Oleh: Dani Yanuar Eka Putra, S.E, A.k, M.A*
Dua tahun mayoritas muslim Indonesia tak dapat menyelenggarakan tradisi mudik saat Idul Fitri hadir di tengah-tengah mereka. Pandemi Covid-19 menjadi penyebab utama terhalangnya tradisi tersebut sejak terjadi pada awal tahun 2020. Mudik memang tradisi dan bukan bagian dari urusan keagamaan. Namun mudik memiliki muatan nilai agama yang sangat kental. Sejarawan JJ Rizal (2022) dalam suatu acara menyebutkan bahwa tradisi mudik khusus Jakarta ke daerah adalah tradisi baru dikenal setelah tahun 60-70an. Bukan tradisi masa lalu zaman kolonial. Muatan nilai agama sangat kental di dalamnya, bahkan ada persinggungan antar tradisi keagamaan yang berbeda.
Di tahun ini, tahun 2022 atau 1443 H umat Islam Indonesia kembali berkesempatan untuk melaksanakan tradisi yang telah ditinggalkan selama dua tahun. Pada tahun ini lampu hijau dinyalakan oleh pihak pemerintah dikarenakan Pandemi Corona Virus Disease 2019/ Covid-19 saat ini relatif terkendali. Selain itu, upaya cakupan vaksinasi untuk mengendalikan dan menghadirkan imunitas bagi masyarakat Indonesia telah mencapai capaian tertentu meski belum optimal.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenhub menginformasikan bahwa pada tahun 2022 pemudik diperkirakan kurang lebih berjumlah 85,5 juta jiwa dengan 14,3 juta jiwa berasal dari Jabodetabek. Jumlah tersebut bukanlah jumlah sedikit. Pemerintah telah menyiapkan strategi untuk mudik atau pulang kampung dan arus balik dalam mengatasi kemacetan karena kepadatan pemudik. Termasuk juga himbauan untuk tetap patuh pada protokol kesehatan.
Idul Fitri
‘Id berasal dari bahasa arab dengan bentuk dasarnya ‘āda-ya’ūdu yang maknanya adalah kembali. Sedangkan Fitri makna bahasanya adalah berbuka yang memiliki akar kata yang sama dengan Ifthār. Jadi Idul Fitri secara bahasa maknanya adalah kembali makan atau berbuka. Mengapa demikian, karena saat Idul Fitri seluruh umat wajib berbuka, tidak lagi berpuasa. Bahkan haram puasa saat satu Syawal. Satu Syawal adalah momentum semua umat Islam bergembira dengan berbuka.
Memang kebanyakan kaum muslimin memaknai Idul Fitri dengan kembali suci. Secara bahasa sebenarnya kurang tepat, namun jika meluaskan maknanya dengan hadist Nabi Saw tentang pelaku puasa, Qiyāmu Ramadhān, dengan modal Iman dan Ihtisāb akan dihapuskan dosa yang telah lalu, dan Zakat Fitri mensucikan pelaku puasa dari perkataan sia-sia dan kotor dapat dipahami kembali suci. Namun kesucian tersebut tetap bersyarat mutlak sebagaimana disebutkan.
Sebagian ulama menganggap terlalu rendah jika mengartikan Idul Fitri dengan kembali makan. Akan tetapi menurut penulis, nikmat makan dan minum itu adalah anugerah sederhana namun begitu istimewa yang diberikan Allah Swt kepada manusia. Seringkali kita lupa tentang nikmat tersebut jika di luar Ramadhan tentang bisa “makan dan minum”. Seolah saat makan dan minum terlewatkan saja yang sesungguhnya karunia atau nikmat Allah yang begitu luar biasa. Nabi Saw pun pernah bersabda tentang dua kebahagiaan bagi pelaku puasa. Kebahagiaan tersebut adalah saat berbuka/Idul Fitri dan saat bertemu dengan Robnya.
Pernahkah kita membayangkan bahwa ketika memiliki banyak nikmat namun di saat bersamaan Allah cabut kenikmatan makan dan minum. Memiliki gaji lebih dari tiga puluh juta namun tak merasakan nikmat makan dan minum, memiliki rumah tipe tertentu namun tak bisa menikmati makan dan minum, memiliki mobil merk tertentu namun tak bisa makan dan minum, dan memiliki ini serta itu namun tak nikmat makan dan minum. Semua pasti terasa hambar dan tak ternilai jika makan dan minum tak dapat dinikmati.
Akan tetapi perlu dipahami bahwa makan dan minum yang menggembirakan atau membahagiakan adalah makan dan minum disertai dengan mengendalikan hawa nafsu. Layaknya saat berbuka puasa, makan dan minum paling membahagiakan adalah makan dan minum saat awal berbuka dengan menikmati sajian berbuka secukupnya sebagai bentuk pengendalian tanpa isrōf / berlebihan saat berbuka. Demikian juga berbuka saat Idul Fitri. Ketika berlebihan dan tak mengendalikan hawa nafsu, maka kebahagiaan sulit digapai. Memang hawa nafsu tidak bisa dan tidak boleh dimatikan, namun harus dikendalikan.
Tradisi Mudik Idul Fitri dan Kepedulian Lingkungan
Penulis menjadi bagian dari 85,5 juta jiwa pemudik. Penulis ikut mudik dihari ke dua Idul Fitri. Tepatnya tanggal 2 Syawal 1443 H bertepatan dengan 3 Mei 2022 M. Mudik setelah Lebaran adalah upaya mensiasati kemacetan yang terjadi di ruas jalan jalur mudik. Namun kenyataannya di luar prediksi atau dugaan. Jalanan masih saja pada kepadatan dan kemacetan di setiap pecahan jalan dalam area peristirahatan, pertigaan, dan perempatan.
