Perilaku Galileo, Dokter TAP dan Per-Sate-An Indonesia dalam Sebuah Perenungan
Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
Becik ketitik ala ketara,
dur angkara budi canpolo,
lebur dening pangastuti.
(Pepatah Jawa)
Maksud ungkapan di atas, jika diterjemahkan kira-kira : bahwa suatu kebaikan akan tampak baik, demikian pula keburukan juga akan tampak buruk. Sedangkan suatu perbuatan maupun perilaku angkara murka dan kejahatan, akan mengalami kekalahan maupun kehancuran karena manusia “mencampakkan” budi.
Tulisan ini berangkat dari keprihatinan dan kesedihan kami berdua penulis, hanyalah dua orang rakyat kecil yang kebetulan berprofesi dokter. Asisten Rumah Tangga (ART) penulis pertama, seorang berpendidikan SD, namun pernah menjadi TKW di Singapura, Malaysia dan Hongkong. Orangnya jujur dan patuh menjalankan petunjuk agama. Dia dengan wajah sedih bercampur cemas mengeluh setelah menyaksikan di layar TV Deklarasi Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI) karena menyaksikan wajah para dokter itu tampak seperti wajah orang yang sedang sakit hati. Selanjutnya dia mempertanyakan tentang tugas utama para dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyat. Dengan penuh empati saya mencoba memberikan tanggapan : “Mbak, barangkali mereka lupa petuah para leluhur, bahwa ‘hati boleh panas, tetapi kepala tetap dingin’. Yang terjadi tadi yang Mbak barusan saksikan adalah, ‘hati boleh panas, kepala lebih panas lagi’. Itulah bedanya para dokter dengan para Nabi”.
Terus terang kepada para Sejarawan Indonesia, kami berdua penulis, merasa malu atas terjadinya “tawuran” antar para dokter. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, para dokter telah berperilaku seperti “gladiator”, mundur ke zaman Romawi kuno, to kill or to be kill, membunuh atau dibunuh meskipun tangannya tidak berlumuran darah (character assassination). Terjadi perang (war) antar geng, organisasi profesi dokter berubah menjadi medan pertempuran (battle). Bisa jadi para pegawai PN “Pegadaian” yang punya motto “Menyelesaikan masalah tanpa masalah” menertawakan perilaku para dokter, dan berucap sambil guyon : “Pak Dokter dan Bu Dokter yang terhormat, jika punya permasalahan mbok datang saja ke Pegadaian, siapa tahu kami dapat membantu panjenengan sedaya, menyelesaikan permasalahan Bapak dan Ibu tanpa masalah”.
Siapapun nantinya yang menang ataupun dimenangkan, hanyalah mendapat kemenangan “semu”, yang rasanya tidak layak dirayakan, seperti kata pepatah : “Menang jadi arang. Kalah jadi abu”. Organisasi profesi mestinya menjadi tempat berkecimpungnya “the right man on the right place”, berubah menjadi sekedar “the wrong man on the wrong place”. Barangkali yang dikejar hanya sehat jasmani , tetapi melupakan kesehatan nafsani, kesehatan ruhani dan kesehatan mujtama’i. Hanya menggunakan otak normal daripada otak sehat. Para dokter menjadi “kanibal” , melupakan Sumpah Hippocrates, Sumpah Dokter Indonesia, memperlakukan teman sejawat menjadi musuh yang harus dikalahkan dengan segala cara. Lebih takut loosing face di hadapan sesama manusia, tetapi tidak takut kehilangan muka di hadapan Tuhan. Harga diri memang penting, tetapi bukan segalanya. Ada lagi yang jauh lebih penting, yaitu kemaslahatan hidup bersama dalam rumah besar Republik Indonesia.
Manusia berasal dari kata manu (bahasa Sanskerta) dan mens (bahasa Latin) yang berarti ‘makhluk berakal budi’. Tanpa budi, maka akalnya akan dipakainya untuk “ngakali” dan main “akal-akalan” serta “okol-okolan”. Dengan akal budi, perilaku manusia akan menjadi manusia yang perilakunya manusiawi. Tanpa menggunakan budi, perilaku manusia akan menjadi manusia yang berperilaku hewani. Manusia berubah menjadi “serigala”, homo homini lupus, manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya. Mulutnya bekoar Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”, perilakunya menunjukkan ‘sila pertama’ “Keuangan yang maha kuasa” alias PKI (Pokoke Kantong Isi), menjadi manusia hipokrit ! Selanjutnya, ‘sila kelima’ Keadilan Sosial bagi diri sendiri, keluarga dan para kroni.
Bung Karno (BK), Sang Proklamator, berpesan kepada segenap bangsa indonesia yang beliau cintai,” agar Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” (Jasmerah). Salah seorang pejuang Perintis Kemerdekaan Dokter Soetomo, yang juga aktivis Muhammadiyah, menyadari betul pentingnya ‘budi’ dalam kehidupan manusia dan kemanusiaan. Maka, tidak mengherankan bila organisasi yang beliau dirikan (1908), diberi nama “Boedi Oetomo”. Dengan mengutamakan ‘budi’ dan manusia menggunakan ‘budi’ anugerah Tuhan Sang Pencipta, manusia akan menjadi manusia yang utama ! Tentu, dengan diabadikannya menjadi nama RSUD dr. Soetomo, Surabaya, diharapkan para dokter maupun dokter spesialis lulusan FK-Unair/ RSUD dr. Soetomo, berperilaku utama karena berbudi utama. Dalam hidup berbangsa dan bernegara Indonesia, ikut dan berperan serta dalam Memajukan Kesejehteraan Umum, sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Bahwasanya kesejahtaran umum sulit diwujudkan tanpa kesehatan, tidak ada kesejahteraan tanpa kesehatan. Demikian pula sebaliknya, tidak ada kesehatan tanpa kesejahteraan.
Salah seorang pejuang Kemerdekaan, Sri Sultan Hamengkoe Boewana ke IX (HB IX) menyadari betul pentingnya dalam Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Jaman dahulu (Jadul), Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mempunyai sekitar 40-an pabrik gula, karena tanah DIY cocok untuk ditanami tebu. Dengan kata lain, roda perekonomian DIY digerakkan dan berputar terutama dari produksi gula. Oleh karena itu, ketika tentara Belanda menyerbu Yogya, sebenarnya ada dua alasan yang menjadi pertimbangan Belanda, selain pertimbangan politik karena Yogya ibukota RI, juga karena pertimbangan ekonomi, dengan dikuasainya pabrik gula yang ada di DIY, maka hasil produksi gula dapat dipakai Belanda untuk biaya perang. Hal ini dibaca oleh HB IX karena beliau sangat cerdas, lalu beliau melakukan “dawuh dalem” bakar dan bumi hangus semua pabrik gula agar tidak dikuasai oleh Belanda. Jadilah “Pabrik Gula Lautan Api”. Akibatnya, Belanda “gigit jari” karena menderita kekurangan Vitaman D (Duwit), gitu loh.
