SURABAYA, Suara Muhammadiyah – Tak banyak yang tahu jika warisan benda bersejarah Muhammadiyah ada di Surabaya. Benda itu berupa mesin handpress yang diduga milik KH Ahmad Dahlan buatan Tiongkok, tahun 1930-an.
Mesin handpress tersebut hingga kini tersimpan rapi di Museum Pendidikan Surabaya. Lokasinya di Jalan Genteng Kali Nomor 10, Surabaya.
“Mesin handpress milik KH Ahmad Dahlan ini sebelumnya dipakai di percetakan Muhammadiyah di Karangkajen, Yogyakarta,” ungkap Mochammad Triatmanto Agus, kurator Museum Pendidikan Surabaya, Selasa (9/8/2022).
Namun seperti diketahui bahwa KH Ahmad Dahlan wafat pada tahun 1923. Maka benda bersejarah tersebut bukan dari KH Ahmad Dahlan dan perlu kurasi ulang dari museum ini.
Museum Pendidikan ini diresmikan Tri Rismaharini (waktu itu menjabat wali kota Surabaya) pada 25 November 2019. Salah satu museum tematik untuk pelestarian sejarah dan budaya. Keberadaannya untuk mendukung kegiatan edukasi, riset, dan rekreasi di Kota Pahlawan.
Menurut Agus, mesin handpress ini didatangkan pada tahun 2019 atas bantuan Komunitas Numismatik. Mesin ini dioperasikan menggunakan tenaga manusia. Caranya adalah dengan memutar kendali menggunakan tangan.
“Beberapa plat yang dipakai untuk mencetak juga masih tersimpan. Ada plat yang berbentuk huruf Arab pegon, huruf Jawa, dan lainnya,” jelas Agus.
Selain plat, beberapa barang cetakan berupa rapor sekolah-sekolah Muhammadiyah juga disimpan di dalam museum ini.
Nanang Purwono, pegiat sejarah dan ketua Begandring Soerabaia, menuturkan, jejak sejarah KH Ahmad Dahlan di Surabaya sangat kuat. Pendiri Muhammadiyah itu adalah salah seorang tokoh pergerakan nasional.
Selain KH Ahmad Dahlan, nama-nama tokoh seperti HOS Tjokoaminoto, Agus Salim, KH Mas Mansur, Soekarno, Roeslan Abdulgani, Ahmad Jaiz, Johan Sjaruzah, dan lainnya juga sangat berjasa terhadap perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
Nanang menyebut, KH Ahmad Dahlan seorang ulama kharismatik. Dia juga dikenal sebagai tokoh pembaruan Islam. Masa itu, KH Ahmad Dahlan sering mengadakan pengajian di Surabaya.
“Bung Karno sering ikut pengajian KH Ahmad Dahlan di Surabaya. Hingga dia mendapat dapat julukan santri ngintil KH Ahmad Dahlan,” sebut Nanang.
Nanang mengungkapkan, sebelum didirikan Museum Pendidikan Surabaya, tempat itu dulunya dipakai sekolah Tionghoa. Namanya, Chung Hua Kuo Min School.
“Tahun 1958, Chung Hua Kuo Min School tutup. Gedung sekolah itu kemudian digunakan Perguruan Taman Siswa Surabaya. Perguruan Taman Siswa kemudian membangun gedung sekolah sendiri di kawasan Lontar, Sambikerep,” jabar Nanang.
Lantaran mangkrak, imbuh Nanang, Bu Risma (sebutan Tri Rismaharini) punya ide untuk memanfaatkan aset strategis itu untuk kepentingan masyarakat.
“Museum tersebut menyimpan bukti materiil pendidikan pada masa Pra-Aksara, Masa Klasik, Masa Kolonial dan Masa Kemerdekaan,” pungkas dia. (Agus Wahyudi, jurnalis yang tinggal di Surabaya)