Catatan Kritis Pra-Tanwir (3): Mengisi Ruang Kosong Konstitusi IPM

Catatan Kritis Pra-Tanwir (3): Mengisi Ruang Kosong Konstitusi IPM

Catatan Kritis Pra-Tanwir (3): Mengisi Ruang Kosong Konstitusi IPM

Sudah jamak diketahui, hampir setiap musyawarah, sebagian pihak akan mencari-cari celah dalam konstitusi untuk mendapatkan hal-hal yang diinginkan. Ayat-ayat AD ART yang jarang dibaca itu tiba-tiba menjadi begitu penting ketika pra dan pasca permusyawaratan. AD ART memang produk manusia. Maka, ia tidak sempurna. Ia meninggalkan beberapa ‘ruang kosong’ yang bisa ditarik ke kanan dan ke kiri sesuai kepentingan pihak tertentu.

Selain ruang kosong, masih terdapat ayat-ayat dan pasal-pasal yang punya sifat karet alias fleksibel. Ayat-ayat itu juga bisa ditarik ke kanan dan ke kiri oleh orang-orang yang berkepentingan. Ayat-ayat dalam pasal karet itu tentu berpotensi menguntungkan satu pihak sekaligus merugikan pihak yang lain. Asas keadilan dapat dicederai atas nama tafsir konstitusi yang sarat kepentingan.

Tentu konflik adalah suatu hal yang niscaya. Tidak mungkin manusia hidup tanpa konflik. Namun, tetap perlu ada upaya-upaya untuk meminimalisir konflik-konflik itu agar tidak membesar dan merugikan pihak-pihak tertentu. Sependek hemat saya, tidak ada kader IPM yang secara sengaja menciptakan atau memelihara konflik. Kader-kader itu punya hati yang tulus nan mulia. Namun, karena ada sesuatu yang terbatas yang diperebutkan oleh banyak orang, atau karena ada kepentingan yang berbeda bahkan berlawanan, konflik itu sering muncul secara alamiah.

Salah satu cara untuk memastikan agar konflik-konflik lampau yang telah terjadi tidak terulang kembali adalah dengan menutup celah-celah ruang kosong sekaligus mempertegas ayat-ayat dalam konsitusi IPM. Baik di AD ART maupun di aturan-aturan lain yang sifatnya mengikat, seperti Pedoman Persidangan. Ruang kosong yang bisa ditarik ke kanan dan ke kiri tersebut antara lain:

Pemberlakuan Perubahan AD ART

Kapan AD ART yang baru saja dirubah dan disahkan mulai berlaku? Apakah pasca pengesahan AD ART di salah satu pleno Muktamar? Sehingga pleno sebelum pleno pengesahan menggunakan AD ART lama, begitu masuk pleno pasca pengesahan langsung menggunakan AD ART baru? Atau setelah AD ART baru ditanfidzkan dan dikirimkan ke PW IPM se Indonesia?

Mungkin, sebagian kader IPM dapat menemukan pasal-pasal yang secara sekilas tampak membicarakan hal ini. Namun, tentu hukum tidak berangkat dari teks yang tersirat, melainkan harus tersurat secara tegas. Maka, untuk mempertegas hal itu, kapan waktu pemberlakuan AD ART baru mestinya juga ditulis di AD ART itu sendiri. Karena perubahan AD ART ke depan, sependek pengetahuan saya, akan terus berubah seiring perubahan zaman.

Legalitas Administrasi Pasca Permusyawaratan Pra-Pelantikan.

Hal ini juga kerap mengundang polemik. Siapa yang paling punya otoritas di IPM ketika musyawarah sudah selesai sementara pimpinan baru belum dilantik? Apakah formatur yang diwakili oleh Ketua Tim Formatur? Atau justru Ketua Umum dan Sekretaris Umum terpilih? Bagaimana jika kedua belah pihak itu berpolemik? Siapa yang lebih sah dan berhak untuk memutuskan? Siapa yang berhak memimpin jalannya rapat formatur kedua dan seterusnya ketika Ketua Umum dan Sekretaris Umum sudah terpilih? Apakah Ketua Umum terpilih atau Ketua Tim Formatur?

