Belajar dari Buya Syafii: Siap Hidup dan Siap Mati

Buya Syafii

Buya Syafii dan Mbah Diman Foto Dok SM

Belajar dari Buya Syafii: Siap Hidup dan Siap Mati

Oleh: Deni Asyari

Kalimat siap hidup dan siap mati, merupakan narasi dan ungkapan yang sering dilontarkan oleh Prof Ahmad Syafii Maarif atau yang biasa dipanggil Buya Syafii.

“Sebagai umat Islam, kita itu harus seimbang, siap hidup dan siap pula untuk mati. Jangan hanya siap untuk hidup tapi tidak untuk mati. Atau hanya berani mati tapi tidak berani untuk hidup.”

Kalimat ini terlontar ketika Buya melihat kasus bom bunuh diri atau yang beliau sebut orang-orang berteologi maut. Sebaliknya juga melihat orang-orang yang serakah dan semaunya memanfaatkan kuasa serta jabatan untuk kemewahan sehingga lupa untuk mati.

Dua fenomena ini, dinilai oleh Buya Syafii sebagai orang-orang yang sebagian hanya siap untuk mati dan tidak siap untuk hidup, atau sebagiannya siap untuk hidup namun tidak siap untuk mati.

Narasi Buya Syafii, bukan sekedar rangkaian kata untuk memperindah panggung. Namun, Buya justru mempraktiknya apa yang diucapkannya sendiri.

Dalam hidup, sejak kecil hingga di usia tua beliau, tidak pernah menunjukkan sikap pesimis. Beliau selalu menebarkan semangat optimisme dan pencerahan yang sangat luar biasa.

Bahkan dalam banyak kesempatan Buya sering mengatakan, ” Seandainya di dalam Al Quran ada perintah pesimis, maka saya adalah orang pertama yang akan pesimis. Namun dari semua lembaran Al Quran, tidak ada satupun ayat yang mengatakan dan menganjurkan pesimis. Justru Alquran mendorong sikap optimisme”

Menurut Buya Syafii, agama selalu mengajarkan umatnya bersikap optimis. Meskipun kondisi dunia sudah sedemikian rusak dan kehidupan semakin oleng, kita tetap harus bersikap optimis, bahwa akan ada harapan. Yaitu dengan cara mempedomani kembali rangkaian wahyu ilahi yang fungsinya sebagai penunjuk jalan bagi manusia.

Maka semasa hidupnya, Buya yang terlahir dari keluarga yang tidak berpunya, dari sebuah kampung yang terisolir di Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat. Tidak pernah menghentikan langkah dan cita-citanya untuk menempuh pendidikan hingga  ke negeri paman sam.

Tidak ada kata mengeluh, lelah apalagi berhenti ketika berbagai rintangan ekonomi dan kehidupan menghadang. Menjadi kuli ternak, kuli angkut, penjaga toko, korektor, dan berbagai pekerjaan yang berat beliau lalui dengan penuh optimisme.

Setelah berhasil menempuh pendidikan dengan lika liku yang panjang serta menjadi tokoh nasional. Buya Syafii yang sekarang tetaplah menjadi Buya Syafii yang dulu. Ketokohannya tidak mengubah sikapnya untuk menjadi jumawa, haus kekuasaan, tidak peduli nasib orang kecil, hidup dengan kemewahan. Sama sekali tidak.

Buya Syafii tetap tampil sebagaimana Buya yang dulu dilihat orang. Hidup dengan kesederhanaan, tidak tertarik dengan jabatan, jauh dari kemewahan, dan tampil apa adanya dengan ke orisinalitasan beliau tanpa dibuat-buat.

“Hidup seperti ini saja sudah hebat, untuk apa bermewah-mewah. Banyak orang yang jauh dari keprihatinan disana. Tidak perlu menampilkan sesuatu yang sebenarnya palsu.”

Demikian ungkapan Buya suatu waktu kepada anak-anak muda ketika ditanya, kenapa Buya tidak mau menggunakan mobil mewah dan sopir pribadi. Bukankah banyak sekali orang yang bersedia menyiapkan untuk semuanya. Namun beliau tetap dengan pendirian dan jawaban sebagaimana di atas.

Buya Syafii mengajarkan kepada kita, untuk hidup dengan penuh kejujuran. Tanpa bertopeng kepura-puraan. Karena tidak ada artinya serakah, apalagi bagi pemangku jabatan, jika masih banyak rakyat yang susah untuk makan, sekolah dan sebagainya.

Maka bagi Buya Syafii, walaupun sebagai tokoh bangsa terpandang, tidak sungkan-sungkan bersepeda, ke pasar, menjemur cucian, makan di angkringan, naik kereta api, antri di rumah sakit PKU dan sebagainya.

Prilaku inilah yang dimaksud oleh Buya Syafii sebagai cara kita untuk siap hidup. Karena bagi orang yang tidak siap untuk hidup, mereka akan tampak haus kuasa. Dan jika sudah berkuasa, akan gila harta dan jabatan, dan kemudian akan tampil menjadi orang mewah yang serba ada, hingga lupa akan asal mula.

Cara inilah yang ditolak oleh Buya. Bagi Buya siap hidup, artinya mampu mengelola kehidupan bukan untuk diri saja, tapi juga untuk kebaikan hidup bersama.

