Membabar Makna “Berkemajuan”?
Oleh: Dr phil Ahmad-Norma Permata, MA
Islam Berkemajuan adalah salah satu slogan Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah. Istilah ini di saat yang sama digunakan sebagai “etos” yang merujuk kepada karakter dan semangat gerakan tajdid Muhammadiyah; namun juga sekaligus sebagai “identitas” untuk membedakan diri dengan gerakan dakwah Islam yang lain.
Namun sayangnya hingga saat ini belum ada definisi yang stabil, apa yang dimaksud dengan “berkemajuan” tersebut. Karena “berkemajuan” adalah kata keterangan yang bersifat umum, banyak orang merasa tidak memerlukan definisi untuk dapat menggunakan istilah ini dengan benar.
Padahal, justru karena bersifat umum istilah “berkemajuan” tidak dapat dirumuskan dengan pendekatan harfiah. Sebab, baik secara spasial, temporal, maupun figuratif, pengalaman manusia tentang kehidupan tidaklah linier, melainkan meluas bahkan membulat: perkembangan gerak (pengertian harfiah dari maju) tidak hanya ke depan, melainkan juga ke samping dan naik turun. Bagi yang berhadapan, gerak maju akan terlihat mundur. Dalam skala bumi yang bulat, arah ke depan hanya akan membawa kembali ke belakang.
Sehingga, “berkemajuan” harus memiliki pengertian teknis atau definisi operasional. Namun karena ruang dan waktu adalah kategori imperatif yang selalu mengekang nalar manusia, upaya membuat definisi teknis tentang istilah “berkemajuan” juga tidak mudah, karena akan selalu berhadapan dengan jebakan logika relativisme.
Pertama, menggunakan perspektif ilmu dan teknologi (IPTEK), maka “berkemajuan” merujuk kepada kondisi dimana masyarakat memiliki capaian IPTEK yang unggul. Sehingga “Islam Berkemajuan” adalah Islam yang dapat membawa sebuah masyarakat kepada kemajuan dan keunggulan IPTEK.
Namun, sebagaimana yang terjadi saat ini, kemajuan IPTEk tidak hanya membawa manfaat melainkan juga efek samping berupa kerusakan lingkungan sampai pemanasan global. Sehingga Sosiolog Jerman Ulrich Beck mengusulkan konsep ‘masyarakat resiko’ (resiko gesselschaft) dimana pengembangan teknologi tidak lagi diarahkan kepada memaksimalkan manfaat, melainkan meminimalkan resiko. Mirip kaidah ushul “dar’ul mafasid…”. Artinya, kemajuan teknologi tidak selalu berarti lebih baik.
Kedua, menggunakan perspektif ekonomi, istilah “berkemajuan” akan bermakna kondisi masyarakat yang makmur dan sejahtera. Sehingga, Islam Berkemajuan adalah gerakan dakwah untuk mewujudkan kesejahteraan umat dan bangsa, sehingga lebih mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaan.
Namun kesejahteraan ekonomi juga punya sisi dilematis karena akan berhadapan dengan dua jalan yang saling bertentangan, yang hanya dapat diselesaikan secara ideologis: antara mendahulukan keadilan (pemerataan) atau kreativitas dan produktivitas (pertumbuhan). Sehingga, perspektif kesejahteraan malah akan menjerumuskan Islam Berkemajuan kepada pilihan ideologi Kiri atau Kanan.
Ketiga, dengan pendekatan politik, istilah “berkemajuan” akan mengacu kepada keunggulan memperebutkan kekuasaan. Sehingga, “Islam Berkemajuan” adalah gerakan dakwah yang dapat membawa umat kepada kekuasaan, sehingga tata kelola umat dan bangsa dapat dijalankan sesuai nilai-nilai dakwah Islam.
Namun kembali lagi, perspektif politik juga tidak satu sisi melainkan dua: kekuasaan dan kebijakan, yang nasabnya seperti ayam dan telor. Sebagian kelompok menganggap bahwa prioritas jalan politik adalah menggapai kekuasaan, sebagai syarat utama merumuskan kebijakan. Sementara kelompok yang lain menganggap substansi politik adalah kebijakan, akan menjadi jalan menuju kekuasaan. Tafsir politik, lagi-lagi, hanya akan menyeret Islam Berkemajuan kepada pilihan ideologis partisan.
Keempat, menggunakan perspektif agama, “berkemajuan” akan berarti keunggulan dalam dakwah, sehingga “Islam Berkemajuan” adalah gerakan dakwah yang mampu mengajak, mengajarkan dan mewujudkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Sehingga akan terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Akan tetapi, orientasi kepada upaya mensosialisasikan dakwah Islam kepada masyarakat (Islamisasi, Syariatisasi), juga akan berbenturan dengan salah satu kearifan yang menjadi inspirasi gerakan Muhammadiyah sendiri. Yaitu ucapan Syeikh Muhammad ‘Abduh, bahwa “Islam” bukanlah apa-apa yang dilakukan oleh kaum Muslim; melainkan terwujudnya peradaban, siapapun pelakunya.
Lalu “berkemajuan” itu apa? Kunci jawabannya bisa dilacak pada konteks ketika Kyai Dahlan menyampaikan wasiat ampuh ini. Setelah mengatakan “dadio wong Islam sing kemajuan” (jadilah Muslim berkemajuan) Kyai Dahlan berpesan agar para muridnya sekolah yang tinggi–menjadi guru, dokter, insinyur, ahli hukum–lalu kembali berdakwah bersama Muhammadiyah.
“Berkemajuan” tidak lain adalah “bersekolah”, karena sekolah adalah mesin ajaib yang akan menjadikan manusia menjadi lebih baik sesuai dengan kebutuhan: menguasai teknologi, meningkatkan kesejahteraan, memiliki jabatan dan otoritas lebih tinggi, dan akhirnya dapat berkontribusi lebih dalam usaha dakwah.
Sekolah juga menjadi sarana untuk membangun keadilan sosial melalui prinsip meritokrasi: orang dihargai karena prestasi dan kinerja, bukan lagi karena nasab, golongan, atau penampilannya. Dunia modern menjadi saksi, semua negara “maju” pasti memiliki sekolah-sekolah unggulan. Sebaliknya, negara yang sekolahnya tidak berkembang, capaian sebagai bangsa pasti juga pas-pasan.
Dengan rumusan yang lebih teknis, “berkemajuan” merujuk kepada “kemajuan sosial” (social progress), yaitu mekanisme mobilitas sosial vertikal dimana sebuah generasi memiliki kemampuan untuk membangun kehidupan yang lebih baik dibanding generasi sebelumnya. Islam Berkemajuan, dengan demikian, adalah gerakan dakwah yang akan memungkinkan setiap generasi umat dan bangsa menjadi lebih baik dari generasi sebelumnya–dengan penuh hormat dan kesyukuran.
Ingat ya, “berkemajuan” adalah… “s-e-k-o-l-a-h”…!
Allahu a’lam
Dr phil Ahmad-Norma Permata, MA, Dosen UIN Sunan Kalijaga
Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2021