Saat ikut dalam kemacetan, tiba-tiba saja mata tertuju pada sampah-sampah bekas plastik, botol, dan kertas makanan ringan atau berat. Semua berserakan di setiap titik kemacetan. Ketika sampai daerah kampung halaman, ternyata didapati hal yang sama. Di beberapa tempat terdapat juga lembar kertas yang telah tersobek-sobek karena ledakan petasan atau mercon. Beberapa hal tersebut menambah berat persoalan-persoalan rutin mudik lainnya seperti penggunaan berlebih energi fosil oleh berbagai kendaraan bermotor.
Penulis pulang kampung ke daerah dataran tinggi Jawa Tengah. Kurang lebih sepuluh tahun terakhir perubahan cuaca begitu dirasakan. Saat pertama kali penulis menginjakkan kaki di kampung halaman, udara teduh dan sejuk selalu membersamai. Bahkan ketika matahari begitu terik, tetap saja dirasa sejuk diiringi kehangatannya. Namun saat ini yang terasa begitu berbeda. Kesejukan semakin berkurang dan kehangatan bergeser kepada panas yang menyengat. Pada beberapa titik wilayah ada area-area yang longsor dan sumbatan-sumbatan air mengalir karena sampah yang massif.
Tentang fakta perubahan iklim lokal dan global, rasanya penulis tidak perlu lagi menuliskan kembali karena telah dituliskan berkali-kali di beberapa media oleh penulis dengan berbagai bukti penyebabnya. Mulai dari Laporan Statistik Lingkungan Hidup dari BPS, NASA, dan laporan lainnya dengan bukti-bukti perubahan iklim yang semakin begitu terasa. Beberapa hal yang disaksikan oleh penulis dan pemudik yang sadar secara langsung kejadian-kejadian yang disebut di atas nampaknya ikut berkontribusi terhadap cepatnya perubahan tersebut.
Puasa yang telah dilalui dan Idul Fitri yang hadir memiliki nilai teologis sekaligus ekologis. Taqwa hasil puasa bersyarat Imān (Al-Baqarah (2): 183), bertakbir di akhir Ramadhan wujud syukur (Al-Baqarah (2): 185), dan beberapa hadist tentang terhapusnya dosa yang telah lalu bagi pelaku puasa dan tarawih juga bersyarat Iman. Inilah nilai teologis/ transendental (Tauhīd dan Syukur). Sedangkan nilai sosial dan ekologis adalah penjelmaan dari nilai Teologis dalam bentuk Imsāk (menahan/mengendalikan diri), Ta’āwun (tolong menolong dan empati), Tawāzun (keseimbangan), Qana’ah (kecukupan), dan Zuhūd (dunia dalam genggaman tak dimasukkan di dalam hati).
Tauhīd, Syukūr, Imsāk, Ta’āwun, Tawāzun, Qana’ah, dan Zuhūd harusnya melekat pada setiap lulusan madrasah Ramadhan. Tauhīd tinggi pasti akan merasa bahwa kepemilikan mutlak hanyalah Allah SWT. Sedangkan manusia diperintahkan untuk memakmurkan dunia dengan nilai kerahmatan-Nya. Manusia yang syukur akan selalu mengekspresikan wujud terima kasih dalam bentuk ketundukan, kerendahan, dan ketaatan kepada-Nya. Imsāk (menahan diri) saat Ramadhan akan mengantarkan pada pemilahan (makanan dan lainnya) yang halal apakah layak secara etika atau tidak. Jika yang halal saja dipilah, apalagi yang haram. Kerjasama atau Ta’āwun untuk memakmurkan bumi tidak hanya melibatkan manusia. Namun hewan dan tumbuhan adalah wajib diikutsertakan. Mereka adalah makhluk dunia yang berandil besar dalam menjaga keseimbangan atau Tawāzun. Sedangkan Qana’ah dan Zuhūd akan menuntun seseorang merasa cukup dan jauh dari sikap tamak atau eksploitasi terhadap dunia dan isinya sebagai jalan kemakmuran dunia dan akhirat.
Demikianlah nilai-nilai dari Teologis dan Sosial Ekologis sebagai seperangkat norma agar dipegang erat-erat dalam hati diwujudkan melalui sikap dan amal. Layaknya sebuah buku berjudul “There is no Planet B” oleh Mike Berners Lee. Dunia yang kita tinggali ini hanya satu. Tidak ada dunia kedua, apalagi ketiga. Menjaganya dengan memakmurkan berdasarkan nilai-nilai agama adalah perintah sakral layaknya perintah ibadah khusus seperti sholat dan puasa. Bahkan dapat dikategorikan tak bernilai atau celaka kepada mereka pelaku ibadah namun tak peduli terhadap rusaknya alam. Karena rusaknya alam dalam jangka pendek atau panjang akan mengantarkan pada kemiskinan. Bahkan krisis global sudah mulai terjadi sejak lama.
Akhirnya, mari kita semua bertanya dengan jujur, “mengapa terjadi kontradiksi antara keberagamaan dengan kepedulian terhadap lingkungan yang sebenarnya senafas? Mengapa Ramadhan yang telah pergi dengan nilai-nilai utama di dalamnya seolah lepas satu persatu saat Idul Fitri datang? Mengapa kita tidak lagi peduli dengan imsāk saat makan dan lainnya serta fitrah yang telah kita lakukan dan kita idam-idamkan? Mengapa nasehat-nasehat yang disajikan saat tarawih dan subuh selama Ramadhan tak kita jadikan pegangan?” Semoga Allah mengampuni dosa kita semua pasca memohon dikabulkan seluruh amal selama Ramadhan. Semoga, Aamiin…
Wallahu a’lam.
*Alumni Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta 2003