Selanjutnya, ketika RI menerima pampasan perang, HB IX meminta kepada BK agar uang itu dikembalikan ke Yogya untuk membangun kembali pabrik-pabrik gula, guna menghidupi rakyat Yogya. Permintaan HB IX ditolak oleh BK dengan alasan RI bukan cuma DIY. Maka, dibangunlah pabrik-pabrik gula, seperti di Aceh, Lampung dan seterusnya, dan hasilnya gagal, karena BK melupakan SDM (Sumber Daya Manusia, bukan Selamatkan Diri Masing-Masing) di daerah-daerah itu yang tidak siap. Yogya hanya diberi jatah satu pabrik gula “Madukismo” yang masih hidup hingga sampai sekarang. Bahkan HB IX pernah minta kepada BK, agar wilayah DIY tidak hanya wilayah DIY yang sekarang ini, agar wilayahnya ditambah dengan wilayah Dulangmas (Kedu, Magelang dan Banyumas). Adapun maksud dan tujuan HB IX adalah Provinsi DIY ibu kota politiknya (pusat pemerintahan DIY) di Yogya, sedangkan ibu kota ekonominya Cilacap, Banyumas waktu itu. Karena pertimbangan beliau, ekonomi DIY akan sulit berkembang tanpa ada pelabuhan laut. Apa daya, permintaan beliau kepada BK juga ditolak.
Akhirnya, beliau berpikir mencari jalan keluar agar rakyatnya dapat (maaf) mencari makan sekaligus ikut Mencerdaskan Kehidupan Bangsa. Atas prakarsa beliau, maka didirikanlah suatu universitas perjuangan bangsa Indonesia, yaitu Universitas Gadjah Mada (UGM). Dengan kedatangan para mahasiswa seluruh Indonesia ke Yogya, mereka khan butuh makan, minum dan pondokan. Dengan demikan rakyat Yogya dapat rezeki dari jualan makanan dan minuman serta menyediakan pondokan bagi para mahasiswa. Karena UGM belum punya tempat untuk kuliah para mahasiswa, maka beliau membuka pintu Kraton (Tahta Untuk Rakyat), sebagai tempat perkuliahan. Para mahasiwa pun menjadi “bangga” karena “naik pangkat” dadakan menjadi bangsawan alias bangsane teka awan (harap mahfum, mahasiswa bangun kesiangan karena semalam begadang nggarap PR). Bahkan, kampus UGM pun sekarang dibangun di atas tanah milik Kraton. Dulu, para mahasiswa yang berasal dari kaum “elit” (ekonomi sulit), banyak yang kuliah di UGM, maka UGM sering di-pleset-kan menjadi Universitas Golek Murah. Now, pleseten itu kini telah berubah menjadi Universitas Gede Mbayare ! Kadang, UGM di-pleset-kan menjadi Usaha Gedung Manten. Begitulah mahasiswa, buku, pesta dan cinta. Kalau bisa sih, jadi mahasiswa “romantis”, rokok makan minum gratis. Ingat lho, sebatang rokok memperpendek umur 12 menit. Jadi “ahli hisab” rokok, berisiko di”ekspor” ke liang kubur lebih awal, karena itu merupakan tindakan bunuh diri pelan-pelan (slow suicide).
Beliau HB IX, “melarang” dibangunnya asrama-asrama yang bersifat eksklusif kedaerahan, tempat asal mula para mahasiswa. Alasan beliau, agar para mahasiswa berbaur dengan rakyat Yogya. Dampak pembauran itu, diharapkan terjadi transfer of knowledge dan transfer of values dari para mahasiwa kepada rakyat Yogya. Hasilnya, tingkat harapan hidup rakyat Yogya menjadi tinggi karena rakyat paham arti dan gaya hidup sehat. Rakyat Yogya menjadi kalem, adem ayem, tidak mudah terprovokasi oleh berita amburadul, karena rakyat menjadi pinter-pinter hasil gaul-menggaul dengan para mahasiswa. Demikian pula sebaliknya, para mahasiswa yang sangar-sangar kemana-mana selalu bawa pisau, berubah menjadi “jinak”, bahkan bisa berbicara bahasa Jawa “kromo inggil” kepada mertua, antara lain hasil dari produk sang anak “gedang kapok,gedang ijo, cah mondok dipek bojo”. Maka, Yogya baru “mengaum” apabila kata penyanyi Syahrini, jika : “sesuatu” itu “wis kebangeten”. Singkat kata, terlalu. Oleh karena itu, Pak Harto, yang berasal dari Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Bantul, DIY, beliau “tanggap ing sasmito”, maka beliau lalu mengundurkan diri sebagai Presiden RI, sehari setelah para Mahasiswa, Dosen dan Guru Besar UGM melakukan “Pisowanan Agung”, 20 Mei 1998, ke Kraton Yogyakarta, menghadap HB X.
Dulu, HB IX, tentu berharap besar agar para dokter maupun dokter spesialis lulusan FK-UGM, mewarisi cita-cita luhur Mahapatih Gadjah Mada, menjaga persatuan dan mendedikasikan ilmu pengetahuan yang diperolehnya untuk rakyat Nusantara, antara lain melalui pelayanan kesehatan , dalam rangka ikut dan berperan serta dalam Memajukan Kesejahteraan Umum dan ikut Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, tidak membodohi kehidupan bangsa serta tidak memanfaatkan ketidaktahuan orang lain untuk kepentingan pribadi.
Abad XXI dikenal sebagai The Century of The Brain, Abad Otak. “It is the brain that makes man a man”, (Livingstone, 1967, dalam Aswin, 1995), otaklah yang membuat manusia menjadi manusia. Otak adalah organ paling penting manusia. Otak dibentuk oleh 172 milyar neuron (sel saraf) dan nonneuron. Dengan berat 1,5 kg. otak mampu mengontrol fungsi organ lainnya secara keseluruhan. Karena itu, otak dapat mengatur segala aktivitas hidup manusia (Machfoed,2016). Meskipun berat otak kira-kira 2 persen dari berat badan, tapi sekitar 18 persen dari volume darah seluruhnya beredar dalam sirkulasi darah otak. Otak juga menggunakan sekitar 20 persen dari oksigen yang dihirup melalui paru-paru. Otak sangat memerlukan oksigen dan glukosa, di mana kebutuhan ini dipenuhi bila aliran darah ke otak normal (Bahrudin, 2016).
