Hukum Mahallul-Qiyam dalam Shalawat

Mahallul-Qiyam rasulullah

Foto Dok Ilustrasi

Hukum Mahallul-Qiyam dalam Shalawat

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Apakah hukumnya mahallul-qiyam, ketika membaca shalawat Nabi Muhammad saw. dalam suatu acara seperti walimahan?

Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Muafana Afifa (Disidangkan pada Jum’at, 24 Jumadilawal 1442 H/8 Januari 2021 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wr.wb.

Terima kasih atas pertanyaan yang saudari ajukan. Sebelum menjawab pertanyaan saudari, terlebih dahulu akan kami paparkan tentang shalawat. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah Nomor 15 Tahun 2003, bahwa shalawat itu berarti doa, memberi berkah dan ibadah. Shalawat Allah kepada hambanya dibagi dua, khusus dan umum. Shalawat khusus ialah shalawat Allah kepada para Rasul atau Nabi-Nya, teristimewa shalawat Allah kepada Nabi Muhammad saw. Shalawat umum, ialah shalawat Allah kepada hamba-Nya yang mukmin.

Umat Islam diperintahkan oleh Allah untuk mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw. sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Ahzab (33) ayat 56 sebagai berikut,

اِنَّ اللهَ وَمَلٰىِٕكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا [الأحزاب، 33: 56].

Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat atas Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu atasnya (Nabi) dan ucapkanlah salam pernghormatan kepadanya [QS al-Ahzab (33): 56].

Pada rubrik Tanya Jawab Agama Majalah Suara Muhammadiyah Nomor 15 tahun 2003 dijelaskan juga mengenai waktu-waktu yang dianjurkan oleh agama untuk membaca shalawat kepada Nabi, antara lain adalah: 1) sesudah azan; 2) ketika masuk masjid; 3) sesudah membaca tasyahud di dalam tasyahud akhir; 4) di dalam salat jenazah; 5) di permulaan doa dan di akhir atau penutup doa; 6) ketika hendak memulai sesuatu urusan yang penting; 7) di akhir kunut; 8) di malam Jumat; 9) di dalam khutbah; 10) sesudah bertalbiyah; 11) ketika berziarah ke kubur Nabi saw; 12) ketika telinga mendenging; 13) tiap-tiap mengadakan majelis; 14) ketika kesusahan dan kegundahan; 15) tiap-tiap waktu pagi dan petang; 16) waktu berjumpa dengan sahabat dan handai taulan; 17) ketika orang menyebut nama Rasulullah saw.

Adapun mahallul-qiyam merupakan suatu ritual atau kegiatan membaca shalawat kepada Nabi saw. dengan cara berdiri sebagai bukti menghormati kedatangan Rasulullah saw. pada kegiatan tersebut. Merasakan kehadiran Rasulullah saw. pada saat itu merupakan puncak dari shalawat dan ungkapan atas kebahagiaan itu adalah berdiri sambil membaca shalawat yang mengagung-agungkan Nabi Muhammad saw.. Tentang kegiatan seperti ini belum diketahui anjuran dan tuntunan dari dalil yang sahih lagi makbul. Bahkan ketika Nabi saw. masih hidup, kalau beliau hadir di suatu majelis, beliau melarang para sahabat berdiri menghormatinya. Beliau adalah Nabi, bukan raja yang harus dipuji berlebihan. Kegiatan seperti ini bahkan bertolak belakang dengan hadis Nabi saw:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ [رواه البخاري].

Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan) ia mendengar Umar r.a. berkata di atas mimbar: Aku mendengar Nabi saw bersabda: Janganlah kalian puji aku berlebih-lebihan, sebagaimana kaum Nasrani memuji berlebih-lebihan terhadap (al-Masih) ibnu Maryam. Tetapi katakanlah aku (Muhammad) adalah hamba dan utusan-Nya (Allah) [HR al-Bukhari].

Seperti yang dijelaskan di atas, bahwa shalawat itu adalah doa, dan shalawat merupakan bagian dari ibadah. Melaksanakan ibadah sudah seharusnya berdasarkan pada tuntunan yang ada, dan sementara ini belum ditemukan tuntunan ketika membaca shalawat itu harus berdiri seperti yang dilakukan di dalam mahallul-qiyam. Oleh sebab itu melaksanakan kegiatan mahallul-qiyam ketika membaca shalawat bukanlah suatu anjuran agama dan tidak ada manfaatnya. Bahkan, menambah-nambah suatu perkara di dalam masalah agama itu amalannya tertolak, sebagaimana disebutkan dalam hadis berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ [رواه البخاري].

Dari Aisyah r.a. (diriwayatkan) ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak [HR al-Bukhari].

Keberadaan dalil dalam membolehkan suatu ibadah itu menjadi penting, sesuai dengan kaidah Fikih yang menyatakan:

اَلْلأَصْلُ فَى الْعِبَادَةِ الْبُطْلَانُ حَتَّى يَقُومَ الدَّلِيلُ عَلَى الْأَمْرِ.

Hukum asal dari ibadah itu batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.

Dengan demikian, melakukan perbuatan berdiri sebagai ritual ketika membaca shalawat Nabi saw. atau disebut mahallul-qiyam itu tidak perlu dilakukan karena tidak ada dasar tuntunannya.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM No 20 Tahun 2021

Exit mobile version