Ta’ziyah Virtual
Oleh: Immawan Wahyudi
Adagium segala sesuatu ada hikmahnya memperoleh penegasan yang kian nyata. Pandemi covid 19 yang telah berlangsung kira-kira dua tahun bukan hanya memberikan efek menakutkan, menyedihkan dan merugikan ummat manusia seantero dunia tapi juga “memberikan kegembiraan”. Tentu tulisan ini tidak akan membahas kegembiraan sekelompok orang yang menangguk keuntungan finansial sangat luar biasa besar dari adanya Covid-19, karena judulnya ta’ziyah. Keuntungan dari Covid-19 berupa hikmah adalah adanya tradisi baru : ta’ziyah virtual. Ini tradisi baru yang positif yang belum pernah terbayangkan adanya sebagaimana kita belum pernah membayangkan adanya pandemi Covid 19.
Entah siapa yang memulai mengenalkan istilah baru ini, tapi istilah “ta’ziyah virtual” saat ini sedang popular. Kata ta’ziyah sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah kegiatan mengunjungi kerabat yang sedang tertimpa musibah. Secara definitif ta’ziyah berarti meringankan kesedihan kepada orang yang berduka atas wafatnya salah seorang keluarga. Dalam bahasa Indonesia ta’ziyah diartikan dengan ungkapan belasungkawa. Dalam praktiknya ta’ziyah baik yang virtual maupun yang bertemu tatap muka langsung, umumnya berisi : ungkapan belasungkawa, ungkapan keta’dziman dan doa. Kadang ditambah dengan pernak-pernik yang umumnya meninggikan kehormatan bagi derajat orang yang wafat. Praktikta’ziyah secara syar’i dianjurkan untuk menyedikitkan kata-kata yang tidak perlu.
Penulis agak suka mengamati ungkapan dari berbagai tokoh dalam peristiwa ta’ziyah, baik yang virtual maupun yang normal. Beberapa hasil amatan itulah yang penulis ungkapkan dalam tulisan sederhana ini, karena adanya beberapa hal yang mungkin baik untuk kita perhatikan. Diantara yang penulis amati adalah peristiwa ta’ziyah Allahuyarham Prof. Buya Ahmad Syafii Maarif yang sangat banyak digelar oleh warga Muhammadiyah bahkan warga masyarakat umum, termasuk dari kalangan Nahdiyin.
Pertama, sambutan dari Ketua Umum PP Muhammadiyah pada ta’ziyah virtual hari pertama. Tentu tidak diragukan lagi, Prof. Haedar Nashir adalah seorang — menurut saya— pemilih bahasa yang baik. Sehingga ungkapannya penuh dengan rasa teduh, bersahabat dan mewakili kaum yang diwakilinya. Demikian pula sambutan ta’ziyah dari Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf, KH Musthafa Bisri dan Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Coumas menunjukkan kekhasan kaum pesantren yang kuat dan memberi kedalaman doa sedemikian rupa yang melegakan hati, teduh dan bersahabat. Secara pribadi saya suka dengan iftitah dari KH Yahya Cholil Staquf dan KH Musthafa Bisri.
Kedua, meskipun kejadiannya sudah amat sangat lama, tapi masih terasa segar dalam ingatan penulis adalah sambutan ta’ziyah Allahuyarham KHA AR Fachruddin dalam peristiwa wafatnya seorang aktivis HMI sekitar tahun 1979 atau 1980an di Deamangan Yogyakarta. Saat itu para hadirin terutama teman-teman aktivis HMI umumnya tepekur dan menunjukkan rasa haru yang mendalam. Pada saat Allahuyarham KH AR Fachruddin memberi sambutan suasana itu berubah. Pasalanya Pak AR Allahuyarham menyampaikan tausiyah ta’ziyahnya dengan membuka hati dan wawasan yang hadir dengan suasana gembira. Namun demikian tetap mengungkapkan hal-hal yang pokok saja dalam ta’ziyah.
Ketiga, saat saya menghadiri ta’ziyah warga Gunungkidul yang kebetulan seorang tokoh/sesepuh Katolik. Pasteur / Romo yang menyampaikan wejangan ta’ziyah saat itu penuh semangat dan penuh ungkapan gembira. Kira-kira –yang masih saya ingat—beliau mengatakan bahwa tokoh yang wafat itu sudah memperoleh kegembiraan sejati karena sudah menunaikan tugas kehidupan dengan baik.
Keempat, saya amati dalam ta’ziyah virtual akhir-akhir ini ada beberapa tokoh yang menyampaikan ta’ziyah dengan lebih mengetuk pemikiran hadirin -–bahkan agak melupakan essensi ta’ziyah. Malah ada juga tokoh yang mengungkanpkan rasa hormatnya kepada yang wafat demikian rupa dengan mengungkapkan rasa tidak hormatnya kepada tokoh yang lain. Seyogyanya sikap keta’dziman kita kepada seseorang yang wafat tidak perlu diikuti dengan ketidakta’dziman kepada orang lain yang diuangkan dalam jama’ah ta’ziyah (mu’aziyiin/mu’aziyaat).
“Adab orang berta’ziyah” kata Imam al-Ghazali, “menghindari sebanyak mungkin hal-hal yang tidak pantas atau tabu,” Sebaliknya orang yang ta’ziyah hendaknya “menampakkan rasa duka, tidak banyak bicara, tidak mengumbar senyum sebab bisa menimbulkan rasa tidak suka.” ‘Ala kulli hal, ta’ziyah yang terpenting adalah mendoakan agar yang wafat diampuni oleh Allah Tuhan Yang Maha Esa atas dosa-dosanya dan diterima semua amal ibadahnya. Jangan sampai orang yang kita antarkan dengan doa dalam ta’ziyah demikian ta’dzimnya masuk surga, sementara kita yang kusyu’ mendoakan kita “masuk neraka” karena kurang bijak memilah dan memilih kata.
Immawan Wahyudi, Dosen FH UAD