Perspektif Profetik Ekologi dan Strategi Aksi

ekologi

Foto Ilustrasi Cifor/Flick

Perspektif Profetik Ekologi dan Strategi Aksi

Oleh: Dr. Achyani, M.Si, Dosen S2 Pendidikan Biologi UM Metro

Ekoprofetik

Dengan etika dan ahlak, manusia akan memerankan dirinya sebagai seorang khalifah di muka bumi untuk menjaga dan melindungi alam semesta dan segala isinya (QS 2: 30), bukan seorang eksploitator rakus yang menganggap alam dan seluruh isinya sekedar bernilai instrumental-ekonomis bagi kepentingan manusia. Di bumi, manusia memang didapuk sebagai khalifah tetapi bukan berarti yang paling kuat. Justru posisi manusia di bumi merupakan salah satu rantai terlemah.

Manusia sangat tergantung makhluk hidup lain. Misalnya saja, tanpa tumbuhan manusia tidak akan melangsungkan kehidupannya karena manusia sangat tergantung suplai oksigen dari tumbuhan. Selain itu, manusia juga tidak mampu mengolah sendiri sisa metabolisme yang dihasilkan, seperti CO2. Bila dibiarkan menumpuk maka CO2 akan membahayakan kehidupan manusia.

Hasil penelitian menunjukan tumbuhan (dominn dihutan) dapat menyerap sekitar 5 milyar ton CO2 yang berasal dari aktiftas manusia. Bisa dibayangkan betapa hancurnya bumi ini bila tidak ada tumbuhan. Lebih dari itu semua, bumi ini kondisinya sudah sangat baik ketika manusia belum hadir dibumi. Jadi, sebenarnya manusia yang membutuhkan mereka dan bukan sebaliknya.

Allah SWT sudah mewanti-wanti kita dalam beberapa ayat Alquran agar manusia tidak merusak alam, khususnya bumi yang dihamparkan untuk kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Bumi ini diciptakan oleh Allah dalam kondisi yang sebaik-baiknya (Jangan lah kamu membuat kerusakan dibumi setelah diciptakan dengan sebaik-baiknya. Itulah yang terbaik bagimu jika kamu orang beriman(QS: Al-A’raf 85).

Hal senada dikatakan juga dalam surat yang sama ayat 56). Satu kesmpulan ayat yang jelas dari ayat tersebut : orang yang beriman pastilah tidak akan merusak bumi dan segala isi nya karena ingin menghargai ciptaan Allah yang sudah di rancang dengan sebaik – baiknya. Hal ini ditegaskan pula dalam surat Al-Qamar 49 : Sungguh, kami menciptakan segala sesuatu sesuai ukuran.

Alam terhampar dan berkembang mengikuti logikanya sendiri. Sebuah logika organis yang mengutamakan keseimbangan, keintegralan, keragaman, dan keberlanjutan. Semuanya berlangsung dalam proses rumit namun sangat teratur, terstruktur, terukur, dan tanpa cacat. Sebagaiamana difirmankan Allah SWT dalam al-Quran surat al-Mulk ayat 3-4, yang artinya:

“….kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Allah Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihat berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang” (QS 67:3). “ Kemudian padanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu tidak menemukan sesuatu yang cacat dan (sampaai) penglihatanmu itupun dalam keadaan lelah (QS 67:5).

Sedemikian cermatnya Allah menciptakan alam ini sehingga jutaan species yang ada dibumi dapat saling berinteraksi, baik dalam bentuk simbiosis mutualiasme, komensialisme, maupun parasitisme. Tentu saja untuk mendukung bentuk-bentuk interaksi tersebut diperlukan keseimbangan jumlah yang proporsional untuk masing-masing species yang berinteraksi. Semuanya berlangsung secara berkesinambungan selama milyaran tahun sejak semula alam diciptakan. Artinya, alam ini sudah ada dalam bentuk keseimbangannya sebelum manusia ada, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qur’an yaitu ketika Allah mengangkat Adam AS sebagai seorang khalifah di bumi.

