Antara Muhammadiyah dan Rumah Singgah
Oleh: Soeparno S. Adhy
SELASA 7 Juli 1998 jelang tengah malam di Asrama Haji Semarang, Jawa Tengah. Kepada para wartawan, Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr HM Amien Rais mengumumkan keputusan sidang Tanwir Muhammadiyah yang berlangsung selama tiga hari, 5-7 Juli 1998.
Butir kedua hasil sidang Tanwir itu memutuskan, “Mengamanatkan kepada PP Muhammadiyah untuk: (a). melakukan ijtihad politik guna mencapai kemaslahatan umat dan bangsa secara maksimal, yang senantiasa dilandasi semangat dakwah amar ma’ruf nahi munkar (b). menyusun agenda reformasi (konsep dan strategi reformasi Muhammadiyah) di berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara menuju makin cepat terwujudnya masyarakat utama yang sejahtera”.
Keputusan sidang agar PP Muhammadiyah melakukan ijtihad politik itu tidak lain dan tidak bukan diartikan sebagai ‘perintah’ agar PP Muhammadiyah memikirkan kemudian membidani lahirnya suatu organisasi politik sebagai wadah dan tempat berkiprah serta menyalurkan aspirasi politiknya.
Menjawab pertanyaan wartawan, Amien Rais menyatakan akan tetap berkhidmat di Muhammadiyah untuk menyelesaikan masa baktinya sebagai Ketua Umum PP periode 1995-2000. Tanpa ragu Amien kemudian menyatakan organisasi politik bernama partai yang didirikan itu nantinya akan dipimpin oleh Prof Dr Ahmad Syafii Ma’arif yang menjabat Wakil Ketua PP Muhammadiyah.
***
Mendengar pernyataan Amien Rais itu saya buru-buru mencari Buya Syafii Ma’arif yang ternyata telah meningggalkan ruang sidang dan tidak mengikuti konferensi pers. Saya bergegas ke kamar penginapannya. Saya kemudian mengemukakan pernyataan Pak Amien Rais bahwa bila nantinya partai yang dibidani kelahirannya oleh Muhammadiyah itu terbentuk, Pak Syafii yang akan memimpinnya.
Saya terkejut mendengar jawaban Pak Syafii. Setelah terdiam sejenak, beliau menegaskan tidak akan bersedia memimpin partai. “Saya tetap ingin berkhidmat di Muhammadiyah. Muhammadiyah merupakan rumah besar kita, sementara partai hanya sekadar rumah singgah,” tuturnya.
Dalam perkembangannya, ketika Partai Amanat Nasional (PAN) terbentuk Amien Rais tidak bisa mengelak ketika para deklarator partai mendaulatnya menjadi ketua umum partai berlambang matahari itu.
Ya, bagi Buya Syafii Muhammadiyah merupakan rumah besar — sedang partai merupakan rumah singgah bagi warga Muhammadiyah yang berkeinginan berkhidmat di dalamnya. Kita ketahui kemudian, Buya Syafii tetap kukuh berpendirian untuk tidak berkiprah di dunia politik (praktis) hingga akhir hayatnya.
***
Sepengetahuan saya, Buya Syafii pernah ditawari berbagai jabatan (politik). Namanya pernah disebut-sebut sebagai calon Presiden RI menjelang Pilpres 2004. Dalam polling yang diselenggarakan Centre for Political Studies Soegeng Saryadi Syndicated setahun sebelum Pilpres, nama Syafii berada pada urutan ke-12 sebagai tokoh yang memperoleh nilai kumulatif terbaik sebagai capres.
Nama-nama yang berada di urutan pertama hingga ke-11 semuanya terdiri dari politisi atau mereka yang belakangan terjun ke dunia politik dengan menjadi kader atau pimpinan parpol. Sedang Syafii merupakan tokoh non-partisan, yang disusul nama Hasyim Muzadi dan Salahudin Wahid.
Mudah ditebak bila Buya Syafii menolak tawaran untuk diposisikan sebagai bakal calon RI-1 atau RI-2. Alasan formal atau basa-basi yang dikemukakannya, “saya tidak ingin berhadap-hadapan dengan sahabat saya, Amien Rais, yang menjadi capres PAN”.
Jauh sebelumnya, komitmen Buya Syafii untuk tetap berkhikmat di Muhammadiyah juga pernah dikemukakan ketika Ketua Umum Partai Politik Islam Indonesia Masyumi (PPII Masyumi) Ir Abdullah Hehamahua MSc meminangnya sebagai capres jelang Pemilu 1999. Buya menolak pinangan itu dengan menyatakan bahwa dirinya telah tua. Jawaban yang kurang lebih sama juga dikemukakan Buya ketika Presiden BJ Habibie maupun Presiden Abdurahman Wahid menawarinya jabatan Mendiknas.
Keputusnanya untuk tetap bertakzim di persyarikatan Muhammadiyah juga ditegaskan Buya Syafii saat sejumlah tokoh dan pemimpin adat masyarakat Minangkabau melamarnya untuk dicalonkan sebagai Gubernur Sumatera Barat, “Untuk jabatan presiden dan menteri saja saya tolak, apalagi jabatan gubernur,” selorohnya.*
Soeparno S. Adhy, wartawan Kedaulatan Rakyat Yogyakarta