Menurut Aswin (1995), karakteristik otak manusia yang jelas terlihat ialah otaknya lebih besar dibandingkan dengan otak kebanyakan binatang lain. Orang dapat berkata karena tubuh manusia lebih besar. Demikian pula halnya dengan gajah, otaknya tiga kali lebih besar. Tidak puas dengan hasil-hasil perbandingan atau proporsi besar otak terhadap besar tubuh, maka Jerison (1973, dalam Aswin 1995), mengembangkan istilah Encephalization Quotient (EQ). EQ adalah ratio antara besar otak sebenarnya dengan besar otak yang diharapkan. Besar otak yang diharapkan adalah rerata untuk mammalia dengan memperhitungkan berat badan. Jadi, rerata atau tipikal mammalia (yang kebetulan adalah kucing) mempunyai EQ 1. Binatang yang EQ-nya menyimpang dari 1 mempunyai otak lebih besar atau lebih kecil daripada yang diharapkan untuk mammalia dengan berat badan tersebut. Ternyata tikus mempunyai EQ 0,4, sedangkan EQ manusia adalah 6,3. Ini berarti bahwa otak tikus hanya 0,4 kali besar yang diharapkan untuk mammalia tipikal dengan berat badan tersebut, dan otak manusia 6,3 kali lebih besar daripada yang diharapkan pada mammalia tipikal dengan berat badan tersebut. Dengan demikian, kita dapat membandingkan chimpanze (EQ 2,48) dengan otak manusia (EQ 6.30), ternyata otak chimpanze hanya sepertiga otak manusia. Jadi, otak manusia besarnya tiga kali otek munyuk ! Padahal, chimpanze perilakunya yang paling mirip dengan perilaku manusia, beda manusia dengan chimpaze cuma beti, alias beda tipis. Dalam ilmu “permunyukan”, yang paling pandai adalah chimpanze, nomor dua gorila, sedangkan yang paling bodoh adalah kera ekor panjang. Jika seekor kera ekor panjang dihadapkan ke cermin, maka bayangan dirinya yang ada di dalam cermin, dikiranya temannya sesama kera ekor panjang.
Maka, tanpa menggunakan budi (cortex prefrontal, otak yang berada di balik jidat, otak yang hanya dianugerahkan Tuhan kepada manusia), maka derajat manusia akan turun menjadi munyuk, sebagaimana nasib umat Nabi Musa (Ath-Thahir, 2017). Oleh sebab itu, “berhati-hatilah dengan pikiranmu sebab akan menjadi kata-kata. Berhati-hatilah dengan kata-katamu, sebab akan menjadi perbuatan. Berhati-hatilah dengan perbuatanmu, sebab akan menjadi kebiasaan. Berhati-hatilah dengan kebiasaanmu, sebab akan menjadi watak. Berhati-hatilah dengan watakmu, sebab akan menentukan nasibmu” !
Adapun fungsi cortex prefrontal menurut Pasiak (2012), adalah : 1) Pengendali nilai, yang menggunakannya perilakunya akan bernilai di mata Tuhan maupun manusia lainnya; 2) Perencanaan masa depan, tidak hanya membuat perencanaan here and now, di sini dan sekarang, tetapi manjadi manusia visioner, membuat perencanaan untuk kelak di Hari Akhir (The Day After); dan 3) Pengambilan keputusan, keputusannya akan bernilai apabila : a) Baik, sesuai dengan petunjuk Tuhan dalam Kitab Suci; b) Benar, sesuai dengan ilmu pengetahuan; dan c) Adil, sesuai dengan proporsinya. Oleh karena itu, manusia yang tidak berbudi diancam Tuhan, kelak di akhirat akan diseret ke neraka pada jidatnya. Kata iman diterjemahkan percaya,antara lain percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kata percaya berasal dari kata cahaya. Maka, orang yang beriman mukanya bercahaya, memancarkan perdamaian meskipun jidatnya tidak hitam.
Memang, kesehatan itu bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak bermakna, “Health is not everything without it everything is nothing” (Arthur Schopenhauer, 1788 – 1860). Menurut Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik (jasmani), mental (nafsani), spiritual (ruhani), maupun sosial (mujtama’i) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Belum ada definisi kongkret tentang otak sehat. Karena itu dengan mengacu Undang-Undang Kesehatan di atas, maka secara sederhana otak sehat dapat diartikan sebagai otak yang keberadaannya juga sehat secara fisik,mental, spiritual dan sosial (Machfoed, 2016).
Otak sehat (healthy brain) amat penting bagi kehidupan seorang manusia, lebih-lebih untuk seorang pemimpin yang berotak sehat ibarat matahari yang menyinari semesta alam. Sinarnya membuat alam hidup bergairah. Otak sehat berbeda dengan otak normal (normal brain). Disebut normal, apabila otak memiliki struktur anatomi dan fungsi seperti apa adanya (anatomical and physiological normally). Otak sehat bukan sekedar otak normal. Otak sehat tidak saja karena ia dapat berfungsi secara baik, tetapi juga memiliki nilai-nilai (values) tertentu terhadap setiap fungsi yang dimilikinya. Bahwa otak bukan semata-mata daging biasa seperti dipahami selama ini oleh masyarakat, tetapi memiliki nilai-nilai (values) membangun peradaban hingga bisa bertahan. Bahkan, kepemimpinan yang tepat, harus bisa mendayagunakan kemampuan otaknya secara optimal, sehingga ia melampui batas kenormalannya menuju kesehatan otak (Machfoed, 2016).
Kisah Galileo
Menurut Tasman Mahmud Syukri (2005), dalam bukunya “GALILEO Menyingkap Kebenaran”, Galileo yang bernama lengkap Galileo Galilei dilahirkan pada 5 Februari 1564 di Pisa, sebuah kota yang termasuk ke dalam wilayah Fiorentina, Italia. Dia adalah putera tertua dari pasangan Vincenzio Galilei dengan Giulia Ammanatti. Ayahnya berprofesi pemusik dan guru les musik yang menjadi “anggota” BP7, Bapak Pergi Pagi Pulang Petang Penghasilan (tetap saja) Pas-Pasan. Dan mereka tinggal di rumah kontrakan sederhana di kota Pisa, tempat Galileo lahir dan dibesarkan.
Awalnya Galileo menjadi mahasiswa kedokteran di Universitas Pisa, tetapi kemudian dia beralih ke jurusan fisika dan matematika – masih di universitas yang sama – karena ilmu kedokteran baginya tidak menarik. Meskipun demikian, dia sempat belajar ilmu kedokteran selama dua tahun. Ayahnya, tidak setuju Galileo muda beralih mempelajari fisika dan matematika. Alasannya, kedua ilmu itu tidak menjanjikan perbaikan ekonomi mereka yang sedang sulit. Akan tetapi, Galileo bersikeras ingin mempelajari kedua ilmu itu. Bahkan dia berkeyakinan bahwa kedua ilmu itu adalah ilmu sejati yang bisa mengungkap rahasia alam semesta dengan apa yang dinamakannya “kitab yang selalu terbuka untuk dibaca”. Menurut Dava Sobel, puteri Galileo, yang mengutip pendapat sang ayah, “Kitab itu tidak dapat dipahami, kecuali oleh seseorang yang mempelajari bahasanya dan belajar membaca abjad-abjab penyusunnya. Kitab itu ditulis dalam bahasa matematika dengan abjad-abjad berupa segitiga, lingkaran, dan bentuk-bentuk geometris lainnya. Tanpa semua itu, mustahil manusia mampu memahami sepatah kata pun di dalamnya. Tanpa semua itu, seseorang hanya berkeliaran tanpa arah dalam labirin hitam kelam”. Di kemudian hari keyakinan Galileo terbukti benar. Matematika dan fisika merupakan ilmu kunci penyingkap “kitab agung” alam semesta. Bahkan, Galileo menemukan berbagai alat dan teori-teori baru setelah dia berhasil menguasai hitungan-hitungan matematika dan rumus-rumus fisika secara ilmiah, yang akhirnya mempengaruhi sains modern di Eropa dan seluruh dunia.
