YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Diskusi panjang mengenai rencana pembukaan program studi ilmu filsafat di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah bermuara pada satu pertanyaan besar. Memang, apa sebenarnya filsafat khas Muhammmadiyah? Atau apa yang dimaksud dengan filsafat Muhammadiyah? Di antara maksud menjawab pertanyaan besar ini berguna untuk menentukan keunikan dalam prodi ilmu filsafat yang kelak ingin dibuka.
Konsentrasi pada pertanyaan besar mengenai filsafat Muhammadiyah secara ontologis ini juga dipantik oleh pertanyaan Prof. Sjafri Sairin. Beliau mengundang diskusi, “Kalau dipikir, filsafat apa yang dipakai Kiai Dahlan, Pak AR, dan Pak Syafii (contohnya, pen.) sampai bisa hidup bahagia dengan sederhana?”
Sesingkat kata, kita mungkin bisa saja langsung mengarahkan karakter tiga tokoh besar di atas pada nilai-nilai asketisme Islam. Betapa pemahaman teologis-spiritual didalami oleh mereka dengan sedemikian rupa dan terekspresi dalam praktik-praktik zuhud.
Lalu, pada sisi lain dan secara bersamaan, ketiganya juga adalah punggawa-punggawa Islam reformis. Cobalah ingat dalam satu buku tipis Anekdot dan Kenangan Lepas tentang Pak AR. Di dalamnya diceritakan usaha Pak Ar mereformasi cara yasinan komunitas lokal di Sumatra menjadi pengajian Surah Yasin yang dibaca pelan beserta makna kandungan per ayat.
Dengan demikian, apa istilah yang tepat untuk menjelaskan bentuk falsafah Muhammadiyah ini? Mengatakan perkembangan pemikiran “reformisme Islam”-nya Muhammadiyah sama dengan apa yang diawali Muhammad Abduh juga tidak sepenuhnya tepat. Reformisme Islam di Indonesia juga berdinamika dengan kebudayaan tempatan di berbagai belahan daerah.
Maka dari itu, diskusi, perumusan, penelitian, dan kesepakatan bersama rasanya perlu dilakukan. Kesepakatan bukan berarti, poin yang akhirnya dilahirkan lantas dianggap sebagai dogma mati, melainkan ia menjadi batu pijakan untuk terus berkembang pada zaman selanjutnya.
Lalu, dari mana ini akan dimulai? Saya sendiri tergoda mengadopsi cara yang dilakukan Muhamad Al-Jabiri dalam menyusun kritik pada nalar Arab. Mengenai cara beliau mengkritisi konstruksi sejarah Arab dan Islam hari ini dan menawarkan cara rekonstruksi sejarah yang baru. Misalnya, sejarah jazirah Arab harus dibaca secara komprehensif, satu daerah dengan daerah harus dijelaskan keterpautannya, periodisasi yang diperjelas, serta multidimensionalitas pada tokoh-tokoh pemikirnya. Pada aspek terakhir ini menarik, sebab pengetahuan sepotong pada satu tokoh dan ketidaktahuan relasi dengan tokoh-tokoh lainnya justru akan memunculkan sektarianisme dan ketegangan antarkelompok yang nyata terjadi hari ini.
Merekontruksi sejarah Islam adalah penting bagi umat Muslim karena sesungguhnya kita tidak ahistoris. Sebagaimana dikatakan Karen Arsmtrong, orang Islam adalah umat yang perhatian pada sejarahnya. Buktikan saja pada ketegangan umat Muslim “sumbu pendek” (meminjam istilah Buya Syafii Maarif) Sunni-Syiah dewasa ini.
Mengaplikasikan ide Al-Jabiri ini, Muhammadiyah sepertinya perlu juga menyusun ulang sejarah kritis, komprehensif, dan sejarah pemikiran tokoh-tokoh kuncinya secara desentralisasi. Berat, tentu saja. Namun, melalui pemahaman diakronis ini semoga bisa dipetakan apa yang dimaksud falsafah Muhammadiyah.
Hal lainnya, disinggung oleh Sukidi dalam acara yang sama dengan rangkaian Persiapan Pembukaan Prodi Ilmu Sejarah dan Ilmu Filsafat. Ia menyandingkan, gerakan reformisme Islam Muhammadiyah dengan gerakan Protestanisme warga Amerika kelak. Sukidi menyebutnya dengan istilah “puritanisme”, terma yang bersinggungan dengan terma pengganggu stabilitas negara, walaupun sesungguhnya bukan itu.
Kembali pada Al-Jabiri, ia sendiri membaca bahwa reformasi peradaban juga dipengaruhi oleh pemahaman falsafah dan historisitas peradaban sebelumnya. Sebagaimana dilakukan bangsa Eropa yang bangkit dari zaman kegelapan dengan merekontruksi dan memodifikasi ide-ide peradaban besar Yunani dan Romawi.
Bagaimana dengan Islam? Bukankah tadi dikatakan Islam sesungguhnya adalah umat yang sadar sejarah? Maka seharusnya Islam bisa menjadi maju, tidak seperti hari ini yang lekat dengan nilai-nilai kemuduran secara statistik, ya kan?
Sejarah yang dipahami bukan semata-mata dijadikan sebagai glorifikasi atau lebih pahitnya hanya dipakai untuk legitimasi politik. Sejarah seharusnya dipakai untuk berfalsafah dan menjadi salah satu landasan guna memodifikasi permasalahan hari ini. Sebelum sampai sana, rekontruksi sejarah yang kritis dan komprehensif sebaiknya dirintis terlebih dahulu. (Yayum Kumai)