Sementara pimpinan yang lama sudah habis masa jabatan dan sudah membacakan laporan pertanggungjawaban. Sehingga tidak memiliki wewenang apapun.

Wilayah ini merupakan wilayah abu-abu lain yang tidak menutup kemungkinan ke depan akan terus diperdebatkan. Maka, seyogyanya konstitusi IPM segera mengatur secara tegas.

Masa Jabatan

Di Pasal 25 ayat 2 Anggaran Dasar IPM ditegaskan bahwa pimpinan di setiap tingkatan maksimal menjabat selama dua periode. Tapi, bagaimana dengan orang yang menjabat selama 1,5 periode? Di mana kasus ini terjadi tentu Anda sudah mafhum. Tentu kita berharap agar polemik seperti ini tidak terulang kembali.

Di Tanwir Sorong yang beberapa hari lagi akan digelar, ada beberapa nama yang konon akan masuk ke struktural PP IPM. Nama-nama yang masuk di Tanwir tersebut bisa jadi akan menghadapi persoalan yang sama. Di Muktamar 2023, mereka dihitung telah menjabat selama 0,5 periode. Di Muktamar 2025, mereka terhitung menjabat selama 1,5 periode.

Setengah itu nol atau satu? Dua-duanya bisa benar. Selama tidak ada konstitusi yang mengatur secara tegas, tafsir itu bisa ditarik ke kanan dan ke kiri. Jangan sangka kasus ini hanya terjadi di IPM.

Bambang Dwi Hartono adalah mantan Walikota Surabaya. Pada tahun 2010, ia dianggap sudah menjabat dua periode. Tapi, di periode pertama, ia hanya menggantikan walikota yang dilengserkan: Sunarto. Waktu itu Sunarto menjabat belum genap setengah periode. Bambang adalah wakilnya. Bambang lalu naik sebagai walikota pada tahun 2002. Menyelesaikan masa jabatan Sunarto hingga tahun 2005.

Di tahun itu, ia maju lagi. Menang. Di tahun 2010, PDI-P mencalonkan Bambang untuk menjadi walikota lagi. Namun, saat itu muncul perdebatan, apakah setengah masa jabatan di awal itu dihitung satu atau nol? Publik berdebat. Riuh sekali.

Mahkamah Konstitusi lalu menabuh gong. Waktu itu MK dipimpin oleh Mahfud MD. Kata MK, kalau sudah lebih dari 1,5, berarti sudah dua periode. Kalau belum genap 1,5, berarti baru satu periode. Bambang telah menjabat lebih dari 1,5 periode. Maka ia tidak bisa maju.

Masalahnya, jalan tengah seperti itu sulit diterapkan di IPM. Pertama, IPM tidak memiliki Mahkamah Konstitusi. Kedua, kebanyakan kader IPM yang tersandung kasus 1,5 adalah karena masuk di Tanwir. Berarti, harus dihitung apakah jarak Tanwir ke Muktamar itu satu tahun kurang atau satu tahun lebih. Ini adalah salah satu jalan tengah yang bisa ditempuh. Jika memilih ini, maka aturannya harus masuk ke dalam AD ART.

Namun tentu tidak harus sama persis dengan putusan MK. IPM bisa mengambil jalan lain. Setengah itu bisa dihitung satu dan bisa dihitung nol. Semua benar. Tinggal konstitusi berbunyi bagaimana. Maka dalam hal ini konstitusi harus bicara. AD ART harus tegas. Tim perumus AD ART harus memutuskan. Terserah. Semua benar. Yang penting disepakati dan masuk sebagai landasan konstitusi yang kuat.

Tentu, di luar tiga poin di atas, masih terdapat beberapa ruang kosong yang lain. Misalnya, apa yang dimaksud dengan melakukan tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar perjuangan IPM di Pasal 8 Anggaran Dasar tentang Pemberhentian Anggota.

Buat yang akan berangkat Tanwir di Sorong, hati-hati di jalan!

Yusuf R Yanuri, Kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah

Exit mobile version