Bahwa kejeniusan Galileo mengungguli kejeniusan ilmuwan matematika dan fisika di Eropa sebelumnya, terutama sekali di bidang astronomi, misalnya : Aristoteles (seorang Filsuf asal Samos, Yunani, yang hidup abad ke-4 SM, yang merupakan guru sekaligus penasehat penting Raja Alexander Agung dari Macedonia), Ptolemeus (seorang ahli astronomi, sejarah dan geografi. Tentang astronomi dan struktur alam semesta dia berpendapat : “Bumi statis (diam) layaknya paku di daun pintu, dan planet-planetlah yang berotasi mengelilinginya”), dan Copernicus. Nama terakhir ini banyak mempengaruhi pandangan Galileo mengenai teori sistem Heliosentris (matahari sebagai pusat alam semesta), tetapi Galileo unggul dalam pengajuan bukti-bukti yang dapat diterima akal sehat yang Copernicus sendiri tidak mampu melakukannya. Sebab itulah Galileo begitu disegani dan sangat diperhitungkan oleh ilmuwan-ilmuwan di zamannya.
Galileo yang sepanjang hidupnya berdomisili di Italia, yang notabene pusat agama Katolik sedunia – dengan kecerdasan dan kapasitasnya sebagai matematikawan dan fisikawan – mengungkapkan pendapat atau penemuan dari hasil pengamatan, penelitian, dan eksperimen ilmiah yang sangat kukuh. Sehingga, melahirkan teori ilmu pasti yang sulit atau tidak terbantahkan oleh otoritas gereja waktu itu. Sekalipun penemuan dan pendapatnya itu bertentangan dengan Al-Kitab yang menjadi rujukan tertinggi lembaga tersebut. Karena kecerdasan itu pula, beberapa matematikawan yang sudah mapan atau senior terkesan dan menawarkannya untuk mengajar di Universitas Pisa – tempat dahulu dia pernah belajar – pada tahun 1589.
Di universitasnya Galileo tetap dengan karakter khasnya, tidak bersedia mengakui suatu teori sebelum membuktikannya sendiri kebenarannya. Sebagian besar rekan-rekan bertaklid buta kepada teori-teori Aristoteles dan menganggap teori Aristoteles itu semuanya benar dan tak layak dipertanyakan. Namun Galileo tidak mau mengikuti mereka, dia justru menjadi pengkritik pendapat Aristoteles yang paling gigih.
Penentangan Galileo terhadap pandangan Aristoteles telah melahirkan penentangan baru yang sangat berbahaya, yaitu penentangan terhadap argumen Al-Kitab mengenai struktur alam semesta karena Al-Kitab dipandang sebagai buku paling suci yang tidak boleh dibantah oleh siapa pun.
Akhirnya, kontroversi antara pandangan Galileo dan pandangan umum, membuat dirinya menjaring banyak musuh. Baik itu dari kalangan ilmuwan penganut Aristotelian mayoritas maupun kalangan gereja Katolik. Pada periode itu, hidup dan karier Galileo sebagai manusia dan ilmuwan sangat terancam. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan dia akan diseret ke mahkamah suci gereja, lalu divonis mati oleh Dinas Suci Inkuisisi (sebuah lembaga khusus yang menangani kasus-kasus penyelewengan atau pembangkangan terhadap doktrin gereja yang sifatnya absolut. Namun, acapkali fungsi lembaga ini disalahgunakan oleh petinggi-petinggi gereja demi memenuhi ambisi pribadi lalu diklaim demi kepentingan agama) karena dianggap menentang doktrin Al-Kitab.
Namun, Galileo cukup tabah menghadapi serangan dari musuh-musuhnya. Celaan dan caci-maki yang ditujukan kepadanya tidak membuatnya berhenti bereksperimen. Justru, karena banyaknya celaan itu, Galileo makin keras mencari bukti-bukti baru mendukung teori dan pendapat yang dianutnya. Sebagai ilmuwan yang jujur, dia harus mengatakan sesuatu sesuai dengan fakta, walaupun konsekuensinya harus berhadapan dengan ancaman hukuman mati. Oleh karena itu, Galileo tetap dengan pendiriannya bahwa teori Heliosentris lebih benar dalam keyakinannya, bahwa mataharilah pusat peredaran planet-planet, bukan bumi. Matahari diam, sedangkan planet-planet, termasuk bumi, bergerak mengitari matahari. Kemudian bumi juga bergerak pada porosnya, sehingga terjadi pergantian siang dan malam. Setelah Galileo berhadapan dengan tekanan lembaga Dinas Suci Inkuisisi secara langsung, dengan berat hati dan jeritan kepiluan menanggung malu, barulah Galileo mau mencabut atau mengubah keyakinannya itu.
Ketika Galileo sedang di Roma tahun 1616, gereja – atas permintaan Paus Paulus V – menyimpulkan tentang teori tentang jagat raya Copernicus dalam dua hal pokok : 1) Matahari sebagai pusat semesta. Konsekuensinya, matahari tidak bergerak dari tempatnya; 2) Bumi bukanlah pusat semesta. Tidak diam, tetapi bergerak sebagai kesatuan dan memilki gerakan harian. Dari hasil penyimpulan tersebut, gereja mengumumkan secara resmi bahwa teori Copernicus (Heliosentris) adalah salah dan bertentangan dengan Kitab Suci. Akibatnya, semua buku Copernicus yang membahas tentang struktur alam semesta dinyatakan dilarang beredar, termasuk buku-buku lainnya yang sejenis. Namun, beruntung bagi Galileo bukunya Sunspot Letters luput dari pelarangan itu, walaupun di dalam bukunya dia terang-terangan membela dan mempertahankan teori Copernicus. Akan tetapi, Galileo tetap dipanggil oleh petugas Dinas Suci Inkuisisi dan dihadapkan pada Kardinal Bellarmino yang berbicara atas nama Sri Paus. Kemudian sang kardinal memperingatkan Galileo agar berhenti membela teori Heliosentris Copernicus. Peringatan yang menghancurkan kebenaran dan usahanya itu tetap dipatuhi oleh Galileo untuk sementara waktu, yang penting dia bebas dari tekanan pribadi atau dari kondisi fisik yang menyakitkan. Selanjutnya, Galileo berusaha keras menggunakan kecerdikannya dalam mempraktekkan trik-trik cerdasnya, guna memuluskan perkembangan teori Heliosentris yang diyakini kebenarannya.
