Sifat Kepemimpinan Profetik untuk Kemajuan Indonesia
Oleh: Agusliadi Massere
Indonesia sebagai bangsa dan negara jika mengikuti dan memahami (minimal) pandangan John Gardner, Soekarno, dan Prof. Haedar Nashir, telah memiliki modal besar untuk menjadi bangsa yang maju, besar, dan bahkan bisa menjadi kiblat peradaban. Modal besar itu antara lain: sesuatu yang mengandung moralitas dalam pandangan Gardner—dalam hal ini adalah Pancasila; konsepsi dan cita ideal dalam pandangan Soekarno; fondasi yang kokoh berupa nilai-nilai ideologis, pandangan hidup dan kepribadian berbasis kebudayaan dalam pandangan Haedar.
Berdasarkan buku Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna (2014) yang disusun dan diterbitkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah—dan saya menilai masih relevan hingga hari ini—“Indonesia masih mengalami kejumudan (stagnasi), penyimpangan (deviasi), dan peluruhan (distorsi) ditimbang dari semangat, pemikiran, dan cita-cita nasional yang diletakkan oleh para pendiri bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945”.
Melihat hasil pengamatan lain, Indonesia pun masih dipandang tertinggal dari derap langkah kemajuan bangsa dan negara lain. Sebagaimana tetap ditegaskan dalam buku Indonesia Berkemajuan, dan saya pun sepakat bahwa tentunya kita tidak boleh mengedepankan perspektif nihilistik, yang memandang Indonesia seakan “jalan di tempat”. Indonesia tetap mengalami kemajuan, yang dalam buku tersebut ditegaskan pula seperti, kemajuan dalam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan suasana kemajukan bangsa yang masih terpelihara. Meskipun terkait kemajemukan ini terkadang ada bisul tetapi masih bisa segera disembuhkan atau diatasi.
Di mata Pimpinan Pusat Muhammadiyah sebagaimana ditegaskan dalam buku tersebut di atas, “Di antara masalah yang cukup serius adalah korupsi yang masif, penegakan hukum yang lemah, kesenjangan sosial yang melebar, sumber daya alam yang dieksploitasi dan dikuasai pihak asing, dan hal-hal lain yang berdampak luas pada kehidupan kebangsaan yang jauh dari cita-cita nasional”. Ditegaskan pula bahwa kehidupan kebangsaan kita diwarnai oleh krisis moral dan etika.
Ada hal, jika mengikuti dan memahami pandangan-pandangan Yudi Latif, sehingga Pancasila sebagai sesuatu yang bisa dipandang modal besar sebagaimana relevansinya terkait perspektif Gardner, Soekarno dan Haedar di atas, yang membuatnya tidak bisa tumbuh subur. Di Indonesia ada sejenis yang oleh Yudi Latif menyebutnya “the love of power” (cinta kekuasaan). Hal ini lebih besar ketimbang “the power of love” (kekuatan cinta) yang dipercayai bisa menjadi lahan subur tumbuhnya Pancasila dan nilai-nilainya.
Atas dasar pandangan, fenomena dan/atau kondisi tersebut di atas sehingga saya tertarik untuk memberikan perspektif dan mungkin sekaligus bisa dipandang sebagai refleksi serta sebagai langkah solutif. Menjadi relevan, mendapatkan ruang urgensitas, signifikansi untuk menginternalisasikan sekaligus untuk mengoktekstualisasikan spirit, nilai, dan sifat “kepemimpinan profetik” sebagai upaya untuk mewujudkan kemajuan Indonesia atau menuju Indonesia Berkemajuan.
Sifat Kepemimpinan Profetik
Dalam QS. At-Taubah [9]: 128 ditegaskan terkait tiga sifat kepemimpinan profektik. “Sungguh telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang beriman.
Terkait ayat tersebut di atas—saya memiliki sisa ingatan terhadap bacaan (kurang lebih) sepuluh tahun yang lalu, meskipun jejaknya untuk menegaskan nama penulis dan buku sumber rujukannya tidak bisa lagi ditemukan/ditelusuri; saya menduga itu dari Kuntowijoyo—ada pemaknaan progresif yang pada substansinya menegaskan tiga hal yang bisa dimaknai sebagai sifat kepemimpinan profetik. Dan tiga hal ini, saya yakini jika diterapkan, diinternalisasikan, dan dikontekstualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan membawa Indonesia menjadi bangsa dan negara yang maju, sejahtera, damai, dan berdaulat.
Azizun alaihi maa anittum (berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami). Khususnya dalam konteks Indonesia, jika para elit negara, pejabat negara, terutama yang punya kendali dalam menentukan suatu kebijakan, mengedepankan sifat kepemimpinan pertama ini, saya yakin bangsa ini akan semakin mengalami kermajuan.
Dari penggalan ayat yang menunjukkan sifat pertama dari kepemimpinan profetik mengandung apa yang disebut dengan sence of cricis (kepekaan), empati, dan simpati. Sence of cricis menjadi hal penting yang harus senantiasa terpancar dari dalam diri seorang pemimpin bangsa. Mereka mampu merasakan apa yang dirasakan oleh masyarakat di akar rumput agar kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dan ditetapkan, adalah hal yang dibutuhkan dan menjadi solusi, bukan justru sebaliknya menambah beban di mana beban sebelumnya belum juga teratasi.
Apa yang saya pahami dalam konsepsi “kesadaran kritis” sebagai salah satu bentuk kesadaran—selain kesadaran magic dan kesadaran naif—yang harus dimiliki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta kehidupan yang penuh rasionalitas dan objektivitas, di dalamnya harus mengandung pula sence of cricis, empati, dan simpati. Dalam nalar kesadaran kritis inilah seorang pemimpin, selain mampu memahami dan merasakan realitas yang ada, terutama sesuatu yang menjadi beban, termasuk pula akan mampu menyadari bahwa persoalan tersebut memiliki relasi dari sikap, tindakan dan kebijakannya.
