Gagal Menjadi Sarjana, Merintis Jalan Keilmuan Lain
Oleh: Agusliadi Massere
Menjadi sarjana (lulusan perguruan tinggi) minimal strata satu (S1) adalah dambaan sebagian besar masyarakat Indonesia. Apalagi tata kelola dan sistem yang ada di Indonesia, relasinya dengan peluang dan kesempatan kerja, lebih banyak mempersyaratkan hal tersebut. Namun, ada pula, meskipun memiliki modal cukup untuk menempuhnya, tetapi hal tersebut tidak menjadi jalan dan pilihan hidupnya.
Saya, minimal sampai pada detik ini, masih merasa gagal menjadi sarjana, khususnya dalam makna menyandang titel untuk strata satu (S1). Kegagalan tersebut, bukanlah pilihan utama melainkan dipicu beberapa faktor, terutama persoalan ekonomi pada saat itu. Menjadi sarjana, tetap menjadi harapan dalam diri, bahkan sampai jenjang akademik tertinggi. Saya pernah kuliah di Universitas Hasanuddin, pertengahan semester keempat berhenti. Saya pun pernah kuliah di Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, memasuki semester ketiga berhenti lagi. Saya hanya berhasil menyelesaikan program diploma dua (D2) di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar.
Berdasarkan pandangan hidup saya, titel sebagai predikat atau indikator keilmuan yang melekat atau dimiliki seseorang, seharusnya dipandang sebagai bagian identitas yang harus dipertanggungjawabkan dengan ilmu pengetahuan yang relevan, dan dimiliki dalam diri. Meskipun, saya tidak menafikan pentingnya titel, tetapi idealnya, yang paling utama adalah ilmunya. Perguruan tinggi, idealnya menjadi jalan keilmuan atau dalam makna untuk memeroleh ilmu, terutama sesuai minat masing-masing.
Bagi saya, kekeliruan terbesar dalam hidup, jika selesai menempuh jalur akademik melalui perguruan tinggi, lalu berhenti juga belajar, tidak mau lagi meng-upgrade dan meng-update ilmu pengetahuan yang ada dalam dirinya. Sama halnya, bagi seseorang yang tidak mampu menempuhnya melalui perguruan tinggi, lalu tidak mau juga belajar atau merintis jalan keilmuan lain, berarti hal ini semakin keliru.
Menuntut ilmu,—bukan sekadar pengetahuan (knowledge), yang bisa didapatkan dengan cara biasa-biasa saja, termasuk dalam pergaulan sehari-hari—seharusnya menjadi spirit utama. Bahkan menuntut ilmu idealnya dari ayunan sampai liang lahat. Long life education, seharusnya menjadi prinsip utama bahwa manusia adalah makhluk pembelajar atau terus melakukan aktivitas belajar, menggali ilmu seumur hidup. Ini pun relevan dengan spirit atau perintah iqra.
Sadar akan kegagalan tersebut di atas, dan memahami substansi atau hakikat yang dicari di sebuah perguruan tinggi maka, saya merintis jalan keilmuan yang lain. Ada banyak jalan keilmuan lain yang saya tempuh dalam hidup ini, yang tentunya pada saat itu bisa dipandang tidak menuntut dukungan faktor ekonomi yang lebih.
Merintis jalan keilmuan, yang saya maksud dalam tulisan ini, dan itu pun yang saya lakukan dalam mengarungi hidup, dengan cara: terus dan rajin belajar melalui membaca buku-buku. Untuk kepentingan ini, selain berupaya mengoleksi buku, baik dengan cara meng-fotocopy buku teman, termasuk buku dari perpustakaan sekolah, seperti perpustakaan Madrasah Aliyah Muhammadiyah Bantaeng. Ketika ada koleksi perpustakaan, yang genrenya relevan dengan bacaan selevel mahasiswa, sarjana, atau untuk memperkaya intelektualitas, saya meminjamnya lalu minta izin untuk meng-fotocopy.
Dari hal ini pulalah berawal kebiasaan koleksi buku, selain terinspirasi dari teman-teman atau senior yang memiliki spirit keilmuan yang sangat tinggi—seperti, saya sebutkan saja di antaranya, Kak Hadi Saputra, Kak Rahman Qadar, dan Kak Ancha (Hamzah Fanzuri). Terkait koleksi buku, saya merintisnya sejak tahun 2004, hingga detik ini, pada saat tulisan ini dituliskan, sudah berjumlah 1005 eksamplar.
Gambaran sederhana buku-buku koleksi saya, bahwa tepat dan bisa menjadi referensi bagi kalangan yang menempuh pascasarjana strata tiga (S3) atau program doktor, atau pas sesuai selera para doktor sekalipun. Atau istilah lainnya, koleksi buku yang ada, tidak berlebihan jika disebutkan bernilai “gizi tinggi”, meskipun terkadang dianggap “berat” oleh kebanyakan teman yang pernah melihatnya.
Untuk menampung koleksi buku tersebut, saya mengatribusinya dengan “Pustaka Pribadi” dengan nama “Cahaya Inspirasi”. Ini salah satu, yang saya maksudkan merintis jalan keilmuan yang lain. Selain itu, pada saat gagal menjadi sarjana, saya pun ikut terlibat aktif dalam Ikatan Remaja Muhammadiyah Bantaeng. Mengapa, saya menempuh jalan ini sebagai bagian jalan keilmuan? IRM/IPM sejatinya organisasi pelajar (remaja pada saat itu) yang bisa menjadi candradimuka atau sebagai episentrum pengembangan atau peningkatan spirit keilmuan generasi muda secara umum.
