Polemik Eks Napi Koruptor Dapat Mendaftar Calon Legislatif
Oleh: Abdul Wahid
Baru-baru ini ramai Mantan Walikota Bandung, Dada Rosada yang tersandung kasus korupsi dibebaskan dari Lapas Sukamiskin setelah melaksanakan hukuman. Hal tersebut menjadi perbincangan karena loyalis dan kerabatnya meneriakkan “hidup Pak Dada, Calon Gubernur Jawa Barat,” Dada yang mendengar kata-kata tersebut tampak tersenyum. Dikutip Pikiran Rakyat, bahkan ketika ditanya wartawan langsung menyatakan siap. Asal tentu jika diminta masyarakat.
Polemik Bawaslu dan KPU
Polemik terkait eks koruptor dapat mendapatkan diri sebagai calon legislatif menjadi perhatian ketika Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia mengeluarkan surat rekomendasi bahwa eks (bekas) koruptor boleh mendaftar menjadi bakal calon anggota legislatif. Sikap bawaslu berpegang pada ketentuan undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum yang tertuang dalam pasal 240 ayat 1 huruf g UU pemilu yang menyatakan, “Seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik.
Dalam Pasal 28 huruf D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI Tahun 1945) menyebutkan bahwa “setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dalam hal pemilu, hak politik warga negara dalam pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, yakni hak untuk memilih dan dipilih merupakan suatu hak asasi yang dijamin dalam UUD NRI Tahun 1945.
Sementara itu Komisi Pemilihan Umum RI berpedoman pada peraturan Komisi Pemilihan Umum nomor 20 tahun 2018 yang memuat larangan mantan koruptor manjadi calon wakil rakyat. Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 pasal 4 ayat 3 yang menyatakan: “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.” Norma tersebut melarang mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif.
Putusan Mahkamah Agung
Dari sikap kontradiktif antara Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia dan Bawaslu Republik Indonesia dalam menilai layak tidaknya eks koruptor menjadi wakil rakyat. Akhirnya Mahkamah Agung mengeluarkan putusan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 tentang larangan caleg eks koruptor terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.
Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) bertentangan dengan UU Pemilu. Putusan tersebut berakibat pada berubahnya status Tidak Memenuhi Syarat (TMS) bakal caleg napi korupsi menjadi Memenuhi Syarat (MS). Artinya, mantan napi korupsi diperbolehkan untuk maju sebagai caleg. Keluarnya putusan MA terhadap PKPU tersebut, menjadi langkah untuk mengakhiri polemik bakal caleg napi korupsi.
Dampak Putusan Mahkamah Agung
Putusan Mahkamah Agung yang memperbolehkan Eks Napi Koruptor dapat mendaftar sebagai calon legislatif akan berakibat semakin kecil harapan masyarakat untuk mendapatkan para wakil rakyat yang bersih dari korupsi, kolusi dan juga nepotisme, sesuai amanat reformasi yang digaungkan sejak 2 (dua) dekade.
Selain itu, membuat kita sebagai warga negara Indonesia terjebak paradigma (kerangka berfikir) positivistik dalam mengartikan hukum dan mengiplementasikannya dikehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Padahal sejak amandemen ketiga UUD NRI tahun 1945, negara Indonesia adalah Negara Hukum. Bukan recht staat ataupun rule of law, melainkan negara hukum prismatik atau negara hukum pancasila. Hal tersebut secara eksplisit mewajibkan hukum ditegakkan secara proporsionalitas dalam melihat kasus perkasus, tidak terjebak dalam paradigma legalistik atau terbatas sempit hanya tertuju kepada apa yang tertuang dalam undang-undang. Melainkan hukum terus hidup mengikuti perkembangan zaman dalam kehidupan warga negara. Sehingga penegakkan hukum dapat bersifat legalistik juga progresif, mengikuti permasalahan yang dihadapinya.
Progresivisme hukum menjadi indah dan mengindahkan kehidupan warga negara bila dijalankan sesuai dengan nilai-nilai yang lahir, tumbuh, berkembang dan hidup dalam masyarakat. Nilai yuridis penegakkan hukum seiring sejalan dengan nilai filosofis dan sosiologis warga negara, sebagaimana sejarah pendirian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terciptalah apa yang dicita-citakan Profesor Satjipto rahardjo bahwa “hukum untuk masyarakat, bukan masyarakat untuk hukum.”
Bagaimana kita menyikapinya
Sebagai Masyarakat yang cerdas, diharapkan tidak memilih dan mendukung siapa saja calon legislatif eks koruptor, Selain itu para aktivis dapat bersama-sama ikut mengawal dan mengawasi siapa-siapa saja caleg yang berasal dari eks napi koruptor, dan selanjutnya harus mendorong partai politik peserta Pemilu 2024 untuk tidak memberi ruang kepada mantan narapidana kasus korupsi untuk maju ke pemilu legislatif 2024.
Pertimbangan hukum oleh hakim dalam menetapkan suatu putusan wajib memahami rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat secara luas. Rasa keadilan terkadang hidup diluar undang-undang, dan rasa keadilan bergerak menuju keadilan yang hakiki. Karena keadilan dan hukum merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Hakim adalah wakil tuhan dimuka bumi, sehingga putusan hakim diartikan sebuah keputusan yang mulia dan tentunya telah memenuhi seluruh unsur keadilan yang dibutuhkan masyarakat pencari keadilan. Sejatinya Mahkamah juga harus melihat kembali bahwa peraturan yang dibuat oleh Komisi Pemilihan Umum adalah sebuah terobosan hukum dalam menciptakan suasana kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertujuan untuk mencapai penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi.
Abdul Wahid, Bendahara DPP IMM