YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Setelah tertunda oleh Pandemi Covid 19, akhirnya Muktamar Muhammadiyah ‘Aisyiah yang ke-48 akan diselenggarakan di Solo pada 18-20 November 2022. Forum permusyawaratan tertinggi di Muhammadiyah sekaligus sebagai ajang silaturahmi ini tentu sangat disambut baik oleh warga Muhammadiyah. Terbukti dengan diadakannya event-event muktamar seperti Lomba Kreatif dan Muktamaride serta ramainya pemberitahuan di media sosial. Saya sendiri turut merasakan antusiasme nya lewat teman-teman dan keluarga , yang bahkan sudah janjian di Surakarta untuk bertemu.
Berbicara soal antusiasme, kebetulan pagi ini saya diminta untuk melihat sebuah postingan di Facebook yang diupload oleh Perpustakaan Nasional kemarin, mengenai Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya. Postingan itu menceritakan tentang Nazarudin Rahmat yang merupakan Wakil Dekan Fakultas Publisistik Perguruan tinggi Thawalib dan Ketua Lembaga Pendidikan & Kebudayaan Islam di kotanya Padang Panjang Sumatera Barat. Sesungguhnya saya cukup penasaran, siapa Bapak Nazarudin ini dan kemudian memilih mencari jawabannya di Internet.
Namun, satu jam lebih saya berselancar di internet—sungguh benar satu jam, saya tidak menemukan apapun. Mungkin saja saya luput, namun saya benar-benar sudah memastikan untuk mengetik kata kunci yang sesuai. Dan hanya postingan Facebook itu yang muncul di pencarian paling atas.
Postingan yang bersumber dari Buana Minggu, 9-7-1978, Koleksi Surat Kabar Langka Perpustakaan Nasional RI (SKALA-Team) itu berbunyi : “Suatu hari ia (Pak Nazarudin) mendapat undangan untuk menghadiri Muktamar Muhammadiyah ke 40 di Surabaya. Maka, berangkatlah Pak Nazaruddin dengan membawa keponakannya yang bernama Datuk Raja Bulan (25 tahun) dan anaknya yang no.12 bernama Mutiara Islam (5 tahun). Mereka mengendarai sepeda motor Honda bebek 70 cc. Dengan sepeda motor mereka berangkat dari kota Padang dengan menempuh jarak 3000 km, selama 14 hari.”
Sampai sini, saya yang tidak tahu seperti apa rupa Honda bebek 70 cc dan bahkan, mengingat jauhnya padang-surabaya—teringat harga BBM di tahun ini yang naik secara mengejutkan, saya sempatkan untuk mencari rupa honda dan harga bensin yang ternyata saat itu di tahun 1976an untuk Premium harganya Rp70 dan solar Rp25. Saya terdiam. Terkejut lebih karena belum pernah melihat seperti apa rupa uang 25 Rupiah itu.
Saya langsung telfon ibunda saya, bertanya ditahun itu, seberapa pentingnya uang nominal 25 Rupiah dan beliau tertawa, “Duh, Mba… Jaman dulu ngga banyak orang punya motor. Ibu bahkan lupa pernah liat orang beli bensin apa engga. Uang 25 Rupiah itu, bagi banyak orang pas waktu itu ya jelas uang yang lumayan,” katanya. Kesimpulan saya, effort yang digunakan Pak Nazarudin di waktu itu, sungguh luar biasa.
Postingan tersebut berlanjut :“Saat itu jalanan yang mereka lalui masih serba sulit, kadang mengendarai dengan kecepatan 15 km per jam jalanan licin dan rusak, kadang 25 km atau 30 km. Baru di Sumatera Selatan ditemui jalanan mulus honda bebeknya bisa dikebut sampai 80 km per jam. Perjalanan seringnya dilakukan pada siang hari karena malam hari banyak resikonya juga keberanian, seperti masih banyak perampok beraksi.”
Selesai membaca postingan itu, terlepas dari harga bensin di tahun itu, siapa beliau saat itu, jelas, saya total kagum. Untuk berusaha memenuhi undangan, beliau sempatkan memangkas jarak 3000km dengan medan yang luar biasa. Mungkin kisah yang saya sebut sebagai salah satu antusiasme menjelang muktamar ini hanya berisi kisah singkat. Bisa jadi ada kisah yang jauh lebih luar biasa di luar sana. Yang jelas yang dapat saya pastikan, antusiasme muktamar Muhammadiyah dari tahun ketahun, tidak pernah surut. (Arina)