PURWOKERTO, Suara Muhammadiyah – Mengapa bullying justru masih terjadi di zaman teknologi dan informasi yang semakin maju? Hal itu diungkapkan Dosen Program Studi PG PAUD,Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) Melati Ismi Hapsari SPsi MPsi Psikolog.
Menurutnya, ada banyak faktor yang memperkuat semakin maraknya kasus bullying yang terjadi, pertama bisa jadi ini adalah fenomena copycat. Satu atau dua kasus yang mencuat dan diberitakan berulang-ulang, tanpa disadari menginspirasi anak-anak untuk meniru dan melakukan upaya serupa.
“Meskipun perlu dicatat bahwa pasti ada motif psikologis di balik ini. Tidak mungkin pelaku melakukan copy cat jika ia “baik-baik saja”, biasanya ada dorongan latent yang tersembunyi yang diakibatkan oleh adanya trauma kekerasan atau kemarahan di masa lalu, terutama di early life nya,” kata PhD Candidate, College of Education, Psychology and Social Work Flinders University, Adelaide South Australia itu.
Lebih lanjut Ia mengatakan, ada lebih banyak kasus yang tidak terlaporkan dibandingkan kasus yang terlaporkan atau mencuat ke permukaan, seperti fenomena gunung es.
“Era digital yang segala macam informasi bisa dengan sangat mudah disebarluaskan dan diakses oleh anak-anak serta remaja, mestinya menjadikan para orangtua dan guru lebih mawas diri untuk menjadi teman dan informan yang bijak, membersamai anak dalam memahami diri, memahami situasi, membantu mereka untuk bisa membentengi diri, dan hidup berdampingan dengan gempuran arus informasi dan teknologi,” katanya, Selasa (6/9/2022).
Bagaimana cara pencegahannya?
Menurutnya untuk mencegahnya ada dua definisi, yakni mencegah anak menjadi korban dan juga mencegah anak menjadi pelaku perundungan.
“Anak butuh didengarkan. Seringkali kita sebagai orang dewasa mengabaikan suara mereka. Pola pengasuhan baik di dalam rumah atau di luar rumah terutama di sekolah masih lebih banyak top down. Meskipun anak tetap membutuhkan otorisasi atau kewenangan orangtua atau guru, namun jangan sampai kita lupa bahwa anak memiliki ide, pendapat, persepsi, yang perlu untuk kita dengarkan dan kita hargai,” jelasnya.
Kedua, lanjut Melati, lebih peka dan responsif. Bullying yang terjadi dan terlaporkan biasanya bukan sekali dua kali terjadi, Anak atau korban biasanya sudah mengalami perlakuan perundungan untuk kesekian kalinya, hanya ia tidak mampu mengutarakan atau bahkan ia sendiri tidak menyadari bahwa yang ia alami adalah sebuah perundungan.
“Biasanya hal ini disebabkan anak tidak terbiasa bercerita atau berpendapat, sehingga bahkan untuk memahami isi pikirannya sendiri pun mereka mengalami kesulitan,” jelasnya.
Ketiga, terapkan disiplin positif. Pelaku juga biasanya sudah beberapa kali melakukan perundungan kepada anak tersebut atau teman-temannya yang lain, yang karena lingkungan sekitar tidak menyadari, atau tidak ada kontrol dan konsekuensi yang adekuat, akhirnya ia terus melakukannya lagi.
“Terapkan aturan yang konkrit di rumah dan di sekolah, yang dapat dipahami dengan mudah oleh anak, disertai penerapan konsekuensi yang konsisten, yang didiskusikan dan disepakati dengan anak di awal,” katanya.
Selanjutnya, ajarkan, latih dan biasakan keterampilan asertif. Anak perlu diajarkan dan terbiasa untuk asertif, bagaimana menyampaikan pendapatnya secara tepat dan kuat, aktif tidak pasif, namun tanpa harus menyakiti orang lain atau tanpa menggunakan cara-cara kekerasan.
“Misalnya menyampaikan secara percaya diri dan tegas tentang apa yang mereka suka atau tidak suka, tanpa harus mengikuti paksaan dari teman atau orang lain,” jelasnya.
Kerjasama aktif orangtua, Guru dan Masyarakat dengan Stakeholder. Kementerian pendidikan dan kebudayaan, melalui dinas pendidikan terkait, dan juga kemenppa,
Mengimplementasikan program-program ToT training of trainer untuk anak dan remaja di sekolah.
“Beberapa program yang dirintis oleh beberapa sekolah bekerjasama dengan dinas pendidikan dan psikolog sekolah yakni konseling teman sebaya, pelatihan asertifitas, kader remaja sehat dalam berbagai kegiatan edukasi, sosialisasi dan pelatihan pencegahan perundungan. Kegiatan kegiatan serupa perlu terus digalakan secara kontinyu, tidak berhenti, dan disosialisasikan serta difasilitasi ke banyak daerah,” jelasnya.
Mengapa menjadi pelaku?
Menurut Melati, ada trauma masa lalu terkait dengan pengalaman kekerasan yang pernah diterima terutama di masa kecil atau early life nya. Unfinished busines terkait rasa marah atau kecewa yang terpendam. Ingin menunjukkan popularitas atau dominasinya di lingkungan sosialnya, sehingga ada kepuasan atau kelegaan setelah melakukan perilaku perundungan.
“Pada dasarnya pelaku adalah individu yang insecure dan dengan dominasi, kekerasan atau perundungan yang dilakukan maka ia bisa merasa lebih percaya diri, terutama ketika korban atau orang lain merasa ketakutan,” pungkasnya.(tgr)