Sebagai negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4 di dunia, ditambah rendahnya kesadaran dan kedisiplinan penduduknya, Indonesia terus mengalami kerusakan ekosistem yang semakin masif. Bahkan, baru-baru ini Indonesia tercatat dalam guinness book of record sebagai negara tercepat kerusakan hutannya. Sebelumnya, Indonesia mendapat predikat sebagai negara tercemar di Asia. Wajar, bila bencana demi bencana ekosistem akan terus terjadi, dari yang berskala kecil atau diangap kecil karena ketidaktahuan kita akan efek jangka panjangnya, sampai bencana yang menimbulkan puluhan bahkan ratusan korban jiwa.

Setidaknya sudah sepuluh tahun terakhir, tanda-tanda adanya ketidakseimbangan ekosistem pun semakin nyata seperti terjadi banjir dan longsor pada setiap musim hujan dan kekeringan pada setiap musim kemarau; walau hanya hujan sebentar sudah menimbulkan banjir atau kemarau belum mencapai hitungan bulan air tanah sudah mengering. Bencana-bencana tersebut sudah menjadi rutinitas.

Belum lagi munculnya berbagai penyakit baru di sejumlah tempat seperti flu burung dan cikungunya, dan penyakit lama yang masih terus mewabah seperti Demam Berdarah dengue (DBd), malaria, dan muntaber, seolah menguatkan bahwa kita hidup di ekosistem yang tidak memiliki daya dukung (carrying capacity ) yang memadai lagi. Allah SWT dalam al-Quran al-A’raf sudah mewanti-wanti: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah diciptakan sebaik-sebaiknya”.

Pandangan Keraf (2010), barangkali dapat menerangkan berbagai fenomena di atas secara mendasar. Menurutnya, bencana demi bencana ekosistem yang kita alami dewasa ini sesungguhnya bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia mengenai dirinya, alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Pada gilirannya kekeliruan cara pandang ini melahirkan perilaku keliru terhadap alam. Manusia keliru memandang alam dan keliru menempatkan diri dalam konteks alam semesta seluruhnya. Dan inilah awal dari semua bencana ekosistem hidup yang kita alami sekarang ini.

Strategi Aksi

Berarti, persoalan kerusakan ekosistem saat ini sejatinya adalah persoalan mentalitas dan ahlak manusia. Dalam keadaan demikian perlu pendekatan etika dan moral untuk dikedepankan dan sangat tidak memadai jika diselesaikan menggunakan pendekatan teknis parsial semata. Pembenahannya harus pula menyangkut pembenahan cara pandang, moralitas, dan perilaku manusia dalam berinteraksi dengan alam maupun dengan manusia lain. Jalur pendidikan (umum dan ahlak) dan hukum (penegakan hukum lingkungan) adalah pilihan paling logis sebagai jawabannya.

Jalur pendidikan formal dan agama ditempuh untuk rekayasa sosial (social enginering) dan membangun etika dan ahlak generasi muda kita yang memiliki jangkauan ke depan, sedangkan sangsi hukum bersifat kuratif. Etika dan ahlak berfungsi sebagai pedoman bagaimana manusia seharusnya hidup, dan bertindak sebagai orang yang baik dalam arti bisa menempatkan perannya secara tepat di alam semesta ini. Etika yang mengharmonisasi interaksi antara manusia dengan ekosistem seperti yang dikenal sebagai tradisi yang ramah ekosistem sudah secara baik dipraktikan oleh nenek moyang kita.

Pengetahuan ekologi yang mendalam dan turun menurun membentuk aturan-aturan adat untuk pelestarian ekosistem hidup seperti tercermin pada pengertian tabu atau sakral sebenarnya sudah ada sejak dulu kala. Pengetahuan dan perilaku penduduk pedalaman yang ramah ekosistem tersebut dikenal sebagai kearifan tradisional atau lokal. Termasuk di dalamnya pelbagai pengetahuan asli (indegenous sciences) yang dimiliki penduduk pedalaman misalnya pengetahuan tentang bermacam-macam obat yang diambil dari alam sekitar.