Maka tidak heran, jika Buya begitu sangat dekat dan lengket hatinya dengan orang-orang kecil. Banyak kisah yang menceritakan bagaimana perhatian Buya Syafii kepada orang-orang kecil.

Di Suara Muhammadiyah sendiri, kepada saya, Buya selalu berpesan, perhatikan nasib mereka yang kecil. Jangan sampai mereka mendapatkan gaji tidak sepantasanya. Harus dipikirkan.

Bahkan Buya Syafii juga sangat memperhatikan para agen-agen majalah Suara Muhammadiyah di daerah-daerah. Sering sekali Buya menyampaikan, agar Suara Muhammadiyah memberikan penghargaan dan santunan kepada mereka.

Dan kepada anak-anak muda yang tidak memiliki kemampuan finansial, tidak sedikit diantara mereka yang dicarikan oleh Buya Syafii bantuan pendidikan untuk melanjutkan strata 1, strata 2 hingga starta 3.

Inilah makna siap hidup yang dimaksud oleh Buya Syafii, yaitu mampu menghidupkan orang lain dari kehidupan kita. Sehingga bukan menutup mata atas keprihatinan hidup orang lain, ketika hidup kita lebih baik.

Tidak hanya untuk hidup, Buya Syafii pun juga mencontohkan kepada kita, bagaimana setiap manusia juga siap untuk mati. Karena hidup hanya sementara, dan pada akhirnya setiap manusia akan kembali menuju ke abadiannya, yaitu alam akhirat.

Sikap siap mati bagi Buya, adalah memperluas amaliah dan amal jariyah beliau. Di ujung usianya, Buya justru semakin begitu bergairah melakukan berbagai amal ibadah dan amal sosialnya.

Suatu waktu Buya pernah berucap, “Diakhir hidup ini, saya hanya ingin memperbanyak amal jariyah. Saya sudah wakafkan diri saya untuk keperluan umat dan negeri ini.”

Oleh karenanya diusia senjanya, yang mestinya banyak istirahat dari aktivitas sosial, justru Buya di akhir hayatnya, masih sibuk mempersiapkan dan melakukan berbagai amal sosial.

Salah satu diantaranya, Buya menyiapkan dirinya menjadi ketua panitia pembangunan pondok pesantren Muallimin. Dalam lima tahun terakhir, Buya hilir mudik bertemu dengan berbagai tokoh dan donatur untuk menyodorkan proposal pembangunan pondok pesantren ini. Tidak ada kata lelah apalagi sungkan.

Beberapa kali dengan saya menemui donatur, Buya tampak gembira banyaknya perhatian orang untuk membantu Muallimin.

Suatu saat Buya pernah berujar, “Sebelum saya mati, saya ingin melihat gedung Muallimin ini sudah berdiri gagah, sehingga bisa digunakan untuk menuntut ilmu.”

Makam Buya Syafii Maarif di Kulon Progo Dok SM

Alhamdulillah, keinginan Buya pun terwujud sebelum beliau menghembuskan nafas terakhir pada Jumat, 27 Mei 2022 di RS PKU Gamping Yogyakarta.

Tidak hanya soal Muallimin, Buya pun juga kembali menghidupkan dakwah Muhammadiyah di kampung halamannya Sumpur Kudus, Sijunjung, Sumatera Barat. Di kampung kecil ini, Buya juga menyiapkan bangunan megah, sebagai gedung dakwah Muhammadiyah serta mengirim santri dari Jawa untuk membantu menghidupkan dakwah Muhammadiyah.

Dan tentu banyak lagi yang disiapkan Buya diujung usianya, sebagai cara beliau untuk mempersiapkan kematian. Karena beliau tidak ingin, hanya bahagia di dunia tapi celaka diakhirat, sebaliknya, beliau juga tidak ingin celaka di dunia dan bahagia diakhirat. Namun harapan semua kita tentu, bahagia di dunia dan diakhirat.

Sebagai penutup usia beliau, Buya Syafii juga mempersiapkan kematian beliau dengan mempersiapkan makam. Dua bulan sebelum wafat, Buya berpesan kepada Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir, agar disiapkan makam Muhammadiyah untuk beliau.

Walau beliau bisa saja di makamkan di pemakaman tokoh-tokoh Muhammadiyah di Karangkajen, atau di pemakaman negara di Kalibata Jakarta. Namun Buya memilih di pemakaman umum Muhammadiyah di daerah Naggulan, Wates, Kulonprogo, Yogyakarta.

Hingga nafas berpisah dengan Badan, Buya pun dengan sempurna melepaskan nyawanya dengan 2 kalimasyahadat, untuk menemui Tuhannya, Allah swt. Hingga akhirnya, Buya di makamkan di tempat yang sudah dipesankan untuk dirinya. Yaitu di pemakaman umum Husnul Khatimah, Nanggulan, Kulonprogo, Yogyakarta.

Selamat jalan Buya Syafii. Terimakasih atas berbagai hikmah yang ditinggalkan, semoga kami dapat meneruskan katauladanan Buya Syafii.

Deni Asyari, Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media/Suara Muhammadiyah

Exit mobile version