Gaya Pak AR, Muktamar Muhammadiyah, dan Dilema Pancasila

Pak AR

KH AR Fachruddin

Gaya Pak AR, Muktamar Muhammadiyah, dan Dilema Pancasila

Oleh: Among Kurnia Ebo

Sesaat lagi organisasi Persyarikatan Muhammadiyah akan menggelar Muktamar ke-48 di kota Solo. Bertempat di Kampus UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta) pada 18-20 Nopember 2022 mendatang. Band Letto dan Kotak dihadirkan sebagai salah satu pembuka agenda muktamar untuk memeriahkan acara sekaligus menyambut hadirnya ratusan ribu muktamirin yang datang dari seluruh Indonesia.

Sejatinya, ini adalah Muktamar yang tertunda. Seharusnya Muktamar Solo berlangsung pada Juli 2020. Tapi, menjadi batal karena awal tahun itu badai corona datang menghantam dan ikut meluluhlantakkan agenda muktamar yang sudah dirancang dengan matang.

Apa yang menarik dan bisa menjadi catatan penting dari Muktamar Muhammadiyah Solo yang tinggal 77 hari lagi ini?

Pertama, ini adalah muktamar kedua di kota Solo. Muktamar pertama yang digelar di kota Solo diselenggarakan 37 tahun lalu, tahun 1985. Di jaman Ketua Umum PP Muhammadiyah masih dipegang Pak AR Fachroedin, ulama paling kharismatik di Muhammadiyah yang belum ada tandingnya sampai hari ini. Juga Ketua Umum PP Muhammadiyah terlama sepanjang sejarah persyarikatan.

Salah satu yang menjadi catatan penting saat Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo kala itu adalah muktamar ini menjadi momentum bagi Muhammadiyah yang legawa menerima Pancasila sebagai asas organisasi memenuhi instruksi pemerintah Indonesia melalui UU No 3/1985 tertanggal 19 Pebruari 1985 yang mewajibkan semua organisasi massa harus berasas tunggal Pancasila.

Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan Islam yang terhitung paling akhir atau paling lambat memutuskan menerima asas tunggal dalam AD/ART organisasinya. Setelah perdebatan internal yang cukup panjang akhirnya Muhammadiyah, menyusul PPP, NU, dan organisasi massa Islam lainnya untuk akomodatif dengan keinginan pemerintah.

Bagi organisasi sekuler atau nonkeagamaan, memang gampang saja memutuskan menerima asas Pancasila sesuai kehendak pemerintahan Orde Baru. Tapi tidak demikian dengan ormas Islam apalagi yang mempunyai umat puluhan juta orang. Terjadi dialog dan perdebatan yang panjang di tingkat internal untuk pada akhirnya sampai tingkat mufakat pada satu kesimpulan akhir: menerima.

Muhammadiyah bisa melewati tantangan ini dengan smoth. Tentu saja, ini tidak lepas dari gaya kepemimpinan Pak AR yang sangat njawani. Mengayomi sana-sini, alon-alon waton kelakon, dan rembug kepenak. Melalui pidatonya berjudul “Pancasila Bukan Agama” yang memaparkan sila-sila Pancasila yang semua nilainya adalah kandungan dalam Al-Quran akhirnya Pancasila bisa diterima sebagai asas organisasi Persyarikatan Muhammadiyah tanpa ada gejolak dari para muktamirin.

Ini adalah keputusan radikal yang dilakukan oleh Persyarikatan Muhammadiyah yang anehnya tidak mendapatkan “pertentangan” yang radikal dari jamaahnya. Buktinya apa? Pak AR akhirnya terpilih kembali menjadi Ketua Umum. Dari 1086 suara yang punya hak pilih, sebanyak 1059 memilih Pak AR Fachroedin untuk dipercaya kembali melanjutkan kepemimpinannya di Muhammadiyah. Tanpa drama, tanpa huru-hara. Adem ayem tenterem. Menyejukkan semuanya.

