Pesan dan Tren Bermuhammadiyah dalam Bidang Pendidikan
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”, begitulah pesan KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah, bagi siapa yang mau menjadi penerus perjuangannya.
Lebih dari satu abad, Muhammadiyah sudah dan akan terus berkiprah membangun manusia melalui pendidikan. Dari sebuah langgar sederhana di masa lalu, kini menjelma ribuan gedung tinggi yang terhampar di atas ribuan hektar tanah milik Persyarikatan Muhammadiyah. Tak disangka, ternyata dari pemikiran dan gerakan seorang kiai yang dianggap menyimpang ini lahirlah para generasi yang semangat mencerdaskan bangsa dan membangun negeri. Sehingga tidak heran, jika tema muktamar kali ini adalah “Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta”.
Tema yang mengandung semangat keoptimisan ini mencerminkan sebuah kekuatan hebat untuk menyebarluaskan ghirah bermuhammadiyah. Khidmat Muhammadiyah dalam memberikan pelayanan dan melaksanakan program untuk kebermanfaatan masyarakat (khususnya melalui pendidikan), bukan hanya Indonesia, akan tetapi masyarakat dunia. Begitu melekatnya kepribadian Muhammadyah pada jiwa mereka yang berjuang di dalam persyarikatan ini, sehingga dunia dibuat tercengang dengan jumlah asset kekayaan Muhammadiyah yang jauh berbeda dengan kekayaan para pengurusnya.
Pesan KH. Ahmad Dahlan tentang “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah” ini seakan harus menjadi prinsip militansi setiap warga, kader dan aktivis Muhammadiyah. Artinya, orang harus punya etos kehidupan di Muhammadiyah. Misalnya, KH. AR Fachrudin memutuskan untuk berdagang sekaligus tetap membesarkan Muhammadiyah, sehingga beliau tidak menjadi seorang yang terkesan memanfaatkan Muhammadiyah untuk kepentingan pribadi.
Begitupun juga bagi para guru atau karyawan yang mengabdi di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) bidang pendidikan. Dalam hal ini, penulis memfokuskan kepada AUM Pendidikan menengah, yaitu SMP, SMA, dan Pesantren. Semua guru dan karyawan disamakan terlebih dahulu persepsinya bahwa fungsi AUM itu adalah sarana untuk dakwah Muhammadiyah, pendukungnya, dan penggeraknya. Oleh karena itu, loyalitas mereka adalah kepada lembaga, bukan kepada orang. Kemudian niat mereka berjuang adalah untuk membesarkan AUM dan bekerja sama membantu dakwah Muhammadiyah, bukan menjadikannya sebagai kuda tunggang atau sekedar tempat mencari nafkah, dimana hanya hadir dan pulang setelah melaksanakan kewajiban kerja, tanpa ada kontribusi sedikitpun untuk Muhammadiyah, baik tenaga maupun pikiran.
Semangat kesamaan persepsi inilah yang menjadikan AUM berkembang dan tetap bertahan di tengah persaingan global. Imbasnya adalah ketika AUM maju dan berkembang, maka otomatis guru dan karyawannya serta masyarakat sekitar akan merasakan dampak kebaikan manfaatnya. Dengan demikian, “Sang surya tetap bersinar” akan benar-benar terasa oleh setiap orang baik yang sudah terikat syahadat, maupun yang belum. Kemudian “Amal usaha jalan berkiprah, Ridha Allah melimpah berkah” akan menjadi sebuah kenyataan, bukan hanya sebatas harapan maya.
Di samping pesan “sakral” bermuhammadiyah, ternyata ada lagi kata-kata yang menjadi tren dalam motivasi pergerakannya. Kata-kata tersebut adalah “berkemajuan dan mencerahkan”. Tren ini bukan hanya sebuah kata, akan tetapi mencerminkan sebuah gerakan dalam aksi nyata, sehingga muncullah ciri khas Muhammadiyah yang anggun dan elok dalam tata kelola, yaitu tertib administrasi.
Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas V) Pesantren Muhammadiyah yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) pada akhir Agustus 2022 lalu, menjadi salah satu bukti bahwa Muhammadiyah sangat serius dalam menyelenggarakan pendidikan baik pendidikan umum, maupun pesantren. Pengkolaborasian antara ilmu nushush dan ilmu sains menjadi ciri khas pendidikan yang berkemajuan. Kemudian, budi pekerti yang baik dan prestasi yang hebat menjadi ciri khas pendidikan yang mencerahkan. Lalu sistem pengkaderan dan aturan yang terhimpun dalam pedoman dan qaidah persyarikatan menjadi tanda bahwa AUM selalu tertib dalam administrasi.
