Tinjauan Bioetika Penjatuhan Hukuman Kebiri bagi Terpidana Kekerasan Seksual

Larangan Menyembunyikan Hukum Allah

Foto Dok Ilustrasi

Tinjauan Bioetika Penjatuhan Hukuman Kebiri bagi Terpidana Kekerasan Seksual

Oleh: Muthiah Az-Zahroh

Kejahatan seksual merupakan hasil interaksi manusia atau kelompok dengan lingkungannya, hasil interaksi tersebut bermula dengan timbulnya dorongan yang kemudian dapat berkembang menjadi niat negatif atau berbuat jahat dalam rangka memenuhi apa yang diinginkannya. Adanya pemahaman pemerkosaan sebagai masalah etika membuat kekerasan seksual kurang penting dibandingkan masalah kriminal lainnya seperti pembunuhan atau penyiksaan.

Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, mengingat berbagai macam dampak yang ditimbulkan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual, seperti efek psikologis yaitu trauma, efek fisik seperti sakit, efek trauma tubuh yang mengakibatkan kerusakan organ dalam, serta efek sosial seperti pengucilan dari lingkungan sekitar. Jenis dampak ini kemudian akan merampas kehidupan masa depan seorang anak. Anak-anak dianggap sebagai generasi penerus bangsa, memegang peranan penting dalam pembangunan negara, mereka memiliki kewajiban untuk dilindungi oleh negara.

Untuk melindungi hak asasi anak dari korban pemerkosaan, pemerintah mengatur adanya hukuman kebiri di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 23/2002”) dan perubahannya serta Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak (“PP 70/2020”).

Dalam peraturan perundang-undangan tersebut artinya negara Indonesia sendiri telah melegalkan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Hukuman berupa kebiri kimia adalah penggunaan zat kimia dengan cara disuntik atau cara lain yang ditujukan kepada pelaku yang terbukti dan pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi.

Pemberian hukuman pidana tambahan berupa kebiri merupakan alternatif terakhir (ultimum remedium) dan dalam pengenaannya pidana tambahan tersebut tidak menghilangkan pidana pokok. Penjatuhan pidana tambahan dalam sistem hukum pidana harus dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok artinya pidana tambahan tersebut tidak bisa berdiri sendiri. Pengenaan kebiri merupakan implementasi dari tujuan pemidanaan yang sesuai dengan teori gabungan karena menitikberatkan pada pembalasan yang dapat memberikan efek jera melalui proses pemulihan dan dari efek jera ini, manfaat positif diperoleh untuk masa depan dengan mengurangi jumlah kejahatan seksual.

Cabang ilmu Bioetika hadir guna menjelaskan prinsip moral dari semua bidang ilmu biomedis termasuk bioteknologi, kedokteran, politik, hukum, filsfat, dll. Peraturan akan Bioetika di Indonesia salah satunya tercantum dalam Perubahan keempat UUD 45 Pasal 31 ayat (5) yang menyatakan bahwa “Pemerintah memajukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk memajukan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”.

Lantas bagaimana Bioetika meninjau penjatuhan hukum kebiri ini?. Berdasarkan Universal Declaration on Bioethics and Human Rights pada tahun 2006, didalam cabang ilmu ini ada beberapa prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan, diantaranya yakni adanya prinsip Human dignity and human rights yang memiliki arti martabat manusia dan hak asasi manusia, Benefit and harms atau manfaat dan bahaya, hingga adanya Persons without the capacity to consent atau orang-orang tanpa kapasitas untuk menyetujui.

Jika ditinjau dari kacamata bioetika dengan prinsip Human dignity and human rights atau yang bisa kita ketahui dengan martabat manusia dan hak asasi manusia, penerapan hukum kebiri ini jelas tidak sesuai dan melanggar prinsip yang ada di bioetika tersebut. Secara substansi, hukuman kebiri akan berdampak pada hilangnya hak seseorang untuk melanjutkan keturunan dan terpenuhi kebutuhan dasarnya. Pemberian hukuman melalui pengebirian dapat dikualifikasi sebagai penghukuman keji dan tidak manusiawi.

Kedua, masuk ke dalam prinsip Benefit and harms atau manfaat dan bahaya, adanya penjatuhan hukuma kebiri nantinya membuat terpidana pelaku berkurang hingga hilang hasrat seksualnya sehingga dapat menekan secara besar-besaran atas segala tindakan kejahatan seksual yang telah ada. Namun, disamping itu penjatuhan hukum kebiri dapat pula memiliki efek samping yakni penuaan dini pada tubuh seperti resiko tulang keropos atau osteoporosis meningkat. Disinyalir juga memiliki banyak efek negatif lainnya bagi pelaku terpidana seperti berkurangnya massa otot, hingga mampu meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. Kebiri kimia sendiri juga bertentangan dengan IDI karena kedokteran sendiri memiliki misi medis untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya agar dapat produktif dalam kehidupan.

Ketiga, prinsip Persons without the capacity to consent atau orang-orang tanpa kapasitas untuk menyetujui. Menyambung adanya kontroversi terkait benefit and harm dalam penjatuhan hukum kebiri, jelas bahwa dalam pelaksanannya prosedur kebiri melibatkan risiko timbulnya rasa sakit dan komplikasi lainnya pada terpidana. Otorisasi untuk penelitian dan praktik medis harus diperoleh sesuai dengan kepentingan terbaik bagi yang bersangkutan dan sesuai dengan hukum yang berlaku setempat.

Namun, orang yang bersangkutan harus terlibat semaksimal mungkin dalam proses pengambilan keputusan persetujuan, serta penarikan persetujuan.Untuk itu, dokter dianggap sebagai profesi yang tepat untuk dijadikan eksekutor hukuman kebiri karena kompetensi yang dimilikinya, dibandingkan dengan profesi lainnya. Namun, didalamnya dokter memiliki kode etik tersendiri seperti yang tertera pada pasal 5 tahun 2012 dalam KODEKI yang mengatakan bahwa “setiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien atau keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.”.

Ketika persetujuan dari pihak keluarga tidak didapatkan proses penjatuhan hukuman kebiri tidak akan pernah bisa dilaksanakan, karena jelas didalamnya tidak ada persetujuan dan jika tetap dilanjutkan akan menjadi ketimpangan.

Jadi berdasarkan analisis mengenai tinjauan bioetika terhadap penjatuhan hukuman kebiri bagi terpidana kekerasan seksual disini penerapan hukuman tersebut masih sangatlah rentan untuk dilakukan. Adanya efek samping yang membahayakan tubuh, penerapan kebiri ini juga sangat berseberangan dengan martabat dan hak asasi manusia karena adanya hak seseorang untuk mendapatkan keturunan maupun mendapatkan hak yang seharusnya ia dapatkan. Juga profesi dokter jika dijadikan eksekutor menginginkan untuk tetap mematuhi keputusan hukum yang ada tanpa harus mecederai sumpah profesinya.

Kendati demikian, untuk mewujudkan perasaan seadil-adilnya maka hakim yang menangani perkara tersebut seyogyanya tidak ragu-ragu dalam menjatuhkan pidana kebiri kimia kepada terdakwa sepanjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena hal ini, pihak berwenang perlu segera membuat rangkaian peraturan teknis pelaksanaan kebiri kimia pasca putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Jika IDI tidak bersedia sebagai eksekutor maka eksekutor dapat digantikan dengan kedokteran kepolisian (Dokpol) atau pihak profesional lainnya yang sudah ditunjuk berdasar putusan pengadilan.

Muthiah Az-Zahroh, mahasiswi Prodi Pendidikan Biologi UIN Sunan Kalijaga

Exit mobile version