Adapun akhir hidup Galileo adalah, dengan bebasnya dari cekalan gereja pada tahun 1616, memberikan peluang baginya untuk menyelesaikan bukunya yang telah dipersiapkan selama beberapa tahun, sebuah buku berharga yang membahas tentang struktur alam raya dengan judul Dialogue. Di dalamnya Galileo menumpahkan seluruh potensi dan pengetahuannya tentang astronomi secara sistematis melalui percakapan tiga lelaki yang berbeda paham tentang struktur alam raya. Masing-masing mereka mewakili ketiga karakter astronom paling berpengaruh yang menjadi rujukan ilmuwan di seluruh Eropa, yaitu Aristoteles, Ptolemeus, dan Copernicus. Akan tetapi, hasil dari percakapan atau diskusi tersebut menghasilkan satu keputusan bulat – yang tentu saja hasil pemikiran Galileo sendiri – yang mendukung teori sistem Heliosentrisnya Copernicus.
Setelah buku itu terbit, tanpa di duga langsung mengalami sukses besar di Fiorentina, tempat buku tersebut dicetak. Untuk memuaskan keingintahuan ilmuwan lain di luar Fiorentina, terpaksa Galileo mengirimkan langsung salinannya, terutama teman-teman sesama ilmuwan di berbagai kota, seperti Bologna dan Roma. Namun, kota yang terakhir agak terlambat pengirimannya karena terhalang karantina perbatasan kota (Saat itu di Italia tengah mewabah penyakit menular yang ganas. Sehingga, setiap orang dan barang yang masuk Roma harus diperiksa secara saksama di pos-pos karantina). Ahli matematika Sri Paus Urbanus VIII, Bennedeto Castelli – setelah membaca Dialogue – tanpa sungkan-sungkan memberikan ucapan kagumnya pada Galileo.
Akan tetapi Sri Paus tidak senang dengan isi buku itu. Sebab, begitu jelasnya Galileo membela teori Copernicus yang telah diharamkan gereja sebelumnya. Tanpa pikir panjang, Sri Paus membentuk sebuah komisi untuk meneliti ulang naskah Dialogue. Akhirnya, komisi yang ditunjuk Sri Paus itu mengatakan bahwa Galileo telah melampaui perintah dengan memaksakan bumi bergerak dan matahari yang diam sehingga menyimpang dari hipotesis. Selanjutnya Sri Paus memerintahkan para Inkuisitor untuk melarang peredaran Dialogue dan menuntut pengarangnya segera datang menghadap Dinas Suci Inkuisisi untuk diperiksa, kejadian itu terjadi pada tahun 1633.
Saat itu Galileo sudah cukup tua dan sering sakit-sakitan. Karena panggilan itu bersifat wajib, mau tidak mau Galileo harus datang ke Roma untuk memenuhinya. Giovanni Ronconni, dokter pribadi Galileo, mencoba menunda kepergian Galileo ke Roma dengan bersumpah pada Dinas Suci Inkuisisi bahwa : “Urat nadi Galileo sebentar-sebentar berdegup mengindikasikan kelemahan umum ketuaan, vertigo yang sering kali muncul, kecemasan jiwa, kelemahan perut, berbagai rasa sakit di seluruh tubuh, dan hernia kronis dengan pecahnya selaput perut. Perjalanan itu akan membuat hidupnya dalam bahaya”. Akan tetapi, pihak Inkuisitor tidak percaya dan menolak laporan itu. Galileo pun harus datang ke Roma atas kehendaknya sendiri. Jika tidak datang, dia akan ditahan dan diseret dengan belenggu besi.
Akhirnya Galileo pergi juga ke Roma dengan perasaan takut dan cemas. Setelah dua bulan menunggu di Roma, baru di sidang oleh Mahkamah Suci Dinas Inkuisisi. Setelah dihujani dengan berbagai pertanyaan, Galileo ditekan untuk mengakui sebagai orang yang bersalah. Untuk sementara, dia ditahan dalam sebuah kamar khusus Dinas Inkuisisi sebagai tempat pengganti penjara. Karena tidak tahan ditekan dan dipaksa oleh para Inkuisitor, akhirnya Galileo menyerah dan berlutut seraya mengakui kesalahan dan dosa yang tidak pernah dibuatnya. Inilah sebuah drama pemeriksaan oleh agama kepada seorang pembela kebenaran ilmiah setelah kebenaran tersebut berhasil dibuktikan dengan analisis dan eksperimen yang cermat. Para pemaksa itu seolah buta dengan bukti-bukti yang meyakinkan itu. Dalam keadaan tertekan Galileo mengaku : “ Kesalahan saya adalah akibat keangkuhan, ambisi, kebodohan dan kesembronoan”. Di hadapan publik Galileo divonis –lebih tepatnya difitnah – sebagai penjahat paling keji. Galileo dihukum secara resmi dengan hukuman penjara dalam Dinas Suci sesuka mereka. Juga bukunya Dialogue – seperti yang dinyatakan dalam putusan itu – dilarang yang berlanjut hingga lebih dua ratus tahun kemudian. Untunglah pelarangannya hanya berlaku di Italia sehingga dapat diterbitkan di luar Italia dan beredar secara luas dalam bentuk terjemahan.
Maka, ditahanlah Galileo, meskipun sebagai tahanan rumah dan di rumahnya sendiri karena alasan penyakitnya yang sering kambuh. Dia tidak diperkenankan menerima tamu dan berbicara mengenai pemikirannya tentang struktur alam semesta yang paling disenanginya. Sebagai ilmuwan yang tegar, dia masih bisa bertahan dari keputusasaan. Secara diam-diam, dia berhasil menyelesaikan sebuah buku lagi berjudul Two New Sciences yang kemudian diterbitkan di Belanda secara diam-diam pula.
Karena komplikasi berbagai macam penyakit, fisiknya semakin lemah. Dua bulan menjelang kematiannya, dia berbaring di tempat tidur karena menderita gagal ginjal yang cukup parah, namun dia masih memaksakan diri untuk mendiktekan ide-idenya kepada Torricelli (seorang intelektual muda pengagum Galileo yang baru sebulan mendampinginya), mengenai matematika. Begitulah kemampuan dan semangat Galileo dalam menegakkan kebenaran ilmiah yang dianut dan diyakininya.
