Papua dalam Pandangan Prof. Syafii Ma’arif
Oleh : Haidir Fitra Siagian
Buya Ahmad Syafii Ma’arif yang meninggal dunia (Jumat, 27/05/22) adalah seorang rakyat biasa. Beliau bukanlah seorang pejabat yang sangat penting di negeri ini. Akan tetapi kehadiran Presiden Joko Widodo melayat dan ikut mensalatkan almarhum di Masjid Gede Kauman Yogyakarta beberapa hari lalu adalah sebuah tanda yang super penting. Menandakan Buya sebagai tokoh pemersatu bangsa yang diterima oleh semua kalangan. Presiden mengatakan bahwa kepergian almarhum tidak hanya kehilangan bagi warga Muhammadiyah, tetapi juga bagi seluruh bangsa Indonesia. Karena hingga akhir hayatnya, mantan guru SD Muhammadiyah di Lombok Nusa Tenggara Barat ini, selalu memikirkan dan berusaha mendorong keutuhan bangsa. Agar tidak terpecah-belah. Tetap bersatu dalam konteks Negara Republik Indonesia.
Di antara perhatian besar mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini terhadap nasib bangsa ini adalah tentang Papua. Dua belas tahun yang lalu dalam salah satu acara, beliau sudah mengingatkan agar pemerintah RI bersungguh-sungguh mencegah supaya Papua tidak lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI. Dalam pandangannya, “Kondisi di Papua itu seperti api dalam sekam. Kalau Papua lepas dari Indonesia, saya tidak bisa membayangkan lagi dengan provinsi yang lain,”. Bagi Buya, satu-satunya cara untuk menyelamatkan Papua agar tetap dalam tetap bersama dengan NKRI adalah dengan menggunakan paradigma keadilan.
Perhatian lainnya yang selalu diperlihatkan dan menjadi tema yang sering dikemukakan oleh Buya adalah tentang pentingnya memelihara kerukunan dan kedamaian seluruh elemen bangsa di tengah berbagai keberagaman. Bagi Buya, negara ini hanya bisa berkembang menjadi negara yang maju dan modern setara dengan negara-negara lain jika dibangun di atas kebersamaan tanpa mengesampingkan peran-peran satu kelompok atau golongan. Itulah sebabnya, Buya selalu menjaga harmoni pun silaturrahim dengan tokoh-tokoh bangsa lintas agama, budaya dan politik.
Maka tidak heran jika banyak kalangan yang menjuluki Buya sebagai “Guru Bangsa”. Salah satunya adalah oleh seorang lelaki asal Batak-Tapanuli yang beragama Nasrasni, sebagaimana pernah dituturkan oleh Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DKI Jakarta, KH. Sun’an Miskan, Lc. Padahal Buya adalah seorang ulama dan mantan Ketua Muhammadiyah. Sementara bagi sebagian pihak, ada yang berpandangan bahwa kalangan ulama apalagi tokoh Muhammadiyah sebagai kelompok yang intoleran dan tidak berwawasan kebangsaan. Tetapi bagi lelaki Batak tersebut, pandangan tersebut tidak berlaku.
Tadi malam saya mendapat pesan melalui jaringan pribadi dari seorang sahabat di Makassar. Beliau saya kenal sebagai tokoh organisasi keagamaan Islam di Sulawesi Selatan dan kami berdua merupakan alumni program doktor di Malaysia meski berbeda universitas. Kesan saya terhadap pesan yang disampaikan tersebut, bahwa Buya itu sebagai orang yang kontroversial terhadap Islam. Beliau menautkan satu jaringan berita dari media online yang menerangkan kedekatan Buya dengan Islam liberal. Juga peran budaya dalam mendirikan tiga komunitas intelektual muda Muhammadiyah yaitu Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Maarif Institute, dan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Sesungguhnya saya sudah mengenal dan pernah berinteraksi dengan Buya sejak tiga puluh tahun lalu. Buya datang ke Makassar (namanya waktu itu masih Ujung Pandang) bersama dengan Dr. Amien Rais. Keduanya datang menjelang pemilihan umum 1992, memberikan ceramah di hadapan pengurus Muhammadiyah dan Angkatan Muda Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Kala masih kelas dua SMA atau tepatnya tahun 1992. Saat itu saya bekerja sebagai staf Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Saya bertugas menyiapkan dan mengantarkan konsumsi kepada keduanya.
Ketika saya bertugas sebagai reporter magang pada majalah Suara Muhammadiyah tahun 1998, saya sempat dua kali mewawancarai Buya. Pertama saat acara apel nasional Angkatan Muda Muhammadiyah di Stasion Mandala Krida dan yang kedua saat Sidang Tanwir Muhammadiyah di Semarang. Ketika Buya menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pun beberapa kali saya mendampingi beliau saat menghadiri kegiatan di Makassar, termasuk menjelang Sidang Tanwir tahun 2003. Sehingga sedikit-banyaknya, saya punya kesan yang sangat positif terhadap beliau.
Bahwa memang terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam terhadap pernyataan-pernyataan beliau melalui media massa, adalah satu hal yang harus diterima dengan pandangan yang jernih. Melihat dari sudut pandang yang luas dan terbuka. Dimana dalam konteks mempersatukan seluruh elemen masyarakat yang beraneka warga dan menjaga keutuhan bangsa, pun adalah merupakan bagian penting dalam menegakkan dan menjunjung tinggi marwah Islam di bumi pertiwi ini. Sebab sejarah berdirinya negara ini sememangnya adalah perjuangan bersama seluruh elemen bangsa.
Terhadap berdirinya tiga komunitas intelektual muda Muhammadiyah tersebut di atas, pun pernah disinggung dalam sebuah forum di Makassar. Buya antara lain menjawab bahwa dia berusaha untuk membina kader Muhammadiyah yang bisa ikut menjadi pemimpin masa depan yang bisa diterima semua pihak. Katanya lagi, lembaga tersebut diisi oleh kader-kader Muhammadiyah yang saat itu berada di luar struktur, yang memiliki potensi pemikiran kebangsaan dan wawasan yang luas. Sehingga perlu dibuatkan wadah yang dapat menjadi ruang kelas untuk mengasah potensi tersebut, dan tidak lari kemana-mana. Wallahu’am.
Wollongong, 29 Mei 2022
Penulis adalah Ketua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Australia / Dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (saat ini dengan status cuti diluar tanggungan negara).