Kepada Pak AR Fachroedin inilah sebetulnya warga Muhammadiyah semestinya bisa terus berkaca. Bukan saja dari kepribadiannya yang sederhana, tapi juga pada gaya kepemimpinannya yang berhasil. Yang membuat Muhammadiyah berjalan aman dan terus bisa berkembang menjalankan misi dakwah dan amal usahanya.

Seorang peneliti pernah membandingkan gaya kepemimpinan Muhamadiyah masa Pak AR ini dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah setelahnya. Antara lain saat dijabat oleh Pak Amien Rais dan Buya Syafii Maarif.

Gaya Pak AR itu adalah gaya “asal selamet”. Sedangkan gaya Pak Amien dan Buya Syafii adalah “asal cepet”. Pak AR berprinsip tidak apa-apa terlambat atau pelan-pelan yang penting menyelamatkan semuanya, tidak ada yang dipermalukan apalagi yang dizalimi. Risiko diambil seminimal mungkin.

Sedangkan kepemimpinan setelahnya, terutama di masa Pak Amien dan Buya Syafii berkebalikan atau jauh dari gaya itu. Cepat tanggap, hadapi risiko. Muhammadiyah adalah organisasi besar dengan umat yang besar, harus berani mengutarakan kebenaran yang diyakininya dengan jelas dan tegas. Beda jaman, beda generasi, secara faktual melahirkan gaya kepemimpinan yang berbeda.

Perubahan yang tampak ekstrem itu terjadi saat Ketua PP Muhammadiyah dipegang Pak Amien Rais. Situasi sosial politik yang bergejolak pada saat itu terutama di ujung-ujung masa gerakan reformasi membuat gaya kepemimpinan Muhammadiyah berubah gaya menjadi “asal cepet”.

Eskalasi sosial ekonomi politik yang tidak menentu menjelang keruntuhan Orde Baru direspon Amien Rais dengan sangat cepat. Bahkan merespon peristiwa-peristiwa politik yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan gerakan praksis Muhammadiyah. Tentu saja, ini membawa risiko yang tidak kecil bagi Muhammadiyah. Dan juga sangat mengagetkan bagi banyak pihak karena biasanya Muhammadiyah itu tampil dengan kritik yang halus dan elegan tiba-tiba berubah menjadi keras dan terang-terangan.

Refleksi kedua yang patut dilakukan adalah perlunya merumuskan metode berdakwah yang pas bagi aktivis dan organisatoris Muhammadiyah di era kekinian. Ada banyak model berdakwah dari tokoh-tokoh Muhammadiyah di masa lalu yang perlu dikaji lalu dipilih mana yang paling relevan dan dimodifikasi untuk dipraktikkan generasi masa depan yang situasi dan kondisinya sudah sangat berbeda.

Gaya berdakwah Pak AR misalnya dikenal sangat jenaka tetapi cerdas. Pesannya sampai tapi orang tidak merasai digurui, diajari, apalagi diperintah. Mengikuti pengajian Pak AR rasanya orang diajak ngobrol bersama sambil bercanda yang tanpa sadar di saat-saat yang pas Pak AR memasukkan pesan intinya.

Tak heran, pengajian Pak AR yang rutin di RRI Yogya kalau itu sangat digandrungi audiens. Bukan hanya warga Muhammadiyah yang mendengarkannya. Tapi juga juga warga ormas lain bahkan dari agama lain. Bahkan PITI (organisasi mualaf Tionghoa di Yogyakarta) sampai “menginstruksikan” anggotanya untuk selalu menyimak ceramah-ceramah Pak AR dianggap mudah dipahami, lembut, tidak galak, tapi pesannya sampai dan gampang dipraktikkan.

Pendek kata, gaya berdakwah Pak AR yang “gaul” mudah diterima oleh semua kalangan masyarakat. Melewati batas organisasi. Melampaui batas ras, suku, bahkan agama. Ceramah Pak AR dianggap sebagai dakwah yang menyejukkan dan merangkul semua umat. Tidak menyudutkan atau memojokkan siapa pun yang berbeda. Kalau ada yang terkena sindiran Pak AR masih bisa tersenyum karena hanya merasa disentil saja. Nah, masihkan pegiat-pegiat dakwah Muhammadiyah bisa menampilkan dakwah sejuk seperti itu? Patut kiranya itu menjadi renungan bersama.

