“Ikhtilat” dalam Jalan Sehat?
Oleh: Abduh Hisyam, Anggota Korps Mubaligh Muhammadiyah Kebumen
Jalan sehat dalam rangka Gebyar Muktamar yang diselenggarakan Ahad 11 September 2022 lalu merupakan salah satu sarana syiar dakwah Muhammadiyah. Kita mengajak seluruh masyarakat Jawa Tengah pada umumnya dan Kebumen pada khususnya untuk ikut bergembira karena akan menjadi tuan rumah muktamar Muhammadiyah, sebuah perhelatan Persyarikatan tingkat nasional. Kita bersyukur bahwa sebanyak 27 ribu orang warga Kebumen ikut serta bergembira dalam kegiatan dakwah ini.
Dengan menjadi peserta jalan sehat dalam rangka Gebyar Muktamar, warga Kebumen diharapkan 1)ikut bergembira dan bahagia karena Muhammadiyah akan menyelenggarakan muktamar, 2)menyadari bahwa Muhammadiyah telah berjuang demi kemaslahatan masyarakat luas, 3)tertanam pada diri mereka ruh perjuangan Muhammadiyah sehingga mereka siap beramal dan ikut serta mendorong dakwah Muhammadiyah.
Salah satu prinsip dakwah Muhammadiyah adalah ‘menggembirakan’ (tabsyir). Jalan sehat adalah bagian dari cara Muhammadiyah berdakwah. Dakwah bukan hanya berupa pengajaran lewat majelis-majelis taklim di masjid, ruang sekolah atau rapat-rapat. Dengan jalan sehat, masyarakat hadir bersama anggota keluarga, berjalan riang dengan tetap santun dan menjaga kebersihan. Dalam acara jalan sehat tempo hari Muhammadiyah menunjukan bahwa perhelatan besar yang diikuti 27 ribu orang tidak menyebabkan sampah yang berserakan. Panitia menyediakan tim kebersihan, karena kaum beriman memang harus cinta kebersihan.
Pada saat para penggerak dakwah Muhammadiyah bergembira karena sukses menyelenggarakan jalan sehat, tiba-tiba muncul seorang mubalighat senior yang mengecam acara itu sebagai penuh maksiat dan melanggar ajaran agama. Ia menyampaikan itu dalam sebuah grup whats app (WA) dengan mengatakan bahwa jalan sehat adalah sebuah ikhtilat. Bagi yang faham tentang ajaran fiqih, ikhtilat الاختلاط yang terjadi pada saat acara jalan sehat yang diadakan di jalan protokol dan alun-alun kota dengan dijaga petugas kemanan dan diikuti oleh peserta yang berpakaian dan berperilaku sopan, bukan sesuatu yang melanggar agama.
Telah disepakati oleh para ulama bahwa tujuan diturunkannya syariat adalah agar manusia dapat hidup dengan mudah (prinisp “taysir”) dan gembira (prinsip “tabsyir”) dengan menjaga lima hal, yaitu: menjaga kehidupan, menjaga agama, menjaga akal, menjaga harta, dan menjaga keluarga/kehormatan. Lima hal ini merupakan prinsip pokok (daruriyat). Jika salah satu dari lima prinsip itu hilang, maka tatanan kehidupan akan mengalami kekacauan. Inilah tujuan dari diturunkannnya syariah atau maqasid as-syariah.
Ikhtilat. Apa itu?
Ikhtilat الاختلاط berasal dari kata khalata خلط yang artinya bercampur atau berkumpul; yang dimaksud dengan ikhtilat yang diperdebatkan dalam grup WA itu adalah adalah berkumpulnya laki-laki dan perempuan tanpa mahram dalam satu tempat.
Pertanyaannya adalah: apakah berkumpulnya laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dalam satu tempat adalah terlarang? Sebagaimana bidang muamalah dalam hidup manusia, ikhtilat dapat dibolehkan dan dapat pula terlarang.
Bedakan antara ikhtilat dengan khalwat. Khalwat خلوة adalah berkumpulnya seorang lelaki dan seorang perempuan yang bukan mahram di sebuah tempat yang tidak ada orang lain di situ. Khalwat ini dapat menimbulkan tindak kejahatan dan tindak maksiat. Khalwat adalah perbuatan ikhtilat yang terlarang.
Dalam aktifitas hidup sehari-hari, masyarakat kita telah terbiasa ber-ikhtilat di pasar, di tempat-tempat umum seperti stasiun kereta, bandara, rumah sakit, sekolah, di universitas, dan di tempat ibadah. Bahkan pada musim haji, masjdil haram penuh dengan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Bukan hanya bercampur, mereka bahkan berdesak-desakan.
Mereka ber-ikhtilat dalam melaksanakan tawaf. Namun tidak ada kemaksiatan di situ, karena semua orang fokus beribadah. Dalam melaksanakan tawaf yang terjadi adalah ikhtilat antara laki-laki dan perempuan, namun ikhtilat itu tidak memungkinkan seseorang –selagi berpikiran sehat—untuk melakukan perbuatan maksiat karena banyak orang dan dijaga oleh petugas keamanan.
Di tempat-tempat umum seperti pasar, stasiun, dan bandara, sudah diterapkan keselamatan untuk anak-anak, perempuan, orangtua, dan kaum difabel. Walau Indonesia bukan negara yang secara resmi berdasarkan Islam, namun prinsip-prinsip maqasid as-syariah telah diterapkan dalam hukum negara kita. Petugas keamanan siap mengawal masyarakat dan CCTV telah dipasang di tempat-tempat umum untuk meminimalisir terjadinya kejahatan dan kemaksiatan.
Ikhtilat telah ada dan terjadi semenjak zaman awal kelahiran agama Islam. Dalam Sirah Nabawiyah disebutkan bahwa kaum mu’min baik laki-laki dan perempuan telah terbiasa bepergian ke pasar dengan tanpa mahram untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Di Madinah sudah terbiasa terjadi ikhtilat antara laki-laki dan perempuan bahkan di pasar Banu Qaynuqa yang didominasi orang-orang Yahudi. Kaum perempuan juga bercampur baur (berikhtilat) dengan laki-laki saat membantu Rasulullah dalam Perang Uhud, di mana mereka berperan sebagai perawat bagi para prajurit yang terluka.
Mubaligh Muhammadiyah/Aisyiyah sudah seharusnya bersikap terbuka terhadap kemajuan zaman dan memperluas literasi keagamaan. Warga Muhammadiyah tidak boleh bersikap jumud dengan hanya mengambil pendapat satu orang ulama saja. Pendapat tentang pengharaman jalan sehat karena ihktilat adalah pandangan yang jumud. Para mubaligh Persyarikatan harus menjauhi paparan virus-virus salafi yang tidak sejalan dengan manhaj Muhammadiyah.