MAGELANG, Suara Muhammadiyah – Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMA) menyelenggarakan acara Seminar Pra Muktamar dan ‘Aisyiyah ke-48, Senin (23/5). Seminar kali ini mengangkat tema “Dakwah Muhammadiyah di Tengah Populisme dan Evangelisme”.
Seminar tersebut dikemas menjadi dua sesi, yakni sesi pertama membahas tentang “Trend Populisme dan Evangelisme Keagamaan” dan menghadirkan pembicara dari Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, MA., PhD, Pemimpin Redaksi Republika, Irfan Junaidi, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Pdt Jacklevyn Frits Manuputty, STh, SFil., MA.
Irfan Junaidi menjadi pembicara pertama. Disampaikannya mengenai “Wajah Dakwah di Ranah Media”. Menurutnya, sebagai salah satu instrumen dakwah, informasi, dan jurnalisme merupakan sejoli yang tidak dapat terpisahkan. Irfan juga membentangkan fungsi relevan dari kehadiran pers sebagai menginformasikan kepada khalayak umum.
“Untuk bisa menjalankan fungsi ini, pers sangatlah memerlukan sumber-sumber informasi yang valid. Saat ini, sumber informasi yang berlimpah dan mudah diakses menyisakan beberapa pertanyaan mendasar,” terangnya saat menyampaikan materi dalam seminar.
Irfan juga mengingatkan bahwa dunia telah memasuki era banjir informasi atau tenar dengan tsunami informasi. Selama pandemi pun juga muncul istilah infodemik, yaitu pandemi yang terjadi pada dunia informasi. “Ini yang kemudian membuat keos, karena antara informasi yang benar dan informasi yang salah bercampur-campur. Atau bahkan ada yang sengaja mempercampurkan atau mengelirukan, sehingga buat yang aktif di dunia dakwah ketika mengambil satu rujukan informasi, harus benar-benar dipastikan itu benar,” jelasnya.
“Di tengah era seperti ini, penting sekali kita untuk berpijak pada satu pijakan bahwa setiap informasi dan setiap konten dakwah yang kita sampaikan itu adalah sesuatu yang memang sudah dipastikan benar,” tambahnya.
Tantangan yang harus dihadapi secara kenyataan berupa efek dan banjir informasi yang melahirkan persoalan soal etika yang di masa lalu menjadi pegangan penting. Di era sekarang, orang dengan bebas berbicara untuk mencaci orang, menguliti personalitas orang, tampak seperti biasa dan dianggap lazim. Karena dirasakan ruang informasi terbuka dengan bebas, sehingga batasan-batasan etika dilupakan.
“Untuk itu, para aktivis dakwah harus kembali lagi pada khittahnya untuk berpegang teguh kepada etika, apalagi di tengah populisme, evangelisme keberagaman dan seterusnya. Kalau kita lepas dari etika, yang terjadi bukan dakwah rahmatan lil –‘alamin, tetapi dakwah yang mengajak orang berantem. Padahal rahmatan lil –‘alamin ini adalah salah satu konsep yang sangat cantik. Saya rasa semua orang, agama, dan makhluk akan menerimanya,” pungkasnya.
Irfan memberikan strategi untuk menyelamatkan informasi. Pertama, informasi bukan hanya soal kecepatan, tetapi juga soal akurasi. Kedua, validasi informasi menemukan proses dan infrastrukturnya di lembaga pers. Ketiga, afirmasi dunia dakwah terhadap perkembangan teknologi adalah keharusan. Keempat, perubahan perilaku dakwah sangat diperlukan, tidak bisa lagi searah atau paralel.
Lebih penting lagi, Irfan juga mengharapkan untuk membiasakan diri di tengah percampuran kebenaran dan kebatilan yang sulit untuk dibedakan. Tujuannya pesan-pesan yang disampaikan kepada masyarakat luas berpijak landasan kebenaran (akurasi). Pertama, harus berpikir secara matang sebelum berkomentar. “Ini yang kadang kita hilang, memikirkan dan mempertimbangkan dengan baik, terkadang hilang. Banyak yang main share saja, ngomong dan bicara, tanpa berpikir dampaknya dan maslahat. Pemikiran mendalam ini penting untuk kita laksanakan supaya konten-konten dakwah kita tidak kemudian menjadi salah arah, salah efek, dan salah target,” tukasnya.
Kedua, berbahasa dengan sopan. Berdakwah harus menunjukkan kesopanan yang luar biasa. “Ini krisis terus terang saya sampaikan karena coba kita lihat komen-komen sahabat dan anak-anak kita sudah masuk pada pilihan diksi yang membahayakan, sumbernya tidak sewajarnya untuk disampaikan. Tapi ini bisa ke ruang publik, karena memang akses teknologi memungkinkan itu terjadi. Sehingga mulai dari kita untuk benar-benar pada saat berbicara kita pilih diksi benar-benar mengedepankan kesopanan,” bebernya.
Ketiga, berdikusi dengan atmosfer yang sehat. “Mari kita pada saat menyampaikan konten kita siapkan mental kita untuk menerima kritikan dan diskusi dengan suasana yang sehat,” katanya.
Keempat, hormati waktu dan bandwidth orang lain. “Waktu kita sebagai manusia semakin sangat terbatas. Dan orang untuk berkomunikasi pakai bandwidthjuga ada tarifnya dan limitasinya. Sehingga sampaikan pesan yang efektif langsung pada tujuan untuk menghindari salah penafsiran,” ujarnya.
Kelima, bagilah ilmu dan keahlian pada saat kita berdakwah. “Di sini bukan berbagi ketenaran dan penampilan diri kita (flexing), tetapi berbagi ilmu dan keahlian,” katanya.
Keenam, hormati privasi orang lain, dan Ketujuh, maafkan jika orang lain membuat kesalahan atau ikuti jalur hukum. (Cris)