Suatu kali Buya Syafii bertanya kepada Pak AR: “Pak AR masih banyak merokoknya?” Dengan jenakanya Pak AR menjawab, “Tidak kok. Hanya satu satu.” Pak AR Fachroedin memang ulama besar Muhamadiyah yang merokoknya boleh disebut tidak pernah putus. Bahkan seringkali masih dengan kepulan asap rokok saat berceramah. Ketika fotonya yang sedang mengapit sebatang rokok dijadikan cover sebuah buku yang berisi ringkasan ceramah-ceramahnya dan sedikit pengalaman hidupnya, tidak mendapat komplain apa-apa.

“Agama itu mudah. Jangan dibuat sulit. Agama itu harus dibuat menggembirakan. Jangan menakutkan. Banyak umat yang hidupnya masih susah mosok masih harus ditakut-takuti lagi,” ujarnya dalam sebuah pengajian.

Cara berdakwah Pak AR yang jenaka dan sederhana itu terbukti lebih mengena di hati masyarakat. Berdasarkan pengakuan RRI, acara ceramah Pak AR selalu mendapatkan rating tinggi. Bahkan seringkali jumlah pendengarnya melebihi acara ketoprak, wayang kulit, atau sandiwara radio yang lagi booming saat itu. Belum ada penceramah di Yogya yang pendengarnya begitu masif dan acaranya dinanti-nantikan pendengarnya dari semua lapisan masyarakat.

Pengajian Pak AR adalah acara favorit RRI Yogya yang selalu ditunggu-tunggu jam tayangnya. Bahkan ketika dikutip ulang Harian Kedaulatan Rakyat di rubrik Pak AR Menjawab, ulasannya sering dibaca oleh Romo Mangun, Romo Dick Hartoko, dan Romo Sindhunata, para rohaniawan Katolik berpengaruh di Yogya. Kalau ada wartawan bertanya tentang tokoh Islam, mereka selalu mengacu pada sosok Pak AR dan pikiran-pikirannya.

Begitulah beberapa catatan tentang Pak AR Fachroedin, Ketua Umum PP Muhammadiyah lima periode tanpa ada keberatan dari warga persyarikatan. Itu sudah bisa menjadi bukti Pak AR adalah teladan bagi Muhammadiyah. Masalahnya apakah keteladanan Pak AR itu akan diteladani oleh warga Muhammadiyah kiwari ini ataukah akan dilupakan begitu saja dari ingatan? Waktu dan fakta yang akan menjawabnya.

Pertanyaan terakhir yang barangkali bisa menjadi renungan bersama semua warga Muhammadiyah saat Muktamar Solo nanti adalah momentum apa yang akan dibuat agar muktamar kali kedua di Kota Bengawan ini tidak sekedar menjadi ritual sekian tahunan yang bertujuan utama untuk memilih Ketua Umum periode selanjutnya? Poin-poin apa saja yang bisa dijadikan pijakan Muhammadiyah dalam menjalankan organisasi dan amal usahanya menghadapi tantangan jaman yang serba digital, ancaman krisis dunia, perbenturan informasi yang penuh kebenaran nisbi, biaya pendidikan anak bangsa yang kian mahal, dan angka kemiskinan masyarakat bawah yang makin meninggi?

Muhammadiyah sudah ikut serta melaksanakan kewajiban negara yang ditegaskan di dalam konstitusi Pembukaan UUD 1945 – mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi tanah tumpah darah, meningkatkan kesejahteraan masyarakat -lewat berbagai amal usahanya (sekolah, madrasah kampus, rumah sakit, panti asuhan, rumah budaya, lembaga zakat, perbankan, lembaga bantuan hukum, dan seterusnya). Sudah cukupkah???*

Among Kurnia Ebo, mantan aktivis IMM Komisariat Gadjah Mada Yogyakarta

Exit mobile version