Hukum Akad dengan PLN
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Bagaimana kita menjelaskan akad dan hukum PLN (Perusahaan Listrik Negara) zaman sekarang? Jazakumullah.
Khairul Munir (Disidangkan pada Jum’at, 5 Rabiulakhir 1442 H / 20 November 2020 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus-salam wr.wb.
Terima kasih atas pertanyaan saudara. Sebelumnya kami mohon maaf, pertanyaan yang saudara sampaikan sangat singkat, sehingga kami sedikit kesulitan untuk memahaminya. Namun demikian, kami mencoba untuk menjawab dari sisi akad apa dan apa saja syarat atau rukunnya yang dilakukan oleh PLN dengan orang yang bermuamalah dengannya. Kami mencoba menggali informasi tentang isi/aturan dalam akad PLN. Dalam pelacakan yang kami lakukan ditemukan beberapa hal sebagai berikut.
PLN adalah sebuah BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang mengurusi semua aspek kelistrikan yang ada di Indonesia. Ruang lingkup PLN sebagaimana tertera dalam Pasal 2 “Syarat dan Ketentuan Pasang Baru/Perubahan Daya Online” menjelaskan bahwa PLN bersedia untuk menjual dan menyalurkan tenaga listrik kepada pelanggan dan pelanggan bersedia membeli dan menerima tenaga listrik yang akan disalurkan oleh PLN untuk dipergunakan oleh pelanggan sesuai golongan tarif dan daya tersambung dengan dasar perhitungan biaya sesuai dengan TTL (Tarif Tenaga Listrik) yang berlaku.
Jika ditinjau dari definisi di atas PLN merupakan perusahaan yang terjun di bidang muamalah terfokus pada jual beli, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Allah berfirman dalam QS al-Baqarah (2) ayat 275,
…وَأَحَلَّ اللهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا…
… Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba … [QS al-Baqarah (2): 275].
Ayat di atas menerangkan terkait bolehnya kegiatan jual beli, akan tetapi, sebelum mengambil kesimpulan, alangkah baiknya jika kita meninjau lebih lanjut terkait sistem yang telah ditetapkan PLN, terutama pada sistem akad yang ditetapkan dalam bermuamalah dengan konsumen.
Dalam praktiknya, PLN menyediakan dua cara untuk calon pelanggan yang hendak bermitra dengannya. Ketika hendak melakukan sambungan baru misalnya, calon pelanggan bisa datang langsung ke kantor cabang PLN atau dapat diakses secara daring atau online. Kedua cara yang diberlakukan oleh PLN ini memiliki ketentuan dan syarat yang sama.
Boleh tidaknya suatu akad dilakukan apabila akad tersebut memenuhi rukun dan syaratnya. Adapun uraiannya sebagai berikut.
Rukun-rukun akad menurut jumhur fukaha ada 4, yaitu;
- Āqid (orang yang berakad), dalam hal ini yang menjadi āqid adalah pihak PLN selaku penyedia jasa dan kepala keluarga selaku pelanggan yang mana keduanya adalah orang-orang yang cakap.
- Ma‘qūd ‘alaih (benda-benda yang diakadkan), Ulama berbeda pendapat apakah manfaat itu termasuk benda atau bukan. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa manfaat bukan merupakan benda, sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa manfaat adalah benda karena termasuk jasa/manfaat sehingga dapat dijadikan objek jual-beli. Sebagaimana pengertian harta dalam fikih muamalah berikut ini,
إِنَّ الْمَالَ كُلُّ مَا يُبَاحُ شَرْعًا مِنَ الْأَعْيَانِ وَالْمَنَافِعِ
Bahwasanya yang termasuk harta/benda adalah segala sesuatu yang diperbolehkan secara syariat baik itu berupa benda kongkrit maupun manfaat.
Jika ditinjau dari pengertian di atas, maka produk yang ditawarkan oleh pihak PLN pada hakikatnya adalah benda/harta yang oleh karenanya dapat dijadikan objek jual-beli.
- Mauḍu’ al-‘aqd (tujuan pokok dalam melakukan akad), tujuan pembayaran listrik di PLN sendiri adalah untuk memajukan usaha serta untuk membayar gaji karyawan, sedangkan tujuan listrik di pelanggan adalah untuk kebutuhan rumah tangga. Jadi, tujuan pada setiap pihak saling menguntungkan atau mengandung kemaslahatan bersama. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih
جَلْبُ الْمَصَالِحِ وَدَرْأُ الْمَفَاسِدِ.
Menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan.
- Ṣigat al-‘aqd (terdiri dari ijab dan kabul), antara pihak PLN dan pelanggan terdapat adanya kesepakatan. Ketika seseorang ingin membeli produk yang ditawarkan oleh PLN, maka calon pelanggan tersebut harus menyetujui syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam 16 pasal. Pasal-pasal tersebut juga mengatur hak kewajiban pelanggan dan PLN, sampai sanksi yang dikenakan apabila terjadi pelanggaran. Kesepakatan ini merupakan bentuk dari ijab kabul dari kedua belah pihak.
Sedangkan syarat-syarat akad adalah sebagai berikut,
- Pada akad pemasangan listrik PLN di awal, telah disepakati oleh kepala keluarga dan penyedia jasa pihak PLN yang pada umumnya adalah seseorang yang sudah mumayyiz/pelaku akadnya cakap bertindak hukum (balig).
- Setiap pelaku akad mengetahui apa yang disampaikan oleh pelaku akad yang lain, baik dengan mendengar perkataannya, membaca tulisannya, dan memahaminya, melihat tingkah/tindakannya, atau isyarat yang diketahui maksudnya.
- Pemasangan listrik oleh PLN ini dianggap sebagai persoalan yang dapat diadakan secara syarak, karena tidak terdapat larangan mengenai pemasangan listrik ini, namun justru mengandung nilai kemaslahatan di Hal ini sesuai dengan kaidah fikih sebagai berikut,
اَلْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ.
Asal segala sesuatu itu mubah.
Juga berdasarkan kaidah fikih tentang kemaslahatan yang telah disebutkan di atas.
- Kabul yang diutarakan oleh pelanggan harus sesuai dengan ijab yang diutarakan oleh pihak PLN baik dalam ucapan, perbuatan, ataupun isyaratnya.
- Setelah disepakati pemasangan listrik oleh kedua belah pihak antara PLN dan kepala keluarga, maka telah adanya ketersambungan antara ijab dan k
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwasannya akad PLN saat ini adalah mubah (boleh) karena memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat akad jual beli.
Wallahu a‘lam bish-shawab.
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 20 Tahun 2021