Kesadaran kritis akan membangun nalar untuk melihat setiap persoalan dalam kacamata struktural dan kultural, tidak semata dilihat atau diorientasikan kepada kesalahan personal dan supranatural atau sebagai takdir yang taken for granted. Kesadaran kritis yang mengandung empati, akan berbeda dengan sikap yang semata bersimpati. Empati melampaui simpati karena dengan berempati selain memahami persoalan secara teoritik, dibarengi pula dengan tindakan nyata untuk melahirkan solusi.
Seorang pemimpin yang memiliki sence of cricis, empati, dan simpati, yang tentunya secara otomatis akan memiliki kesadaran kritis maka bisa dipastikan tidak akan melakukan korupsi. Mereka akan memahami bahwa korupsi korelasinya bukan hanya pada persoalan ganjaran berupa dosa dan neraka di akhirat kelak, tetapi memiliki relasi langsung atau memiliki korelasi positif terhadap tingkat kesejahteraan atau kemakmuran rakyat.
Warga negara, khususnya para pemimpin atau elit bangsa yang memiliki kepekaan, empati dan atau simpati tidak akan ada, baik dirinya maupun orang lain, yang mengalami nasib seperti cerita “si katak” yang mati dalam air mendidih karena terlambat menyadari perubahan yang terjadi di sekitarnya bahkan sebaliknya, sebelum kematiannya, merasakan kegembiraan atau kegirangan karena merasa berada dalam “zona nyaman”.
Harisun ‘alaikum, (Dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu. Penggalan kedua ini, dari ayat tersebut di atas mengandung sifat kepemimpinan profetik. Pemimpin atau siapa saja yang memiliki sifat kepemimpinan profetik kedua ini, akan senantiasa memiliki sence of achievement. Dia atau mereka memiliki semangat yang menggebu-gebu agar masyarakat dan bangsa mencapai keunggulan.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, semangat dari seorang pemimpin terutama dalam mencapai keunggulan akan menjadi energi dahsyat yang akan menggerakkan masyarakat untuk bersama-sama membangun kolaborasi dan sinergi untuk bergerak bersama dalam menjalankan misi. Dalam pandangan dan pemahaman sederhana pun, ketika pemimpin punya semangat yang kuat, maka secara psikologis akan memengaruhi semangat orang-orang yang dipimpinnya. Hal sebaliknya pun sering terjadi. Apalagi ketika menggunakan filosofi bahwa pemimpin itu adalah “kepala”.
Sejarah telah mencatat, keberhasilan suatu bangsa untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan sangat ditentukan oleh semangat para elit bangsanya. Terutama yang berdiri di depan sebagai pemimpin. Apalagi keinginan atau semangat yang besar untuk “keimanan” dan “keselamatan” jika diintegrasikan muaranya adalah kemerdekaan dan kedaulatan.
Indonesia bisa dipandang telah mencapai kemerdekaan. Selanjutnya yang harus diperjuangkan secara maksimal adalah kedaulatan dengan berbagai dimensinya. Tulisan saya pekan lalu, menegaskan pula pentingnya kedaulatan akhlak sebagai basis nilai dalam mengelola negara.
Ra’ufur rahim(un), pengasih dan penyayang. Jika memperhatikan Lima Tangga Kepemimpinan Ary Ginanjar Agustian, pemimpin tingkat pertama dan utama adalah “Pemimpin yang Di[Men]cintai”. Ary Ginanjar menegaskan “Anda bisa mencintai orang lain tanpa memimpin mereka, tetapi Anda tidak bisa memimpin orang lain tanpa mencintai mereka”. Jadi syarat utama dan pertama untuk menjadi pemimpin idealnya adalah memiliki rasa cinta yang amat dalam terhadap orang yang dipimpinnya.
Menjadi pemimpin idealnya bukan karena dorongan “the love of power” (cinta kekuasaan) tetapi lebih karena dorongan “the power of love” (kekuatan cinta) yang bergelora dalam jiwa. Saya teringat suatu penggalan narasi dari tulisan Yudi Latif, meskipun lupa diksi tepatnya, tetapi pada substansinya bisa diinterpretasikan ulang, bahwa ketika seseorang memiliki semangat yang tinggi untuk menjadi seorang pemimpin tanpa dibarengi dengan kapasitas yang memadai, semangat melayani, tentunya termasuk the power of love, hanya modal dengkul dan nafsu material semata—saya menyebutnya saja seperti itu—sama saja dengan perilaku koruptif.
Kasih sayang, atau mungkin bisa juga diistilahkan dengan welas asih atau etika cinta-kasih mampu menjadi etos yang akan menggerakkan, mengobarkan semangat, dan menarik energi yang akan memantik kepekaan, empati dan simpati. Kasih sayang atau etos welas asih—jika kita meminjam cara pandang dr. Soetomo (Pendiri Budi Utomo)—“Merupakan kritik atas Darwinisme sebagai paradigma pemikiran Barat modern yang meletakkan seleksi alam atas kekuatan individual. Darwinisme tidak memberikan kekuatan kaum lemah untuk menjadi berkemajuan”.
Dari pandangan dr. Soetomo di atas bisa pula ditarik garis relasi dengan sifat kepemimipinan profetik ketiga ini, untuk selanjutnya dimaknai, bahwa pemimpin yang mengedepankan kasih sayang maka akan mendorong semangat kolaborasi, dan berjuang maksimal melalui kebijakan-kebijakannya untuk mengangkat kaum lemah agar mengalami transformasi kehidupan menjadi lebih sejahtera dan berkemajuan.
Agusliadi Massere, Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.