Saya memeroleh dan sangat merasakan gairah keilmuan yang luar biasa dalam tubuh Ikatan Remaja Muhammadiyah Bantaneg pada saat itu. Hal ini pulalah, sehingga saya pernah menulis dengan judul “IPM Kampusku IPMawan Titelku”. IPM adalah akronim dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah, yang pada masa saya aktif disebut dengan Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM).
Idealnya, spirit belajar tidak pernah berhenti, cinta akan ilmu pengetahuan harus selalu dirawat dan dipupuk. Namun, sebagaimana pernyataan seorang pakar pendidikan—mohon maaf saya lupa namanya, termasuk buku sumber referensinya. Ini hanya sisa ingatan saya, kurang lebih 16 tahun yang lalu—sangat sedikit yang rela mengabdikan diri dan waktunya untuk urusan ilmu. Bahkan tidak sedikit yang kuliah orientasi utamanya adalah titel-pekerjaan, bukan pada ilmunya.
Saya pribadi senantiasa menjadikan firman Allah dalam QS. Al-Mujadalah [58]: 11 sebagai spirit utama terkait urgensi, signifikansi dan implikasi besar dari suatu ilmu. Jika merujuk pada firman Allah ini, sesungguhnya ditegaskan tentang janji keunggulan dari Allah bagi orang yang beriman dan berilmu. Bukan orang yang bertitel. Syarat utama mencapai keunggulan dalam hidup adalah ilmu dan iman. Bahkan sering ditegaskan iman tanpa ilmu itu “buta”, dan ilmu tanpa iman itu “lumpuh”.
Penegasan di atas yang terinspirasi dari Firman Allah tersebut, bukan berarti bahwa saya menyimpulkan tidak dibutuhkan menempuh pendidikan melalui perguruan tinggi, dan titel tidak penting. Sama sekali, saya tidak bermaksud seperti itu. Saya bahkan memiliki pandangan, bahwa melalui jalur akademik di perguruan tinggilah kita semestinya mendapatkan ruang dan kesempatan yang luas untuk meningkat ilmu dan keimanan. Hanya saja, tidak sedikit, yang kuliah orientasi utamanya bukan untuk ilmu dan iman itu, tetapi meraih titel sebagai tiket mendapatkan pekerjaan. Bagi saya ini kurang tepat, untuk tidak mengatakannya keliru.
Hanya dengan ilmulah kita bisa mengarungi samudera kehidupan, yang tidak sedikit bentangan ruang dan waktunya mengalami kegelapan. Ilmulah yang bisa menyelematkan kita dari persoalan yang membuat kita seperti orang-orang buta yang meraba dan mendeskripsikan gajah. Bahkan ilmu bisa menjaga si pemiliknya, tidak sama dengan harta yang justru kitalah yang menjaganya. Ada banyak pesan kebijaksanaan akan urgensi dan implikasi besar serta keutamaan dari sebuah ilmu.
Selain iman, ilmu adalah gizi utama psikis manusia. Ilmu pengetahuan bisa memengaruhi proses algoritmik dalam diri seseorang. Sehingga sikap yang dampak lanjutannya bisa menjadi perbuatan, kebiasaan, karakter dan nasib, tentunya sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan yang dimiliki. Sikap sebagai kecenderungan hati, jika mengikuti cara pandang Ary Ginanjar Agustian, suara kebenaran dan kebaikannya bisa tidak terdengar atau mengalami konversi negatif, salah satunya karena pengaruh literatur. Dan untuk memiliki literatur yang baik, agar tidak menutupi hatinya maka jawabannya adalah ilmu pengetahuan.
Hanya dengan ilmu pengetahuanlah, kita mampu membedakan hal paradoks di tengah kehidupan, yang oleh Yasraf Amir Piliang, telah kehilangan batas-batas, sehingga salah satunya sulit lagi membedakan antara negawaran dan pecundang, ini salah satu contoh saja. Jika mengikuti teori radiasi budaya Arnold Toynbee, maka selain teknologi sains, hanya dengan ilmu pengetahuanlah yang bisa menjadi modal agar peradaban yang kita miliki bisa memberikan pengaruhi bagi peradaban lainnya. Bahkan teknologi sains, tentunya bisa dipandang sebagai anak kandung dari ilmu pengetahuan itu sendiri.
Jika kita merasa, sebagai bagian dari generasi muda Indonesia, dan jika kita mengikuti aksioma John C. Maxwell, bahwa “Masa depan suatu bangsa dan negara 25 tahun yang akan datang tercermin dari sikap generasi mudanya”, maka seharus kita tidak berhenti belajar, terus merintis jalan keilmuan, baik melalui perguruan tinggi maupun melalui jalan lain. Namun, pada substansinya jangan berhenti belajar, terus membaca, dan jika bisa menulislah. Menulis bukan hanya untuk kepentingan mengikat makna, tetapi bisa berfungsi sebagai kerja-kerja keabadian dan mengabadikan. Selain itu sebagai instrumen untuk menyebarluaskan pemikiran, ide, gagasan, inspirasi dan atau motivasi, tanpa kecuali motivasi belajar.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023