Inin Salma AR Sutan Mansur Perempuan Penggerak Pendidikan Muhammadiyah Kalbar
Haru, bahagia dan berbangga bisa bertemu muka dengan sosok perempuan hebat dengan ide dan semangat berkemajuan. Usia yang tidak lagi muda, namun ingatan dan harapannya untuk perkembangan Muhammadiyah terpatri kuat, bahwa Muhammadiyah harus tegak dan lurus di bumi khatulistiwa Kalimantan Barat. Baginya, generasi muda Muhammadiyah wajib mengamalkan ajaran Islam secara kaffah, dengan harapan perjuangan membesarkan persyarikatan tidak akan pupus hingga ajal menjemput.
Perempuan tangguh, cerdas namun tetap santun tersebut bernama Inin Salma Rasyid, atau yang lebih dikenal dengan nama Inin Salma Barasila. Inin dilahirkan di ranah Minang Sumatera Barat 5 Oktober 1939, dari sosok hebat yang juga pejuang Muhammadiyah pada zamannya.
Ayahnya bernama Ahmad Rasyid dengan gelar Sutan Mansur dan lebih familiar dikenal dengan nama A.R. Sutan Mansur, anak Ulama terkenal Maninjau bernama Abdul Somad al-Kusaji. A.R. Rasyid bukanlah kader biasa Muhammadiyah, ia adalah mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah keenam dari tahun 1953 sampai 1959. Hidupnya ia habiskan untuk berdakwah mengenalkan Muhammadiyah di Sumatera Barat bersama adik iparnya Buya Hamka.
Kepiawaiannya dalam bercerita membuat banyak masyarakat pada saat itu jatuh hati pada Muhammadiyah. Ia pun dijuluki “Bintang Muhammadiyah dari Barat” oleh Kiai Junus Anies, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ketujuh.
Pendiri Sekolah Dasar Islam Unggul
Menurut penuturan Bu Inin begitu beliau biasa disapa, masa kecil ia habiskan di Bukit Tinggi, sebelum akhirnya Inin remaja melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta. Di sini pula ia bertemu jodoh, seorang pemuda cerdas, tampan asal Nusa Tenggara Barat (NTB), Abdul Barry Barasila, dan Allah menganugerahkan pasangan Inin-Barry empat anak, tiga diantaranya mengikuti jejak mereka sebagai pelayan kesehatan (dokter).
Hijrah ke Pontianak tahun 1971, Inin dan suami melihat Pontianak adalah kota yang masih sangat minim kualitas dan kuantitas di bidang pendidikan. Belum ada sekolah negeri dan swasta yang menurutnya layak dan memiliki sistem pendidikan yang bisa memberikan edukasi baik kepada murid. “zaman ibu di Sumatera Barat dulu, jauh sebelum ibu dan bapak ke Pontianak pendidikan sudah sangat maju”, tuturnya dengan mata berbinar saat bercerita tentang asal mula menginjakkan kaki ke tanah yang dianggap hutan oleh masyarakat Pulau Jawa. Yang ada di Pontianak saat itu hanyalah sekolah Kristen Bruder, dengan kualitas baik dibandingkan sekolah-sekolah yang ada saat itu, maka banyak orang tua walaupun beragama Islam memasukan anaknya ke sekolah Bruder.
Terbiasa melihat dan mendapatkan pendidikan berkualitas, Bu Inin pun akhirnya sempat memasukan anak pertama ke sekolah Bruder, sebelum akhirnya pindah karena merasa tidak pas dengan kurikulum yang diterapkan oleh pihak sekolah. Saat memasukan anak, dengan hati cemas Ia pun berpikir bagaimana nasib generasi Islam jika tidak ada sarana pendidikan berkualitas dan sesuai dengan tuntutan zaman. Akhirnya, Bu Inin dan suami tergerak untuk mendirikan sekolah Islam setelah sebelumnya berdiskusi dengan teman-teman sejawat untuk juga bersama menginsiasi pendirian Sekolah Islam. Profesi Bu Inin dan suami sebagai dokter dan telah dikenal dibanyak kalangan, membuka ruang niat baik dimudahkan Allah.
Sekolah tersebut bernama SD Muhammadiyah 2 yang memulai beroperasi tahun 1975. SD Muhammadiyah 2 adalah sekolah dasar Muhammadiyah Kalimantan Barat dengan jumlah siswa terbanyak (data tahun 2022) diantara sekolah-sekolah dasar atau diatasnya yang dimiliki oleh Persyarikatan. SD Muhammadiyah 2 sekarang telah menjadi salah satu sekolah favorit dengan segudang prestasi nasional internasional. Harapan dan cita-cita Bu Inin terwujud, salah satu sekolah yang ia dirikan bersama suami dan beberapa tokoh Muhammadiyah Kalimantan Barat menjadi sekolah unggulan dan role model Sekolah Dasar Islam.
Perumus dan Pendiri Pendidikan Dasar dan Akademi Keperawatan Kalimantan Barat
Selain mendirikan sekolah dasar Islam yang bernama SD Muhammadiyah 2, dr. Inin Salma Rasyid dan Barry Barasilla, SpOG juga mendirikan beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah. Akademi Keperawatan (AKPER) Muhammadiyah, Universitas Muhammadiyah, dan Politeknik ‘Aisyiyah Kalimantan Barat. AKPER Muhammadiyah yang mulai beroperasi tahun 1992 dan dikawal langsung oleh Bu Inin sebagai Ketua pertama AKPER, adalah sekolah keperawatan pertama di Kalimantan Barat dan menjadi percontohan lembaga pendidikan lain termasuk pula oleh lembaga pendidikan Pemerintah Kalimantan Barat.
Bu Inin berkisah bahwa semangat mendirikan sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah karena visi-misi hidup yang sama dengan suami. Semangat tersebut menjadi motivasi terjaga menghadapi banyak rintangan. Dalam proses pendirian AKPER misalnya, “Ibu harus bolak balik ke Jakarta yang saat itu izinnya masih di Dinas Kesehatan, sedangkan Bapak (suami/dr. Barry) tidak bisa ikut banyak membantu karena tugas sebagai dokter kandungan yang saat itu dalam beberapa tahun hanya ada Bapak di Kalimantan Barat), cerita Bu Inin saat penulis bertanya proses pendirian AKPER. Di perjalanan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah telah berubah status, Tahun 2006 menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah Pontianak (STIK) dan dalam waktu dekat akan berubah menjadi Institut Keperawatan Muhammadiyah.
Penjabaran singkat di atas, hanya sekilas perjalanan perjuangan kader militan Persyarikatan yang telah banyak memberikan ruang berpikir berkemajuan dan bermanfaat bagi umat. Pasangan Inin Salma-Barry Barrasila tidak saja dikenal dikalangan Persyarikatan sebagai pendiri amal usaha pendidikan, tetapi juga oleh seluruh masyarakat di bumi borneo Kalimantan Barat. Loyalitas, semangat yang tidak usang hingga ujung nyawa. Pasangan yang dipisahkan maut (dr. Barry Barasila wafat, Senin 29 Juni 2020) telah banyak mengikhlaskan pikiran, tenaga bahkan hartanya untuk persyarikatan dan umat. Di akhir pertemuan, Bu Inin berharap besar kepada generasi muda Muhammadiyah agar hidup lurus sesuai tuntunan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Amalia Irfani, Mahasiswa Doktoral Sosiologi UMM