Sore, 8 Januari 1642, Galileo meninggal dengan disaksikan oleh Torricelli, seorang puteranya, serta seorang pendamping lainnya. Berita kematian cepat menyebar ke seantero negeri, para pengagum dan pencintanya berharap jazadnya dikuburkan di tempat mulia dan diadakan prosesi yang layak. Menurut mereka Galileo adalah “Cahaya termegah di zaman itu”. Namun Paus Urbanus VIII menolak serta mengancam bahwa acara apa pun terhadap jenazah Galileo dipandangnya sebagai pembangkangan terhadap kekuasaan Kepausan. Akhirnya Galileo hanya dimakamkan di sebuah ruangan tertutup di bawah bel menara. Meskipun Galileo telah meninggal dan di akhir hayatnya sangat menderita oleh fitnah dan kucilan orang-orang yang fanatik buta, karya dan jasanya di bidang sains, matematika, dan fisika masih tetap hidup dan dikenang sepanjang zaman.
Galileo bukanlah reformis agama atau reformis sosial di masyarakat. Dia tidak pernah bermimpi untuk mengubah ayat dalam Kitab Suci. Namun, dia seorang reformis ilmu pengetahuan dan sains, yang di tengah masyarakatnya, ilmu pengetahuan yang diperbaharuinya itu memiliki kekurangan dan kelemahan. Sekali pun hal itu didukung oleh kemapanan pandangan masyarakat Eropa zaman itu. Kebetulan kemapanan yang diperbaharuinya itu bergandengan erat dengan doktrin agama, sehingga Galileo pun terusik dengan orang-orang yang membenturkan pandangannya yang kontroversial dengan doktrin agama yang juga diyakininya. Kitab Suci tidak mungkin bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Jika seolah-olah Kitab Suci terkesan bertentangan dengan ilmu pengetahuan, maka yang keliru adalah tafsir manusia terhadap isi Kitab Suci.
Kisah Dokter TAP
Dokter Terawan Agus Putranto (selanjutnya kami sebut Dokter TAP) bukanlah Galileo Galilei, akan tetapi sebagai sesama dokter, teman sejawat, saudara kandung menurut sumpah dokter, kami berharap semangat dan keberanian Galileo dalam membuktikan teorinya dapat diteladani. Tak ada satupun ketakutan Galileo dalam membuktikan bahwa semua teori dan ilmu yang dia yakini adalah benar dan sudah sesuai dengan kaidah Evidence Based Medicine.
Dokter TAP lulusan FK – UGM dan lulus sebagai Dokter Spesialis Radiologi dari FK – Unair dan S-3 Doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Membuat “heboh” masyarakat Indonesia dengan “penemuannya” yang berupa IAHF (Intra-arterial Heparin Flushing) yang penuh kontroversi. Sejatinya teknik ini diciptakan pertama kali oleh Jessica H. Lewis (baca selengkapnya di artikel “Menguliti Disertasi Terawan: dari Anjing Hingga Modifikasi DSA”, https://tirto.id/emEv) di Amerika Serikat tahun 1964 tetapi sebatas pengujian pada anjing dan bukan untuk terapi tetapi merupakan uji diagnostik untuk mengetahui adanya potensi sumbatan di pembuluh darah.
Pada perkembangannya, teknik ini telah dimodifikasi oleh dokter TAP menjadi prosedur terapeutik dan secara rutin dilakukan pada pasien-pasien beliau. Hal inilah yang membuat organisasi profesi dokter di Indonesia, IDI, berkewajiban melakukan tinjauan atas “temuan” dokter TAP untuk dikaji secara ilmiah apakah benar ilmiah dan teruji bermanfaat pada pasien. Kajian yang dilakukan IDI menyimpulkan teori dan praktik yang dilakukan dokter TAP tidak memenuhi kaidah ilmiah dan melanggar etika kedokteran. Lalu perselisihan mulai muncul. Biasa ada yang pro dan kontra ketika teknik baru ditemukan, tapi kajian ilmiah tidak bisa dikalahkan dengan testimoni yang tidak ilmiah. Mulailah banyak kajian IAHF dilakukan keilmiahannya dan keamanannya. Tidak tanggung-tanggung Kementerian Kesehatan RI segera membentuk tim khusus untuk mengusut teknik baru ini, nama timnya Satgas IAHF Kementerian Kesehatan. Hasil kajian tim yang melibatkan berbagai disiplin ilmu kedokteran dan kesehatan ini menyimpulkan teknik IAHF yang dilakukan dokter TAP tidak terbukti secara ilmiah dan pelaksanaannya melanggar etika kedokteran. Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono memberikan bukti mengapa metode Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) atau ‘cuci otak’ pada penderita stroke dianggap melanggar etika kedokteran (baca selengkapnya di tweet beliau lewat laman twitter beliau di @drpriono1 ). Terdapat empat kesimpulan terkait praktik IAHF yakni belum ada bukti ilmiah yang sahih tentang keamanan dan kemanfaatan yang dapat menjadi dasar bagi praktik IAHF untuk tujuan terapi. Kemudian, praktik IAHF untuk tujuan terapi tidak selaras dengan etika kedokteran dan berpotensi melanggar berbagai undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Terakhir, standar kompetensi untuk IAHF sebagai tujuan terapi belum ada/belum disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Standar ilmiah seperti ini juga diterapkan di negara-negara lainnya, di USA temuan teknik baru harus disahkan FDA lewat pengujian berlapis oleh para pakar kedokteran dan kesehatan oleh Ikatan Dokter di sana dengan melibatkan universitas-universitas terkemuka di bidang kedokteran dan kesehatan.
Sejatinya IDI telah lama memberi kesempatan pada dokter TAP untuk duduk bersama mengkaji teknik baru ini supaya dapat diverifikasi bahwa teknik temuannya aman dan ilmiah untuk diterapkan, sejak 2015 kabarnya dokter TAP telah diundang beberapa kali oleh IDI, tetapi selalu tidak hadir. Itulah kenapa akhirnya IDI menyerahkan untuk segera menyelesaikan masalah ini ke ranah ilmiah dan etika pada MKEK IDI (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran). Berbagai kajian ilmiah dan diskusi diadakan mengundang para pihak yang terlibat, tapi kabarnya dokter TAP tak pernah hadir memenuhi undangan IDI hingga akhirnya keputusan akhir dijatuhkan di Muktamar IDI Aceh. Hebohlah masyarakat Indonesia, hingga yang tidak punya keahlian kedokteran-pun ikut-ikutan berkomentar, sudah tidak ahli, komentarnya salah pula..inilah negeri kita yang lebih dikuasai para influencer yang tak berilmu dibanding para ilmuwan dan ahli di bidangnya…buah dari era disruptif 4.0 dan sekarang 5.0.
Ada ungkapan dalam bahasa Latin, Errare humanum est. Perseverare diabolicum, Berbuat kesalahan itu suatu hal yang manusiawi. Tapi, mempertahankan kesalahan itu perilaku iblis. Apabila ungkapan itu dilanjutkan maka, sudah tahu bahwa hal itu perbuatan salah, lalu mengajak orang-orang lain untuk ikut berbuat salah, itu adalah perilaku setan. Setan adalah kata benda, bukan kata kerja, maka setan dapat berwujud jin maupun manusia. Informasi dalam Kitab Suci, setan menggoda manusia dari depan, belakang, kanan dan kiri. Dengan cara, memperpanjang angan-angan dan memperindah perbuatan keji.
