Prof Haedar Nashir: Gerakan Ekonomi dan Pariwisata Halal Memajukan Umat

ekonomi

Prof Haedar Nashir: Gerakan Ekonomi dan Pariwisata Halal Memajukan Umat

YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Jika ada 100 orang kaya, maka 10 orangnya adalah orang muslim, sementara jika ada 100 orang miskin, maka 90 orangnya adalah orang muslim. Titik lemah umat Islam yang mayoritas di Indonesia, bahkan di beberapa negara muslim lainnya adalah bidang ekonomi, bisnis dan wirausaha. Hal ini tentu merembes pada banyak hal seperti politik, budaya, termasuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Padahal dalam aspek teologis, umat Islam merupakan umat terbaik dengan ajaran yang paripurna.

“Saya yakin argument ini bisa didukung oleh data empirik. Kenyataannya bahwa umat Islam yang mayoritas di negeri ini belum bisa berkualitas secara politik budaya iptek dan lain sebagainya, karena faktor utamanya yakni kita masih lemah secara ekonomi, lemah secara bisnis dan kewirausahaan,” tegas Prof Dr Haedar Nashir Msi dalam Seminar Pra-Muktamar Muhammadiyah-‘Aisyiyah ke-48 di Universitas Muhammdiyah Bandung pada Kamis (12/5).

Tidak ingin terus larut dalam belenggu realitas tersebut, mengembangkan entrepreneur merupakan salah satu tantangan bagi umat Islam khususnya muhammaidyah. Baik dalam bisnis ekonomi kreatif maupun dalam pariwisata halal yang kerap digaungkan. Kutipan yang pernah disampaikan oleh Jusuf Kalla di atas tidak untuk melahirkan psimisme, tetapi sebaliknya sebagai dorongan kuat bagi umat untuk lebih fokus pada garapan ekonomi.

Menurut Haedar, membangkitkan ekonomi, bisnis dan kewirausahaan di kalangan kaum muslimin Indonesia merupakan kewajiban serta merupakan bagian dari jihad fi sabilillah.

“Kalau jihad fi sabilillah, maka kita harus mengerahkan segala kemampuan,” lengkap Haedar.

Garapan ekonomi umat sudah saatnya menjadi gerakan bersama demi mencapai kemajuan ekonomi umat. Menurut Haedar kemajuan ekonomi umat hanya akan mendekam menjadi sebuah wacana jika tidak dibarengi dengan gerakan bersama.

Haedar mengharapkan seminar dengan tema “Industri dan Pariwisata Halal: Peluang dan Tantangan” tersebut dapat menghasilkan pandangan-pandangan bersifat praksis yang dapat diterapkan, serta menjadi model pengembangan yang dapat membangkitkan ekonomi, bisnis dan kewirausahaan yang produktif, kreatif dan bersifat praksis untuk diaplikasikan.

Label halal yang banyak disuarakan telah menjadi nilai positif yang membangkitkan ekonomi umat. Kendati demikian, Haedar juga mengantisipasi bahwa label halal tersebut jangan sampai membuat ekonomi umat seolah jalan ditempat karena banyak peraturan serta larangan.

“Kenapa? karena nanti berbagai kegitan ekonomi, bisnis, wirausaha dan bahkan wisata itu nanti semakin detail. Semakin banyak parameter-parameter kehalalannya, membuat produk itu semakin baik, tetapi di satu sisi menjadi hambatan karena banyak larangannya,” jelasnya.

Pada paparannya, Haedar juga mengingatkan masalah fokus umat. Menurutnya umat Islam saat ini lebih memusatkan perhatiannya pada politik identitas, hingga politik perlawanan.

“Tapi kalau sudah menyangkut ekonomi itu rasanya agak sepi,” prihatinnya.

Sumbangsih para tokoh umat menurut Haedar menjadi penting untuk membangun keseimbangan antara perhatian ekonomi dan berbagai hal lain seperti aspek politik.

“Bisa tidak para tokoh umat juga mulai menggeser, atau setidaknya membangun keseimbangan, sebab tidak mungkin kita maju di bidang ekonomi, pendidikan, penguasaan iptek, kalau kita masih disibukkan oleh politik massal, kalau kita disibukkan oleh politik komunalitas,” jelasnya.

“Maka di sinilah bagaimana strategi, pengembangan ekonomi dan pariwisata halal itu, mengarah pada usaha-usaha kreatif, usaha-usaha priduktif dan usaha-usaha praksis yang bisa dikembangkan oleh Muhammadiyah,” pungkas Prof Haedar. (dandi/rpd)

Exit mobile version