Penjaga Gawang
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Q.S At-Taubah : 122)
Dalam permainan sepakbola, striker atau pemain depan biasa dianggap sebagai penentu kemenangangan. Sepuluh kali kegagalannya dalam memanfaatkan peluang bisa dilupakan dengan satu keberhasilan mencetak gol.
Sebaliknya, penjagan gawang juga pemain belakang. Puluhan kali keberhasilannya menghalau serangan lawan dianggap sebagai hal yang biasa. Sudah begitu tugas pemain belakang dan kiper. Namun, satu kali saja dia gagal mengantisipasi serangan musuh sehingga tercipto gol kemenangan lawan, dia akan dicerca, dianggap teledor. Penyebab kekalahan tim.
Biasanya, orang yang menghakimi pemain bola dengan cara seperti itu adalah masyarakat awam yang sekedar mencintai sepakbola tapi kurang (dan tidak) mau memahami jiwa permainan bola. Yang ada di pikiran mereka dan yang menyenangkan mereka adalah tim kesayangannya menang.
Bagi orang yang sedikit tahu jiwa permainan bola, tidak pernah akan menyalahkan pemain belakang ketika timnya kalah dan melupakan mereka ketika timnya menang. Kemenangan dan kekalahan sebuah tim adalah tanggungjawab semua angota tim.
Ironisnya, jumlah orang yang paham permainan bola itu jauh lebih sedikit daripada orang yang kurang tahu. Orang yang paham permainan bola, yang jumlahnya lebih sedikit itu juga relatif lebih suka diam dan irit dalam memberikan komentar. Berbeda dengan orang yang kurang paham. Mungkin, karena kurang paham mereka tidak terikat dengan pengetahuannya dalam menyatakan pendapatnya.
Itulah fenomena yang dapat kita simak dalam obrolan di berbagai warung kopi tanah air. Orang yang samasekali tidak pernah mendapatkan pelatihan sepakbola, dengan penuh percaya diri ikut mengkritik Gianluigi Donnarumma (kiper klub AC Milan), juga mengkritik bahkan membodoh-bodohkan Pep Guardiola (Pelatih Manchester City) yang tidak segera mengganti Bernardo Silva sehingga kalah dari Leicester City. Mereka juga mengangap bodoh Diego Simeone (Pelatih Atletico Madrid) yang tidak memaksimalkan Arias, Godin, Savic, Niguez, Correa untuk ikut membantu penyerangan padahal hanya menghadapi klub Espanyol.
Apabila dicermati, obrolan yang penuh nuansa penghakiman tanpa ilmu seperti itu tidak hanya tentang sepakbola. Namun juga tentang tema apapun dan menyangkut siapapun. Tidak hanya di warung kopi, juga terjadi di group-group sosial media. Tidak peduli orang yang diobrolkan itu berada di group Whatsapp sama atau tidak, banyak orang yang sebenarnya kurang paham masalah ikut nimbrung, mengkrititk menghujat, bahkan memaki dengan kata-kata yang kurang sopan pada suatu kebijakan yang sebenarnya tidak mereka pahami secara utuh.
Dilihat dari sisi manapun, ilmu sepakbola yang dikuasai Pep Guardiola maupun Diego Simeone jelas ribuan kali lebih tinggi dari pengritik di warung kopi yang tidak pernah ikut kursus kepelatihan sepakbola level apapun itu. Pep Guardiola maupun Diego Simeone lebih tahu kapan dia akan mengganti dan memilih para pemainnya. Kapan harus menyerang dan kapan pula mesti bertahan.
Bukan perkara teknis sepakbola dan para pelatihnya yang hendak dibahas tulisan ini. Tapi sebagai permainan, sepakbola dapat pula dijadikan cermin kehidupan. Dalam sepakbola ada 11 pemain. Mereka berbagi tugas, ada yang menyerang sampai ke dekat gawang lawan. Namun ada pula yang harus mengantipassi serangan lawan, juga harus ada yang setia menjaga gawangnya sendiri.
Demikian pula dalam perjuangan. Tidak boleh semua menjadi striker. Menjadi pemain belakang dan penjaga gawang juga tidak kalah mulia. Hanya orang yang kurang pengetahuan sajalah yang menganggap kiper sebagai pemain yang tidak berguna. Hanya karena tidak ikut mencetak gol secara langsung. [isma]
Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2019