Selanjutnya, untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang berkemajuan dan mencerahkan itu, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) dan Lembaga Pengembangan Pesantren Muhammadiyah (LP2M) menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan 20 Nilai Budaya Pesantren. RPJP ini disusun agar Muhammadiyah dapat konsisten melahirkan lulusan-lulusan yang siap bersaing menghadapi tantangan zaman, yang saat ini identik dengan kecanggihan teknologi.
Adapun 20 Nilai Budaya Pesantren Muhammadiyah yang terdiri dari keikhlashan, tafaqquh di ad-din al-ulum, tajdid, integritas, ukhuwah, disiplin, mandiri, moderat, sederhana, kerja sama, istiqamah, pola hidup bersih dan sehat, ramah santri, sopan santun (beretika), gemar beramal shalih, layanan, percaya diri, peduli lingkungan, ipteks, dan malu, akan menjadi ciri dan identitas pesantren Muhammadiyah.
Nilai budaya tersebut diharapkan mampu menjadi panduan pendidikan karakter, sekaligus menjadi benteng pencegah radikalisme dan premanisme yang saat ini menghantui lembaga pesantren. Artinya, pendidikan Muhammadiyah adalah pendidikan yang ramah dan terarah serta bebas dari perundungan.
Dengan adanya RPJP dan nilai budaya pesantren ini, maka akan mempertegas peran Muhammadiyah sebagai pionir penyelenggara pendidikan modern yang berkemajuan, mencerahkan, dan tertib administrasi. Di samping itu, pengelolaan yang dilakukan secara professional merupakan upaya Muhammadiyah dalam mewujudkan pendidikan nasional yang berlandaskan agama dan budaya dalam bingkai pelajar pancasila.
Dalam catatan sejarah, jargon “siswa merdeka” yang saat ini kita sering dengar pada rangkaian bahasan mengenai kurikulum merdeka, sebetulnya sudah digelorakan Muhammadiyah sejak tahun 1925. Tepatnya adalah pada Rapat Tahunan atau Kongres Muhammadiyah ke-14 di Yogyakarta. Adalah Prof. Mitsuo Nakamura, seorang antropolog dari Universitas Chiba, Jepang, yang sangat konsisten mengamati dan mengkaji Muhammadiyah. Beliau mengutip sebuah pernyataan seorang pembicara dalam kongres tersebut ketika menggambarkan suasana sekolah Muhammadiyah, “Bocah-bocah, dimardekaake pikire!” (adapun anak-anak, pikirannya harus dimerdekakan!). Artinya, sekolah atau pesantren Muhammadiyah memberikan ruang bagi murid-muridnya untuk bertanya, berdiskusi, berkreasi, dan berinovasi sesuai masing-masing potensi yang dimiliki. Murid didorong untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. (Suara Muhammadiyah, edisi 13, 1-15 Juli 2022, hal.6).
Hal inilah yang memotivasi sekolah atau pesantren Muhammadiyah untuk berlomba menjadi lembaga pendidikan yang ramah, berilmu, dan kekinian. Salah satu wujud nyatanya adalah konsep peace science trend yang dihidupkan oleh Pesantren At-Tajdid Muhammadiyah Tasikmalaya dalam proses pendidikan dan pembinaan santrinya. Sehingga, Indikator keberhasilannya terlihat dari karakter yang tumbuh pada diri santri. Mereka memiliki akhlak yang baik, selalu mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada keburukan. Mereka memiliki kecerdasan yang bermanfaat, memberikan solusi, dan tekun belajar. Santri menjadi kreatif dan inovatif dalam memunculkan gagasan, visioner, pekerja keras, pantang menyerah, dan menyukai tantangan.
Oleh karena itu, di akhir tulisan ini kita dapat menyimpulkan bahwa pesan dan tren bermuhammadiyah akan senantiasa menjadi suluh peradaban yang telah dan akan terus menyatukan langkah bersama memajukan Indonesia dan bersama mencerahkan semesta. Semangat gerakan tajdidnya akan mampu memajukan umat dan menjayakan bangsa serta membumikan Islam dan menyinari zaman. Selamat bermuktamar.
Riva Sahri Ramdani, SE., S.Pd, Wakil Mudir Ma’had Bidang Pendidikan di Pesantren At-Tajdid Muhammadiyah Tasikmalaya, ekretaris di MGMP Bahasa Indonesia Wilayah Singaparna