuan di era Modern (Peta Gerakan di Wilayah Urban), bahwa konvergensi—penyatuan—antara aktivis feminis sekuler dan feminis Islam menjadi tonggak penting munculnya gerakan feminis Islam di Indonesia di Era modern.

Lebih jauh, direktur Rumah Kita Bersama itu menerangkan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh gerakan perempuan seperti pelatihan-pelatihan tentang gender terutama membuktikan konstruksi sosial tentang laki-laki dan prempuan dapat berubah, pengkaderan kiai dan ibu nyai, ustadz dan ustadzah, mubalig dan mubaligah, pendidikan kanak-kanak, memasukkan isu yang relevan dengan mandat gerakan perempuan atau HAM perempuan serta kajian berbasis metodologi.

“Menemukan metodologi cara baca teks, memisahkan mana yang bisa berubah sesuai tempat dan waktu, mana yang dibawa sebagai nilai yang kekal.” Terang Lies Marcoes.

Esensi dari pada berbagai gerakan perempuan yang ada, tidak lain adalah untuk membangun nilai kemajuan. Salah satunya dengan mewujudkan nilai-nilai keadilan. Hal ini sejalan dengan semangat surah Al-Israa (17) ayat 70. Yang artinya:

“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”

Menukil ayat tersebut, Sukendar PhD menerangkan bahwa manusia memiliki kemampuan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Salah satunya adalah kemampuan berefleksi melihat diri sendiri.

“Dengan kemampuan berefleksi ini, kita bisa membuat kemajuan, dan itulah karakter berkemajuan yang dimiliki Aisyiyah,” pungkas Sukendar. (dandi)

Exit mobile version