Masih banyak penduduk pedalaman yang mempertahankan kearifan tradisional tersebut hingga sekarang. Namun, tidak sedikit pula yang tergiur keuntungan sesaat sehingga kearifan lokal yang meraka miliki secara perlahan mulai luntur dikalahkan oleh kerakusan globalisasi. Penduduk pedalaman yang dulu dengan teguh menjaga kelestarian hutannya, sekarang sebagian dari mereka malah terlibat dalam mengeksploitasi hutannya mengikuti aturan-aturan para cukong kayu yang mengejar keuntungan sesaat. Hal yang sama terjadi di pantai, para nelayan yang dulu berpantang merusak hutan mangrove dan terumbu karang, sekarang sebagian dari mereka tidak lagi mempertahankan tradisinya itu karena lagi-lagi demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

Seharusnya manusia menyadari, atas dasar apa manusia mengklaim dirinya lebih penting daripada makhluk lainnya di alam? Tanpa air dan tanah, tanpa makhluk hidup lain, manusia tidak dapat bertahan hidup karena manusia hanya satu entitas yang bergantung pada makhluk lain di alam semesta ini. Bahkan, boleh dikata manusia merupakan titik lemah dalam rantai makanan di alam. Kenyataan ini dengan mudah dapat kita lihat dengan mengandaikan di bumi ini tidak adan tumbuhan atau hewan. Dari manakah kita mendapatkan oksigen dan makanan? Sebaliknya seandainya tidak ada manusia, makhluk hidup lain tetap dapat melangsungkan kehidupannya, seperti terlihat dari sejarah bumi sebelum ada manusia.

Sudah saatnya dan sepantasnya kita semua tidak terus menerus mengandalkan penduduk pedalaman untuk menyelamatkan ekosistem hidup sekitar. Kalau mereka bisa mengembangkan kearifan dalam berinteraksi dengan ekosistemnya, mengapa kita yang dibekali pendidikan, teknologi, dan ekonomi yang (mungkin) lebih baik dari mereka tidak bisa mengembangkan gerakan kearifan merawat ekosistem hidup secara lebih baik.

Dalam kondisi demikian, sudah saatnya revitalisasi etika lingkungan menjadi agenda bersama dan utama sebagai upaya mengatasi percepatan kerusakan ekosistem hidup, khususnya di Indonesia. Suatu etika yang tidak hanya berlaku untuk berinteraksi dengan sesama manusia, tetapi juga interaksi manusia dengan seluruh kehidupan di bumi. Suatu etika yang memandang alam sebagai bernilai pada dirinya sendiri dan pantas diperlakukan secara bermoral.

Dengan etika dan ahlak, manusia akan memerankan dirinya sebagai seorang khalifah di muka bumi untuk menjaga dan melindungi alam semesta dan segala isinya. Dan bukan seorang eksploitator rakus yang menganggap alam dan seluruh isinya sekedar bernilai instrumental-ekonomis bagi kepentingan manusia. Dengan membangun gerakan bersama seperti itu, budaya ramah ekosistem bisa dimulai, dipertahankan, diajarkan dan diwariskan dari satu orang ke orang lain, dari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu generasi ke generasi lain

Faktor gaya hidup (life style) manusia harus menjadi agenda utama perubahan karena telah terbukti sebagai penyumbang terbesar terhadap kerusakan ekosistem hidup saat ini. Seperti efisiensi bahan-bahan yang berasal atau diekstrasksi dari ekosistem. Kerelaan untuk berkorban (willingness to sacrefice) dengan cara mengurangi kenikmatan dari bahan atau makanan yang kita konsumsi secara signifikan akan membantu menyelamatkan ekosistem. Sebagai contoh, jika singkong dimakan secara direbus saja sudah nikmat mengapa harus digoreng atau dibikin kue yang menggunakan aneka warna dan pewangi yang diekstrak dari alam. Bila satu orang yang melakukan itu tentu saja tidak akan ada dampak apa-apa terhadap ekosistem. Tapi, kalau yang berbuat seperti itu ada ribuan, bahkan jutaan orang, tentu akan sangat banyak bahan yang diekstrasi dari ekosistem sekitar.

Begitu juga penggunaan bungkus berbahan organik harus menjadi keinginan dan kemauan kita. Penggunaan kantong plastik di pasar-pasar, toko, supermarket perlu segera diganti dengan daun atau kertas. Berdasarkan survei kantung plastik adalah bahan pencemar terbesar di sungai dan tanah. Bagi orang yang berkecukupan dan pejabat harus rela mengurangi penggunaan AC di ruangan dan mobilnya. Bila penggunaannya tidak bisa dihindarkan, gunakan suhu AC yang tidak terlalu rendah karena semakin rendah stelen suhu AC maka akan semakin banyak panas yang dibuang ke ekosistem dan berkontribusi besar tehadap pemanasan global yang saat ini semakin nyata kita rasakan dampaknya. Termasuk asesoris pakaian, mobil, dan rumah yang berasal dari bahan alam untuk tujuan eksklusifitas penampilan hendaknya dihindari.

