Lafadz Ijab Qabul dan Haruskah Menikah dalam Keadaan Suci?

Lafadz Ijab Qabul

Foto Ilustrasi Dok Unsplash

Lafadz Ijab Qabul dan Haruskah Menikah dalam Keadaan Suci?

Pertanyaan:

  1. Dalam ikrar ijab qabul dalam bahasa Indonesia ada tiga jawaban mempelai pria:

Dari ketiga jawaban ini mana yang paling benar?

  1. Nikah itu suci. Karena nikah itu suci, apakah ada ketentuan pada waktu dinikahkan kedua mempelai dalam keadaan suci?

Atas jawaban pengasuh saya ucapkan terima kasih.

Anwar Raamin, Jl. Dr. Angka No. 15 A Purwokerto, Jateng (Disidangkan pada hari Jum’at, 29 Jumadilawal 1431 H / 14 Mei 2010 M)

Jawaban:

  1. Pertanyaan pertama tentang ucapan ijab qabul sebenarnya sudah pernah dibahas dan dapat dilihat pada buku Tanya Jawab Agama Jilid 2 halaman 144 terbitan Suara Muhammadiyah, sehingga bisa saudara pelajari kembali. Namun demikian baiklah kami akan menjawabnya. Sebelum menjawab, perlu kami jelaskan terlebih dahulu bahwa keabsahan nikah itu adalah jika telah terpenuhinya rukun nikah yaitu adanya dua orang mempelai, wali, dua orang saksi, sighat akad nikah (ijab qabul) dan mahar (maskawin).

Adapun yang dimaksud shighat akad nikah atau ijab qabul adalah perkataan seorang wali nikah ketika menikahkan anak perempuannya kepada mempelai pria, ini disebut ijab, dan jawaban mempelai pria untuk menerimanya, disebut qabul. Shighat akad nikah bisa menggunakan bahasa Arab atau yang lainnya yang mudah dipahami, hanya saja di kalangan ulama mensyaratkan dalam akadnya itu dengan menggunakan kata nikah atau kata ziwaj, tidak boleh dengan kata jodoh atau partner atau pasangan dan sebagainya.

Contoh ucapan ijab (kalau walinya ayah mempelai perempuan), adalah:

يَا أحْمَدَ أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ بِنْتِيِّ فَاطِمَةَ بِمَهْرِ الْقُرآنِ

Artinya: “Hai Ahmad, Aku nikahkan dan aku kawinkan engkau dengan anak perempuanku Fatimah dengan maskawin kitab suci al-­Qur’an.”

Adapun contoh qabulnya (yang menerima mempelai pria) sebagai berikut:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا لِيْ بِاْلمَهْرِ اْلمَذْكُوْرِ

Artinya: “Aku menerima pernikahan dan perkawinannya bagi saya dengan maskawin yang telah disebutkan tadi (kitab suci al-­Qur’an).”

Dari uraian di atas, maka untuk menjawab pertanyaan saudara, yang manakah contoh ucapan qabul yang paling benar, antara: “Saya terima nikahnya …” (dengan jawaban ini seolah-olah mempelai wanita menikahi mempelai pria), atau “Saya terima menikahi …”, atau “Saya terima”, pada prinsipnya ketiga bentuk ucapan qabul tersebut benar dan tidak ada yang salah. Hal ini karena masalah bahasa dan masalah bahasa tidak menjadi persoalan dengan menggunakan bahasa apapun, asalkan mudah dipahami dan maknanya benar.

Namun demikian, ucapan qabul yang pertama pada contoh di atas, yaitu: قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا لِيْ بِاْلمَهْرِ اْلمَذْكُوْرِ , dipandang lebih lengkap dan mudah dipahami, dan tidak berarti maksudnya seorang mempelai wanita yang menikahi mempelai pria, karena yang menikahkan itu adalah wali (orang tua) dari mempelai wanita dan mempelai pria menjawab atau menerima apa yang disampaikan oleh wali nikah tadi.

Perlu kami sampaikan pula, bahwa jika saudara akan menikah atau menikahkan, sebaiknya menggunakan redaksi ijab qabul yang telah umum berlaku dan bisa ditanyakan kepada Kantor Urusan Agama setempat selaku pihak yang berwenang mencatat pernikahan secara Islam.

  1. Nikah itu adalah suci, yang dimaksud suci di sini adalah perbuatan yang terpuji, yang sakral, karena ikatan pernikahan adalah mitsaqan ghalidzan (ikatan yang kuat). Allah SWT berfirman:

وَكَيْفَ تَأْخُذُوْنَهٗ وَقَدْ اَفْضٰى بَعْضُكُمْ اِلٰى بَعْضٍ وَّاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًا

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” [QS. an-Nisa (4): 21]

Dengan menikah, orang dapat menahan pandangan serta memelihara kemaluan. Nabi Muhammad saw bersabda:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، لأَنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ [رواه البخاري]

Artinya: “Barangsiapa di antara kamu mampu menikah, maka menikahlah karena nikah dapat menahan pandangan serta memelihara kemaluan (kesucian).” [HR. al-Bukhari]

Suci di sini tidak dikaitkan dengan sah atau tidak sah pernikahan seseorang, berbeda dengan ketika seseorang hendak mengerjakan shalat maka ia harus suci (dari hadas maupun najis), sehingga sebelum shalat terlebih dahulu harus bersuci dengan berwudlu, mandi atau tayamum sesuai kondisinya. Tidak sah shalat jika tidak terpenuhi kesucian, karena suci merupakan bagian dari syarat sahnya shalat.

Sedangkan dalam melangsungkan akad nikah tidak ada persyaratan harus suci dari hadas maupun najis. Adapun yang disyaratkan oleh agama untuk terpernuhi sahnya nikah seseorang hendaklah memperhatikan beberapa hal, di antaranya orang yang dinikahi bukan mahram (lihat QS. an-Nisa [4]: 23), terpenuhi rukun nikahnya seperti adanya wali, sebagaimana sabda Nabi saw: لاَ نِكَاحَ اِلاَ بِوَلِىٍ , artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali” [HR. Malik], juga disyaratkan bagi seorang wanita yang sudah bercerai dan akan menikah lagi harus menunggu masa iddahnya sesuai dengan bentuk dan lamanya masa iddah, seperti iddah karena cerai baik yang belum atau sudah haid, iddah karena hamil maupun karena ditinggal wafat suaminya.

Kesimpulannya, orang boleh menikah walaupun dalam keadaan tidak suci (punya hadas dan belum berwudhu) atau dalam keadaan haid (belum mandi wajib karena belum selesai haidnya) dan nikahnya tetap sah karena tidak ada syarat harus suci dari hadas maupun najis ketika akan menikah.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 17 Tahun 2010

Exit mobile version