Bagi yang tidak puas atas keputusan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan para pendukung dokter TAP, maka biarkanlah nanti “Mahkamah Sejarah” yang memberikan penilaian, pada generasi mendatang yang punya jarak emosional dengan Dokter TAP, sehingga lebih mampu bersikap obyektif. Apakah beliau ini seorang diskover (penemu), atau sebaliknya hanya sekedar seorang plagiator (penjiplak). Atau seorang homo deva, manusia setengah dewa. Atau, homo sapiens, manusia pemikir, manusia yang arif bijaksana. Atau, sekedar homo mandex, manusia pembohong. Bukankah masih ada hari esok? Sapa sing salah bakal seleh, “Gitu aja kok repot”, kata Gus Dur, Presiden RI keempat, yang terkenal suka KKN, Kanan Kiri Ngebanyol. Beliau dikenal bukan seorang “pakar”, apa-apa dibikin sukar! Tetapi beliau tersohor sebagai seorang “pakar”, pandai berkelakar! Bingung ?
Bahwa reaksi emosional itu munculnya seperempat detik. Sedangkan nalar munculnya dua detik. Ciri reaksi emosional adalah : reaktif, spontan dan tanpa mikir lebih dulu. Wujudnya, jika berani (karena merasa punya ‘power’) hadapi (fight), sebaliknya jika tidak berani lari (flight). Oleh karena itu, jangan suka menjadi penderita penyakit “asma” alias “asal mangap”, asal buka mulut, teriak : “Bubarkan IDI”. Apakah jika ada anggota TNI, melanggar disiplin lalu dihukum (TNI kadang di-pleset-kan jadi Tansah Nurut Instruksi), atau apabila pelanggarannya sedemikian berat lalu dipecat, apakah berani teriak : “Bubarkan TNI”?. Yang bener dong, tentu saja tidak seperti itu. Bukankah ada pepatah : “Kuman di seberang lautan tampak, sedangkan gajah di pelupuk mata tak tampak” ? . Jangan sampai berperilaku seperti kata pepatah : “Buruk rupa cermin dibelah”.
Kesehatan Spiritual, Persatuan Indonesia atau Per-sate-an Indonesia
Bung Hatta (BH), Sang Proklamator, mewanti-wanti bangsa Indonesia yang beliau cintai, agar menjaga dan memelihara Persatuan indonesia, bukan Per-sate-an Indonesia.
Saat ini keutuhan Indonesia sedang dipertaruhkan. Masyarakat semakin terbelah. prasangka, kebencian, bahkan permusuhan mewarnai karakter baru masyarakat yang terbelah. Kita kehilangan figur pemimpin yang tampil menjadi pemersatu rakyat. Alih-alih mempersatukan rakyatnya yang terbelah, tak sedikit pemimpin malah mempertontonkan libido kekuasaan, tanpa peduli atas pembelahan sosial yang semakin memprihatinkan (Sukidi, 2022).
Bahwa perkembangan kepribadian seseorang adalah proses spiritual (Maslow, 1997). Spiritualitas dari bahasa Yunani, dari kata spiritus yang berarti menyalakan, membuat terang. Dalam kehidupan, spiritualitas mewujudkan dari dalam upaya manusia mencari makna hidup (the meaning of life). Dengan demikian, orang yang sehat spiritual hidupnya akan bermakna, hidupnya akan bernilai di hadapan Tuhan maupun sesama manusia. Contohnya, para Nabi yang dijadikan contoh oleh Tuhan, agar manusia meneladani perilaku para Nabi. Para Nabi adalah contoh kongkret buat umat manusia yang bukan hanya sekedar manusia yang sehat spiritual (spiritual health). Tetapi para Nabi telah mencapai taraf bugar spiritual (moral fitness) ! Oleh karena itu, para Nabi dijadikan Tuhan sebagai “golden standard” menilai perilaku manusia ketika manusia hidup di dunia yang fana ini, agar kelak ketika manusia hidup di akhirat mendapat kedamaian dan kebahagiaan yang abadi !
Budhy Munawar Rachman yang selama 12 tahun menemani Cak Nur dalam kegiatan pemikiran Islam di Yayasan Paramadina, dalam kata pengantar “Jalan Sufi Nurcholish Madjid” (2007) menulis, khusus soal moralitas inilah Cak Nur, Guru Bangsa, sangat prihatin pada keadaan masyarakat Indonesia. Lebih khusus lagi pada umat Islam yang mayoritas bangsa Indonesia.
Ada hukum yang Cak Nur kemukakan – dalam bahasa Latin – “corruptio optimi pessima”, kejahatan oleh orang yang terbaik adalah kejahatan yang terburuk, “corruption by the best is the worst”, maka pelanggaran prinsip keadilan dan keseimbangan – yang merupakan salah satu pikiran etika politik yang selalu ditekankan Cak Nur – oleh kaum Muslim akan mendatangkan malapetaka berlipat ganda. Dan hukum yang sama juga berlaku atas penganut agama lain, apapun agamanya. Sebab setiap agama juga mengajarkan prinsip keadilan dan keseimbangan yang sama.
Hal yang sangat memprihatinkan Cak Nur pada keadaan bangsa Indonesia saat ini adalah negara Indonesia sebagai “soft state”, istilah yang sudah era 80-an dipelajari Cak Nur lewat pikiran Karl Gunnar Myrdal (1898 – 1887). Menurut Cak Nur, Indonesia adalah “negara lunak”, yaitu negara yang pemerintah dan warganya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial politik.
Cak Nur sering mengingatkan adanya penyakit sosial politik bangsa Indonesia yang disebutnya sebagai penyakit “kelembekan” (leniency) dan “sikap serba memudahkan” (easy going). Sebab, lanjutnya, penyakit-penyakit itulah yang menyebabkan Indonesia tidak memiliki kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan dan kejahatan seperti korupsi. Dan jenis korupsi yang paling Cak nur prihatinkan dan telah berjalin-kelindan dalam budaya orang Indonesia adalah korupsi dalam bentuk conflict of interest.