Etika dan ahlak memang diperlukan manusia. Manusia tanpa etika dan ahlak bukanlah manusia. Tetapi dari segi praktis, etika sering kali kurang kuat sebagai driving factor bagi manusia untuk melestarikan ekosistem hidup. Dalam kondisi demikian etika harus disertai pertimbangan yang langsung mengenai kepentingan praktis manusia. Misalnya, kerusakan hutan akan menyebabkan banjir, lubang ozon akan menyebabkan jumlah orang buta bertambah karena katarak dan kanker kulit, pemanasan global dapat menenggelamkan desa dan kota yang dekat dengan pantai, timbal yang berasal dari buangan kendaraan bermotor akan menurunkan IQ dan menyebabkan impotensi. Semuanya itu membuat manusia menderita.

Agenda seting penyelamatan ekosistem perlu diperlebar jangkauannya. Gerakan penyelamatan ekosistem hidup perlu mentransformasikan dirinya menjadi gerakan sosial dan politik yang melibatkan seluruh komponen masyarakat seperti buruh, petani, nelayan, guru, kaum profesional, pemuda, remaja, anak-anak, kaum perempuan, dan politisi.

Sensitivitas para politisi di negeri ini terhadap isu-isu ekosistem pun perlu ditingkatkan dan sudah saatnya mereka menempatkan kepentingan ekosistem hidup pada posisi tawar tinggi. Karena, di dalam ekosistem hidup terdapat hak-hak dasar (basic rights) manusia dan prinsip keadilan ekosistem serta akses yang setara terhadap sumber-sumber kehidupan.

Pada kasus-kasus pembebasan tanah masyarakat untuk Hutan Tanaman Industri, khususnya di Provisi Lampung misalnya, rakyat yang terkena dampak kegiatan proyek tersebut seharusnya tidak mengalami nasib yang mengenaskan seperti sekarang bila hak-hak dasar penduduk yang telah tercerabut sedemikian rupa mendapatkan kompensasi yang sepadan (environmental justice) setelah memperhitungkan kerugian dari segala aspek dan tidak dikalahkan oleh pertimbangan profit perusahaan. Hal yang sama berlaku untuk makhluk hidup lain meskipun berbeda dalam implementasinya.

Bila saja para calon pemimpin, baik di level nasional maupun daerah, memiliki tingkat melek ekosistem (environmental literacy) yang memadai maka kita layak berharap bahwa mereka akan berani mengangkat isu-isu ekosistem sebagai materi kampanyenya pada pemilihan capres atau pilkada. Sekedar contoh, di wilayah pantai di Indonesia ada masalah abrasi pantai yang semakin jauh ke daratan, pembalakan liar, pengamanan keberlanjutan ketersediaan summber air untuk dikonsumsi maupun irigasi untuk jangka panjang, serta masalah kepadatan penduduk.

Kita juga berharap banyak kepada anggota legislatif agar lebih peduli dengan isu-isu ekosistem. Jika bisa, jadilah politisi hijau. Alangkah idealnya jika semua fraksi dan partai memiliki visi dan program ekosistem hidup yang kontekstual tentang daerahnya dan semua anggota pengurus melek masalah ekosistem hidup sehingga mampu mengangkat politik ekosistem secara khusus dalam forum resmi maupun tidak resmi.

Tidak kalah pentingnya adalah upaya memperkuat lembaga atau LSM yang peduli isu-isu ekosistem di daerah yang berfungsi sebagai local environment watch untuk memantau, mengingatkan secara kritis-korektif dan memberikan masukan sebagai second opinion untuk gubernur, bupati, wali kota, dan legislatif terkait visi dan agenda penyelematan ekosistem di daerahnya. Melalui itu semua, semoga terbangun kesadaran kolektif bahwa kita melestarikan ekosistem karena kita yang membutuhkan jasa ekosistem dan bukan sebaliknya. Bila ekosistem hidup luka, kita juga yang sengsara.

Exit mobile version