Impelementasi Dialog Antar Iman Versi Muhammadiyah
KUPANG, Suara Muhammadiyah – Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur menyelenggarakan acara Seminar Pra Muktamar dengan tajuk ‘Kerjasama Antar Iman dan Integrasi Sosial’, Rabu 25 Mei 2022 secara daring dan luring. Hadir sebagai pembicara kali ini adalah Sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Dr Zuly Qodir, MAg.
Dalam pemaparannya, Zuly mengatakan bahwa Indonesia merupakan negeri penuh dengan keragaman dan keberagaman. Dari sini lahirlah sebuah perbedaan yang merupakan keniscayaan yang dikehendaki oleh Tuhan untuk seluruh makhluk, terutama umat manusia. “Perbedaan ada hampir ada di dalam enklave kehidupan kita. Khususnya bidang ekonomi kita bergama, gender kita juga beragam, bidang agama juga kita beragam, dan etnis dan lain-lain juga beragam. Itulah kekuatan atau sunatullah negera ini,” katanya saat memberikan materi seminar.
Dirinya bercerita pengalaman hidup yang bergelintar homogen, dan dari homogen tersebut sebanyak 100 persen adalah orang Muhammadiyah. Kendati yang memiliki kartu tanda Muhammadiyah hanya sekitar 2 persen.
“Karena itu kalau Pak Syafiq dan kawan-kawan memaksa semua orang Muhammadiyah adalah yang memiliki kartu Muhammadiyah, dugaan saya hanya 7 persen seluruh warga Indonesia yang menjadi warga Muhammadiyah. Tetapi kalau yang disebut warga Muhammadiyah adalah yang memiliki ikatan emosional, tradisi keberagamaan, tradisi ibadah, tradisi ritual, dan juga mau menyumbang kepada Muhammadiyah. Orang Muhammadiyah berkata,’Bapak-bapak dan ibu-ibu yang jadi orang Muhammadiyah di Indonesia adalah mereka yang salat Idulfitri dan IdulAdha saat kemarau di lapangan. Itulah orang Muhammadiyah,” katanya.
Inilah fakta sosial orang Muhammadiyah yang berhadapan dengan banyak orang. Zuly juga mencitrakan bahwa dirinya tinggal di lingkungan Muhammadiyah. Tetapi setelah masuk di dunia sekolah SMA, ternyata juga ada orang Kristen. Ketika masuk ke perguruan tinggi Muhammadiyah, dirinya bergaul dengan orang barat dan orang pastur. Dari sinilah Zuly dikenal sebagai romo karena banyak berteman pada saat mahasiswa dengan calon pastur daripada kader Muhammadiyah.
Di sinilah pentingnya kita melakukan interaksi sosial dengan banyak orang menjadi tidak terlalu terperanjat. Karena menurut para ahli di dalam orang yang beragama selalu mengalami tiga hal. Pertama, mengalami miskonsepsi. “Konsep-konsep kita itu saling tidak matching dengan satu dan yang lain, ujarnya.
Kedua, misunderstanding. Menurut Zuly, kita sering salah pahan dan gagal paham. Karena kita sering mengukur perbedaan, keragaman yang ada di masyarakat itu dengan kacamata hitam. Hal yang sama juga mereka melakukan pengukuran dengan kacamata hitam pula.
Ketiga, miskomunikasi. Tidak pernah terjalin dialog dan komunikasi. Inilah sebagai kelahiran disentegrasi sosial di kehidupan kebangsaan.
Sebagai penutup, Zuly memberikan pesan sarat makna terhadap bagaimana implementasi dialog antar iman itu bisa terlaksana dengan baik.
Pertama, dialog tekstual. Ini merupakan tugas dari para teolog dan tugas-tugas para ilmuwan yang lebih memumpuni disiplin ilmu keagamaan. “Menghadirkan teks-teks keagamaan antar agama itu bukan untuk menghukum teks keagamaan yang lain, membenci dan menyalahkan yang lain-lain, tetapi untuk mendapatkan kesamaan dan perbedaan,” pungkasnya.
Kedua, dialog kemanusiaan. Muhammadiyah telah melakukan pendirian PKU Muhammadiyah oleh Kiai Suja’ sebagai manifestasi dari menyantuni seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Dalam catatan sejarah, para dokter yang membantu di balai pengobatan Muhammadiyah itu berasal dari orang Kristen dan Protestan. “Inilah yang kemudian kita sebut sekarang dialog kemanusiaan,” katanya.
Ketiga, dialog kritik. Ini tugas para ilmuwan untuk mempertanyakan kembali keimanan apakah sudah menjadi keimanan otentik dan seuai dengan ajaran agama. Jika ini tidak dilakukan, maka akan terjadi perpecahan dan perselisihan imbas dari kesombongan diri menyatakan diri paling benar dan bersih. (Cris)