Barangkali upaya yang dilakukan Pak Menkes akan gagal total, memediasi antara Dokter TAP dengan IDI. Antara lain disebabkan dengan telah diterbitkannya SK Pak Menkumham yang memberikan legalitas pendirian PDSI. Dampaknya akan muncul perilaku “nglurug karo bala, menang kudu ngasorake, sugih nganggo banda sak pol-pole” (menyerbu dengan anak buah, menang harus merendahkan lawan, kaya harus sebanyak-banyak hartanya). Diakui atau tidak, disadari atau tidak, politik ala kolonial Belanda telah dipraktekkan, yaitu politik pecah belah (divide et impera) dan politik adu domba. Para dokter menjadi berotak domba, kehilangan akal budi. Hasilnya hati zulmani (gelap) yaitu permusuhan, “deklarasi perang”, tempuh segala cara kalau perlu sembunyikan kebenaran, cari segala cara pembenaran dan tidak pedulikan apa itu kebenaran. Kubur dan tenggelamkan kebenaran ! Dengan kata lain, yang muncul kemudian bukan hati yang nurani, hati yang bercahaya memancarkan perdamaian. Apakah ini keputusan seorang “negarawan yang berpikir dari generasi ke generasi atau sekedar keputusan yang dibuat oleh seorang politisi yang sekedar berpikir dari pemilu ke pemilu?”, sebagaimana yang dikatakan oleh James Freeman Clarke, Teolog dan Penulis AS. Pemilu, Pegel mikirin lu !
Rakyat Indonesia tentu “bangga” dan “senang” menyaksikan “Drama Korea” yang pemainnya asli para dokter Indonesia. Mereka dapat pelajaran bagaimana mengubah “criminal mind” diwujudkan dalam bentuk taktik dan strategi (dengan membuat organisasi profesi baru) “kudeta” merangkak seperti dilakukan Pak Harto dulu waktu menggulingkan Bung Karno. Rakyat menyaksikan para dokter “sikut-sikutan, gontok-gontokkan, jegal-jegalan” yang merupakan perilaku primitif alias tidak beradab. Rakyat pun dengan menyaksikan “tontonan” dan “tuntunan” yang telah dilakukan para dokter Indonesia, dapat sejenak melupakan betapa mahalnya minyak goreng dan kebutuhan pokok lainnya. Selanjutnya, jika di kemudian hari perilaku ini ditiru oleh organisasi-organisasi profesi yang lainnya, hal itu tidak mengejutkan lagi karena sudah diberi contoh! Jadilah demokrasi semau gue, demokrasi formalitas bukan demokrasi esensial. Organisasi profesi berperilaku bak organisasi politik. Padahal manusia politik tanpa etika politik berubah menjadi binatang politik, yang perilakunya lebih buas daripada binatang buas sungguhan. Binatang hanya makan apa. Binatang politik tidak hanya makan siapa saja, juga apa saja, misalnya : “semen, aspal, baja, gedung, sekolah, jembatan, pelabuhan dan seterusnya” pun dimakan ! Bahkan “alat penunjang untuk pemeriksaan kesehatan” pun dimakan. Merujuk pada pandangan ilmuwan politik asal AS, Harold Lasswell, bahwa “Politik itu adalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Leluhur manusia, yakni Adam dan pasangannya, teperdaya melalui pintu makanan !
“Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi. Melu edan nor tahan, yen tan melu angkakoni boya kaduman melik kaliren wekasanipun. nDilallah kersane Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada”. Terjemahannya kira-kira : “Menghadapi zaman edan keadaan serba sulit. Turut serta edan tidak tahan, apabila tidak turut serta melakukan tidak mendapat bagian akhirnya menderita kelaparan. Sudah kehendak Tuhan Allah, betapa pun bahagianya orang yang lupa, lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada” (Syair bait ke-tujuh “serat Kalatidha”, Ronggo Warsito, 1802 – 1873).
Andaikata Dokter Soetomo masih hidup di jaman now, bisa jadi beliau menangis sedih, atine keranta-ranta (hatinya terasa sakit seperti diiris-iris sembilu), menyaksikan para dokter Indonesia generasi penerus beliau, gagal menjaga dan memelihara Persatuan Indonesia, warisan beliau yang demikian berharga, malahan sebaliknya berperilaku Per-sate-an Indonesia ! Ironi ! Hal ini telah terjadi karena melupakan “pesan” beliau, budi utama !
Maka, bersatu kita teguh, bercerai rujuk lagi! Salah satu ciri orang yang bertakwa (tunduk dan patuh pada kehendak Tuhan) adalah, mampu menahan rasa dongkol dan suka memberi maaf. Bahwa Tuhan itu suka memberi maaf kepada manusia, atas segala kesalahan yang manusia telah perbuat, karena manusia itu tidak menyadari bahwa itu adalah suatu perbuatan salah. Oleh karena itu, sukalah memberi maaf kepada sesamu, karena bisa jadi dia (kamu rasakan) menzalimi dirimu karena tidak menyadari bahwa itu perbuatan salah. Dengan harapan, Tuhan senantiasa suka memaafkanmu, atas segala kesalahan yang telah engkau perbuat yang tidak engkau sadari bahwa itu perbuatan salah.
Menurut Robert Enright, dkk (1989), memberi maaf itu bertingkat-tingkat. Tingkat satu, memaafkan apabila sudah dapat membalas (revengeful forgiveness), saya dapat memaafkan jika saya membalas sebesar rasa sakit yang saya alami. Tingkat dua, memaafkan denga restitusi (restitutional/ compensational forgiveness), jika saya dapat memperoleh kembali apa yang sudah diambil dariku saya dapat memaafkan, atau hanya jika aku merasa bersalah karena tidak memaafkan maka aku akan maafkan. Tingkat tiga, pemaafan karena tuntutuan lingkungan (expectational forgiveness), akhirnya saya dapat memaafkan karena yang lain menyuruh saya memaafkan. Tingkat empat, memaafkan karena tuntutuan hukum (lawful expectational forgiveness), saya memaafkan karena agama saya menyuruh saya memaafkan. Tingkat lima, memaafkan untuk harmoni sosial (forgiveness as social harmony), saya memaafkan agar dapat mengembalikan hubungan baik. Tingkat enam, pemaafan sebagai bentuk kasih sayang (forgiveness as love), saya memaafkan karena saya peduli tanpa syarat apa-apa. Ternyata pemaafan tingkat enam yang dapat meningkatkan derajat kesehatan karena tidak menaikkan tekanan darah !
Dalam Kitab Suci Tuhan memberi petunjuk : “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu berusaha mengubah nasibnya”. Jika para dokter Indonesia tidak ada niat dan berusaha untuk bersatu kembali, jangan salahkan Tuhan, jika per-sate-an antar dokter Indonesia akan berkelanjutan dan berkepanjangan tanpa akhir, sampai saatnya yang bertikai menghadap ke haribaan Tuhan Yang Maha Adil. Tuhan tidak pernah salah. Kebenaran sejati hanyalah milik Tuhan. Manusialah yang salah, khilaf dan lupa.
Selamat Hari ‘Idul Fitri 2022 M/ 1443 H. Semoga Allah menjauhkan kita dari perpecahan. Mohon Maaf Lahir dan Batin, mohon maaf bila ada yang tersinggung, kami hanya merenung untuk diri kami sendiri…tabiik.
Akhirnya, “Harimau mati meninggalkan belang. Gajah mati meninggalkan gading. Manusia mati meninggalkan nama” (Pepatah).
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK – UAD